Entri Populer

Selasa, 10 November 2009

Selasa, 10 November 2009 pukul 10:55:00
Pengusaha Itu Bernama Anggodo

Oleh: Ahmad Syafii Maarif


Penguasaha (penguasa-pengusaha), sebuah istilah yang menggambarkan kultur kongkalingkong antara penguasa dan pengusaha (hitam).

Adalah Kwik Kian Gie yang pertama kali menggunakan sebutan pengusaha hitam itu. Di dalamnya, terkandung kompleksitas hubungan saling menguntungkan antara pengusaha dan penguasa/aparat penegak hukum. Tentu, dalam hal ini untuk menggerogoti aset bangsa dan negara yang jumlahnya sudah tidak bisa dikatakan lagi.

Sebagai bangsa yang rapuh dalam masalah moral, fenomena Anggodo Widjojo sebenarnya sudah berlangsung puluhan tahun. Karikatur sosok Anggodo dalam pakaian seragam kapolri yang beredar demikian luas di media cetak dan elektronik adalah sebuah sarkasme yang amat tajam tentang betapa sangat parahnya bangunan moral bangsa ini.

Semestinya, Anggodo dalam seragam kapolri-nya memasang bintang lima, bukan empat, sebab kekuasaannya sudah jauh melampaui aparat penegak hukum kita yang tertinggi sekalipun.

Pihak kejaksaan pun telah lama kehilangan wibawa dalam menjalankan tugasnya. Kemudian, Komisi III DPR yang memuji paparan kapolri tentang masalah Bibit-Chandra hanyalah bagian lain dari pertunjukan komedi murahan yang menggelikan. Bukankah munculnya KPK adalah upaya membantu kepolisian dan kejaksaan yang setengah gagal dalam mengemban fungsinya selama ini? Jika kepolisian dan kejaksaan sebagai lembaga penegak hukum dapat berfungsi dengan efektif, khususnya dalam memerangi korupsi, KPK sama sekali tidak diperlukan.

Memang, saya mendengar keluhan dari sementara pihak bahwa KPK kadang-kadang sudah overdosis dalam menjalankan tugasnya. Akibatnya, sebagian pejabat menjadi ragu menggunakan dana pembangunan sebab khawatir diincar KPK. Jika memang hal itu berlaku, jangan KPK yang dilumpuhkan, tetapi UU KPK yang harus direvisi sehingga tidak terkesan sebagai superbody yang menakutkan. Dalam situasi seperti sekarang ini, nurani rakyat banyak untuk melawan korupsi masih cukup kuat, sekalipun aparat penegak hukum seperti telah kehilangan kepekaan. Oleh sebab itu, menjadikan Bibit-Chandra sebagai tersangka oleh pihak kepolisian dengan bukti-bukti hukum yang semakin berguguran, termasuk testimoni Antasari, telah mengundang kemarahan publik dalam radius yang sangat luas. Seorang Jenderal (Purn) Polisi Farouk Muhammad mengatakan bahwa polisi itu profesional, tetapi tidak amanah, sebuah pernyataan yang patut benar direnungkan oleh kapolri dan jajarannya. Penampilan Anggodo di berbagai forum sungguh dahsyat. Polisi dan kejaksaan seperti telah menjadi tawanannya.

Namun, kita tidak boleh hanya marah kepada Anggodo, apalagi dikaitkan dengan etnisitas yang sama sekali tidak relevan. Sebab, munculnya Anggodo dalam tampilan penuh percaya diri itu tidak lain disebabkan sebagian aparat penegak hukum kita sedang berada di bawah ketiaknya. Cerita tentang ini telah kita dengar sejak lama, tidak terkecuali di kalangan tentara. Situasinya malah semakin parah dari waktu ke waktu. Kenyataan inilah yang sangat merisaukan kita semua yang kemudian mendorong mencuatnya pertanyaan sentral ini, ''Siapa sebenarnya yang berdaulat di negeri ini?''

Jawaban terhadap pertanyaan ini akan menentukan masa depan Indonesia, apakah masih layak disebut sebagai negara berdaulat atau kedaulatannya telah diperjualbelikan dengan harga yang sangat murah demi sesuap nasi dan segenggam kekuasaan yang membunuh nurani dan akal sehat? Di depan berbagai forum, saya mengatakan bahwa bangsa dan negara ini hanya bisa diselamatkan jika dipimpin oleh manusia
merdeka, bukan oleh manusia setengah budak yang tidak punya martabat!

Akhirnya, sekiranya seluruh tuduhan polisi terhadap Bibit-Chandra adalah palsu belaka, ke mana nanti wajah DPR harus disurukkan? DPR ini baru saja dilantik bulan Oktober 2009, tetapi mengapa telah terseret dalam blunder politik yang sangat memalukan? Karena, rakyat yang siuman semakin kehilangan kepercayaan terhadap lembaga-lembaga formal negara. Berkat teknologi komunikasi, mereka dengan sigap memanfaatkan dunia maya dalam format facebook untuk mengatakan jeritan hati nuraninya secara jujur, terbuka, dan sarat dengan kegelisahan tentang nasib penegakan hukum di negeri ini. Gejala Anggodo sebagai penguasaha hanyalah salah satu puncak dari gunung es tentang betapa bobroknya sistem peradilan kita. Sementara itu, Komisi III DPR terpukau oleh paparan kapolri yang terlihat memerinci, tetapi ditegakkan di atas bukti hukum yang sangat meragukan. "Sebuah sarang yang dibangun di atas dahan yang rapuh tidak akan tahan lama," tulis Iqbal dalam sebuah puisinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar