Entri Populer

Rabu, 15 September 2010

Selasa, 14 September 2010 pukul 08:06:00
Selepas Lebaran

Oleh Ahmad Syafii Maarif

1 Syawal 1431 baru saja kita tinggalkan, suasana hari raya masih sangat dirasakan. Pemudik sedang bergerak secara bergelombang, kita tidak tahu berapa orang lagi yang sedang dan akan berhadapan dengan maut.

Apa yang disebut arus mudik boleh jadi hanya terdapat di Indonesia, sebuah gejala sosiologis yang pasti menyita perhatian publik saban tahun. Bagi kampung-kampung yang didatangi situasi akan menjadi sangat meriah, sekalipun hanya berlangsung sebentar, untuk kemudian para pemudik itu menghilang lagi. Ada yang menyewa kendaraan roda dua, roda empat yang serbabaru selama beberapa hari. Bahkan, ada yang melakukan transaksi kredit kendaraan baru, jika tak terbayar, dipulangkan kepada dealer, uang muka dianggap sebagai sewa.

Saking membanjirnya kendaraan impor ke Indonesia, dengan hanya berbekal sedikit modal, pemudik datang dengan kendaraan serbamulus akan menjadi "raja" selama beberapa hari di kampung, hilir mudik sepanjang jalan. Bersiul sambil melambaikan tangan. Di antara mereka ada yang benar-benar untuk melepas rindu pada teman-teman yang tidak merantau, tetapi tidak jarang pula untuk pamer kepada kampung sebagai orang yang berhasil di rantau, jauh atau dekat. Media massa sangat sibuk mewartakan arus bolak-balik ini sepanjang hari, sepanjang malam, hampir tanpa henti, karena mengasyikkan untuk diikuti.

Inilah Indonesia tercinta yang menyuguhkan saban tahun kepada dunia sebuah kultur mudik yang spektakuler. Jalan-jalan raya penuh sesak oleh manusia, jarak yang biasa ditempuh satu jam dapat berubah menjadi tiga sampai empat jam. Merayap di jalan raya adalah panorama yang sangat umum selama hari-hari Lebaran. Tidak hanya sampai di situ. Angkutan udara pun penuh sesak, bandara-bandara telah berubah menjadi seperti pasar malam, sarat oleh manusia pemudik dengan wajah yang serbasibuk.

Berdesak-desakan, seperti akan kehabisan tempat duduk, padahal tiket sudah di tangan. Disiplin sosial bangsa ini sangatlah rendah, kultur antre secara teratur masih belum menjadi pola prilaku umum. Egoisme sering sangat menonjol, sekalipun para juru dakwah selama Ramadhan sering berucap bahwa orang berpuasa secara tulus telah terbebas dari dosa-dosa terdahulu. Maka alangkah baiknya, jika kita semua mau dan pandai belajar untuk menegakkan disiplin, pribadi dan sosial, sebagaimana puasa telah melatih kita untuk itu.

Pada skala yang lebih besar, tengok pulalah kondisi bangsa ini. Bung Taufiq Ismail dalam sebuah tayangan tv baru-baru ini dengan mimik wajah yang sangat prihatin berucap yang intinya adalah: "Keterpurukan kita telah menjangkau semua arena kehidupan. Tidak ada yang selesai!" Lautan kemiskinan masih "setia" bersama kita. Jika parameter pendapatan dua dolar per hari per kepala yang digunakan, maka lebih dari 100 juta anak bangsa ini berada dalam kategori miskin. Angkanya menjadi sekitar 110 juta dari 236 juta penduduk Indonesia.

Yang agak aneh adalah fakta ini. Seorang yang naik sepeda motor belum tentu orang yang berpunya, sebab dengan uang muka sebesar Rp 300.000 saja, Anda akan mudah bawa sebuah sepeda motor pulang ke rumah. Demikian gampangnya berutang sekarang ini. Perkara nanti tidak bisa mengangsur saban bulan, penyelesaiannya juga mudah sekali: kendaraan Anda diambil pemilik. Titik! Keadaan semacam ini tak pernah terbayangkan sebelum abad ke-21. Luar biasa. Maka, tidaklah perlu heran orang yang berhak mendapatkan jatah zakat fitrah sekarang datang dengan sepeda motor baru untuk mengambilnya. Sungguh masyarakat telah berubah dengan sangat cepat. Jika sebelum itu, orang yang bersepeda motor adalah pembayar zakat fitrah, sekarang situasinya sudah terbalik sama sekali. Inilah Indonesia kita yang sarat dengan serbaparadoks.

Adapun rekening gendut polisi yang beberapa waktu banyak dibicarakan, kini telah menyingkir ke alam sunyi. Dengan demikian, yang gendut akan nyenyak tidur dengan kegendutannya, jika tidak terserang stroke. Yang terkapar masih akan tetap terkapar, entah untuk berapa lama lagi. Siapa sih yang masih hirau dengan kesenjangan sosial yang belum terjembatani ini? Pemerintah, DPR, birokrat, para kiai, intelektual, para dukun, atau justru sesama rakyat kecil? Jawabannya adalah: antahlah yuang! Tetapi siapa tahu selepas Leberan ini ada di antara kita yang benar-benar menjadi manusia baru sama sekali, dalam makna yang sangat positif. Itulah harapan kita semua. Semoga.
(-)
Index Koran

Senin, 09 Agustus 2010



" Buya Ahmad Syafi'i Maarif adalah teladan bagi kami generasi muda bangsa ini"

Selasa, 08 Juni 2010

Jangan Remehkan Titik Koma

Majalah Tempo, 7 Juni 2010. Agung Y. Achmad: Wartawan.

“JANGAN remehkan titik dan koma,” demikian ucap seorang laki-laki berusia 74 tahun-pada saat kolom ini saya tulis-bernada tinggi sembari mencoret-coretkan pena pada sebuah lembaran surat resmi yang disodorkan sekretarisnya. Di usia senja, ia masih petah. Diksi yang ia ucapkan atau dia tuliskan sering mengagetkan orang. Kata “peradaban”, misalnya, bisa dibilang ucapan khas tokoh berpenampilan sederhana ini. Lantaran kapasitas dan tradisi linguistiknya yang bagus, ia bisa melahirkan tulisan kritik pedas menjadi bacaan yang lugas. Ia pengguna bahasa Indonesia yang teliti, bahkan ketika ia menulis sebuah artikel dengan menggunakan media telepon seluler dalam kondisi badan lemah di atas tempat tidur di sebuah rumah sakit. “Membangun peradaban itu dimulai dari titik dan koma,” katanya melanjutkan ucapannya.

Andai saja Anda langsung mengetahui siapa orang yang berintegritas tinggi untuk “menjadi” Indonesia melalui cara berbahasa yang baik dan benar yang saya maksud itu. Izinkan saya menggambarkan tokoh tersebut, tentu dengan alasan utama bahwa ia bisa menjadi contoh dalam hal etos berbahasa Indonesia, bahkan bila hal itu dikaitkan dengan integritas intelektualnya. Tradisi linguistik sang tokoh bisa dijadikan cermin bagi para elite di negeri ini, bahkan Presiden Yudhoyono. Simaklah logat Kepala Negara ketika mengatakan “profesional” saat berpidato, misalnya.

Pendidikan tinggi sang tokoh ditempuh di Barat. Bahkan, lantaran kapasitasnya, ia pernah malang-melintang di banyak negara untuk mengajar, khususnya di bidang kajian keislaman dan sejarah, seperti di Universitas McGill, Kanada, dan sejumlah kampus kenamaan di luar negeri, tak terkecuali di universitas almamaternya, Universitas Chicago, Amerika Serikat. Tentu saja, ia mengajar dalam bahasa Inggris. Tapi, pada saat berada di negeri sendiri, ia jarang berbahasa atau menggunakan istilah asing.

Sebaliknya, sejarawan tiga zaman ini justru giat mencetuskan, setidaknya gemar mempopulerkan, beberapa kosakata atau istilah yang menyegarkan, serangkaian terminologi yang di negara-negara Barat telah lama digunakan dan sangat baik untuk dimengerti publik Indonesia, seperti membumikan (Al-Quran) dan mencerahkan pusat kesadaran. Sebagian orang menggunakan istilah landing to earth, atau down to earth, untuk mengartikan istilah “membumikan”.

Padahal, “membumikan” (wahyu Tuhan) adalah suatu makna terminologis, dan bukan sekadar kata (leksikal) berimbuhan, yang artinya lebih dekat ke beberapa istilah: pribumisasi, indigenisasi, atau kontekstualisasi, yakni upaya pemaknaan secara kontekstual dan bertanggung jawab terhadap pesan-pesan langit (wahyu) sebagai rekomendasi moral atau pandangan dunia untuk diimplementasikan ke dalam realitas sosial (peradaban) di muka bumi.

Ucapan sang tokoh, “membangun peradaban itu dimulai dari titik koma”, adalah bukti kepeduliannya terhadap etos berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Namun, bisa jadi, itu sekaligus merupakan ungkapan keprihatinannya terhadap kondisi moral berbangsa di tingkat elite yang berpotensi menurunkan kualitas peradaban di negeri ini. Dalam tinjauan tata bahasa, titik adalah tanda berhenti-akhir dari sebuah kalimat-dan koma adalah tanda jeda, sebelum susunan kata-kata berikutnya pada sebuah kalimat dilanjutkan. Kedua tanda baca tersebut berperan menunjukkan struktur suatu tulisan.

Sebagai ucapan satire, artikulasi sang tokoh diniatkan untuk menyoroti kenyataan Indonesia yang amburadul akibat ulah para elite yang korup. Pesan ini bisa dibaca pada artikel opininya di sebuah harian berjudul “Bubarkan KPK!”. Pembaca tahu di mana posisi sang tokoh dalam setiap misi pembersihan negara dari aksi-aksi penggarongan terhadap aset-aset negara oleh jaringan oknum yang tidak mencintai Indonesia. Ia beropini bahwa upaya-upaya pemberantasan korupsi di negeri ini, termasuk oleh lembaga yang ia maksud, harus dilakukan tanpa “koma” dan “titik”. Dalam waktu yang sama, “titik” mewakili ungkapan imperatif bahwa semua bentuk tindak kejahatan korupsi harus dihentikan-sekarang juga.

Demikian bahasa, ia alat ekspresi masyarakat dalam berkomunikasi, termasuk untuk menyampaikan gagasan serta nilai-nilai tertentu, baik secara terang-terangan maupun satire. Nilai-nilai yang senantiasa penting maknanya bagi suatu ikhtiar pembentukan peradaban bangsa itu harus dikomunikasikan, dan sang tokoh telah mengemukakan ide-idenya itu secara cermat dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Meski berpembawaan serius, ia juga seorang humoris. Sang tokoh menyukai sastra, hal yang membuat ia lentur dalam mengapresiasi kenyataan hidup. Ketika sang tokoh mengenang masa-masa kecil sebagai seorang yatim piatu di era sulit akibat pecah sejumlah pemberontakan di daerah, tapi ia bertekad bulat untuk meneruskan sekolah hingga ke jenjang yang tinggi, ia berucap, “Saya terdampar di pantai karena belas kasihan ombak.”

Sang tokoh itu adalah putra Sumpur Kudus, Sumatera Barat, Ahmad Syafi’i Ma’arif, yang kini (per 31 Mei) genap berusia 75 tahun. Ia-biasa disapa Buya-adalah seorang guru dari semua guru bahasa Indonesia.

Sumber foto: Wikipedia.

Minggu, 06 Juni 2010


Mengenal Lebih Akrab Buya Syafii
Minggu, 30 Mei 2010 | 01:28 WIB
istimewa

Judul: Titik-titik Kisar di Perjalananku; Autobiografi Ahmad Syafii Maarif
Penulis: Ahmad Syafii Maarif
Penerbit: Mizan
Tahun: I, April 2009
Tebal: 422 halaman
Harga: Rp 59.000

Membaca buku berjudul Titik-titik Kisar di Perjalananku; Autobiografi Ahmad Syafii Maarif ini kita serasa sedang diajak berselancar mengarungi samudera makna, berliku, dramatik, menyedihkan, menegangkan, tetapi penuh nilai dan sarat dengan pelajaran. Buku ini merekam perjalanan insan Minangkabau, putra bangsa, dan intelektual Muslim kenamaan Indonesia. Ia adalah Buya Syafii—panggilan akrab Ahmad Syafii Maarif.

Ahmad Syafii Maarif dilahirkan di Sumbar Kudus, Sumatera Barat, pada 31 Mei 1935. Ia terlahir sebagai anak biasa yang kemudian merangkak mengikuti arah retak tangan dan terlibat dalam pusaran waktu yang cukup panjang dan berliku. Syafii kecil tak memiliki cita-cita tinggi karena alam Sumpur Kudus yang sempit dan terpencil membuat alam bawah sadarnya tak memiliki angan-angan besar dan aneh-aneh. Ia seperti anak biasa yang suka menjala, memancing ikan, mengadu sapi dan ayam, mandi di sungai, dan sebagainya. Bahkan tikar kasar adalah sahabat sejatinya tatkala tidur.

Syafii kecil tumbuh dan berkembang di tanah Minang yang sarat dengan kekhasan budaya dan makna filosofi. Salah satu filosofi yang akrab melekat pada anak-anak Minang itu berbunyi: “alam terkembang jadi guru”. Secara filosofis, orang Minang seharusnya tidak saja jadi perantau, tetapi juga tampil sebagai warga dunia dengan wawasan universal (hal.67).

Dalam perspektif ini, si Minang yang ciut nyalinya memasuki kultur lain yang asing sifatnya, tidak saja terkurung dalam kategori pengecut, tetapi memang tidak paham filosofi dasar Minangkabau yang sering dituturkan kaum adat pada upacara-upacara tertentu. Sebab, jika filosofi Minang ini dipahami secara benar dan dalam, akan melahirkan spirit reflektif untuk selalu maju, berkembang, dan suka dengan segala tantangan.

Dari catatan sejarah, misalnya, filosofi tersebut tengah menjadikan manusia-manusia Minangkabau memiliki karakteristik yang khas, demokratik, pembenari, dan egalitarian. Tengok saja sosok seperti Tan Malaka yang pernah tampil sebagai salah seorang tokoh Komintren (Komunis Internasional), tentu diilhami oleh doktrin “alam terkembang jadi guru”. Begitu juga tokoh-tokoh seperti Hamka, Agus Salim, Hatta, Natsir, Sjahrir, Bahder Djohan, Assaat, Halim, Sjabilal Rasjad, dan Isa Ansyary. Mereka semua adalah Minang belaka, tetapi jadi “orang” setelah bergumul dengan kultur lain di rantau.

Setidaknya terdapat tiga titik kisar yang menjadi aras menggeliatnya perjalanan pemikiran Buya Syafii. Titik kisar pertama dimulai ketika ia mengenyam pendidikan di Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah di Balai Tengah, Lintau. Di sinilah kali pertama konstruksi imajiner Buya Syafii mulai terbagun. Ia sudah berani berpidato di depan publik dan mengisi ceramah di kampung-kampung. Pun getol dalam berdebat.

Sementara titik kisar kedua terjadi ketika ia meneruskan pelajaran ke Madrasah Mu’allimin Yogyakarta. Di sini wawasannya semakin luas, tetapi naluri sebagai seorang “fundamentalis” belum berubah, jika bukan semakin menguat. Bahkan sampai belajar sejarah pada Universitas Ohio di Athens AS, paham agamanya belum mengalami perubahan.

Virus pencerahan yang memasuki titik kisar ketiga hadir ketika beliau singgah di ligkungan kampus Universitas Chicago. Di sini kebangkitan intelektual dan spiritualnya semakin meningkat. Ini adalah titik kisar ketiga dalam pemikiran keislaman, keindonesiaan, dan kemanusiaan. Fazlur Rahman adalah sosok yang sangat membantu Buya Syafii dalam mengembangkan pemikirannya. Kekayaan khazanah Islam klasik dan modern dengan al-Qur’an tengah membuat titik kisar terakhir di perjalanan Buya Syafii.

Buku ini menarik sekali untuk dibaca. Pertautan insan Minang yang penuh dengan lika-liku kehidupan serasa membuat kita senang membacanya. Bukan hanya perantauan lahiriah yang ditampilkan dalam buku ini, tetapi lebih kepada perantauan intelektual, spiritual, dan kemanusiaan. Buya Syafii berusaha menembus sekat-sekat di antara umat manusia, merengkuh semua golongan untuk bersama mewujudkan nilai pluralisme, kebersamaan, dan semangat saling menghormati.

Peresensi adalah Ali Rif’an, pengelola Rumah Pustaka FLP Ciputat.

Senin, 24 Mei 2010

Tidak Ada yang Selesai di Republik Ini (II)

Oleh Ahmad Syafii Maarif

Presiden kedua Jenderal Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun (1966-1998), di akhir kariernya juga sarat dengan drama, dihujat selama beberapa tahun, persis seperti yang dialami Bung Karno. Bedanya, jika Bung Karno terutama dihujat karena masalah politik, Soeharto memikul beban lebih berat: politik dan ekonomi berupa kebijakan BLBI yang harus dipikul negara sebesar Rp 650 triliun bagi penalangan bank-bank yang bangkrut karena mematuhi resep maut dari Dana Moneter Internasional (IMF). Bagaimana sebenarnya status Pak Harto ini, tidak pernah selesai secara hukum sampai beliau wafat. Baik di akhir masa jabatan Bung Karno maupun di akhir masa kekuasaan Pak Harto, secara ekonomi dan politik Indonesia sama-sama tiarap, masyarakat pada umumnya sudah putus asa dengan kondisi bangsa dan negara yang sangat parah. Rakyat kecil menjerit, tetapi mereka tidak tahu lagi kepada siapa harus mengadu. Mereka pasrah dalam penderitaan yang selalu datang.

Selama beberapa tahun kekuasaan Soeharto, proses perbaikan kehidupan rakyat dengan bantuan utang luar negeri yang cukup besar, memang telah menjadi kenyataan. APBN dan pelita demi pelita telah berjalan secara teratur. Tetapi, karena sistem politiknya yang autoritarian dan tertutup, sisi-sisi hitam kekuasaan Soeharto tidak kunjung terkuak. Kabarnya kebocoran APBN sampai mencapai 30 persen, siapa yang tahu, bahkan ironisnya di era reformasi sejak 12 tahun yang lalu dengan sistem politik yang terbuka, kebobocoran ini tetap saja tak terbendung. Di sini muncul pertanyaan yang sangat menyakitkan: baik di bawah sistem tertutup maupun di bawah sistem terbuka, mengapa pendarahan APBN itu bahkan semakin parah?

KPK sudah dibentuk sejak tujuh/delapan tahun yang lalu untuk membantu kepolisian dan kejaksaan yang dinilai gagal dalam upaya mengusut dan memerangi gurita korupsi, tetapi ada kesan yang kuat dalam masyarakat bahwa pemerintah tidak serius dalam menangani masalah akut yang bagi bangsa ini sudah berada pada tahap to be or not to be. Dengan berbagai cara, KPK malah hendak dikebiri, jika perlu dibunuh sama sekali, agar bumi nusantara ini tetap menjadi surga bagi penjahat dan manusia tunamoral. Praktik kejahatan ini baru akan berhenti, jika yang tersisa di republik tercinta ini hanyalah ampas belaka di kemudian hari. Lalu anak cucu harus lari ke mana? Biar mereka menjadi budak di negara-negara lain, demi kelangsungan hidup mereka sebagai paria telantar tanpa martabat dan tanpa harga diri. Kekuatan neoliberalisme di Indonesia sama sekali tidak hirau dengan serba kemungkinan gelap bagi masa depan bangsa ini.

Ironisnya, sebagian kaum intelektual yang buta hati, juga berada di barisan neolib ini. Dalam masalah yang agak absrak, apakah neolib dan kapitalisme dibolehkan berkembang di bawah naungan Pancasila dan UUD yang prorakyat, itu pun tidak ada kejelasan. Semuanya dibiarkan abu-abu agar petualangan politik dan ekonomi yang antirakyat tidak perlu dibendung. Seakan-akan bangsa ini sudah mapan secara kultural, padahal jauh dari itu semua.

Lalu, perkara apa lagi yang tak kunjung selesai? Masih sejibun. Tragedi Lapindo, Tragedi Marsinah, Udin, Semanggi, peracunan Munir, terorisme, konflik sesama polisi, sesama jaksa, sesama hakim, skandal Century, markus, dan 1001 masalah lain yang telah lama membebani bahu bangsa ini. Pemimpin di mana? Pemimpin sibuk membentuk berbagai badan, komisi, tim, sekber koalisi, dan kegiatan paranoid lainnya. Sekiranya memang benar-benar mau menyelamatkan bangsa dan negara ini dari tembakan maut korupsi, saya memohon agar pemerintah jangan bersikap pura-pura, sebab akar kankernya sudah menjalari seluruh tubuh Indonesia. Saya mengusulkan agar pimpinan KPK yang akan datang memenuhi kriteria berikut ini: (1) berani menghadang kematian, demi kelangsungan hidup bangsa dan negara ini; (2) patriot sejati beradasarkan peniliaan objektif dari berbagai sumber; (3) punya integritas moral yang prima dan rekam-jejak yang relatif bersih.

KPK ini hanyalah akan dapat bekerja dengan baik, manakala pemerintah dan masyarakat memberikan dukungan penuh kepada capaian misinya. Dan KPK sendiri harus membuka diri terhadap kritik, sehingga tudingan sikap tebang-pilih kepada kinerjanya dapat dihindari. Dengan demikian, pimpinan KPK yang akan datang harus sosok manusia yang benar-benar mencintai bangsa ini dengan sepenuh hati. Dengan dasar cinta sejati ini, mereka siap mati dalam menjalankan tugasnya berhadapan dengan kekuatan-kekuatan hitam dan jahat yang pasti selalu mengintai untuk membinasakannya.

Jika KPK dapat merampungkan tugasnya 50 persen saja, maka akan banyak sekali masalah dapat diselesaikan secara berangsur, karena sudah ada kepastian. Sisa yang 50 persen akan lebih mudah dikerjakan karena jalan ke sana sudah dibersihkan.
(-)

Jumat, 21 Mei 2010

Tidak Ada yang Selesai di Republik Iini (I)

Selasa, 18 Mei 2010 pukul 11:52:00
Tidak Ada yang Selesai di Republik Iini (I)

Oleh Ahmad Syafii Maarif


Beban sejarah yang akan diwarisi anak cucu semakin bertumpuk, sebab masalah-masalah besar yang dipikul oleh bahu bangsa ini banyak sekali tidak ada yang selesai, baik secara hukum maupun secara politik. Jika generasi yang akan datang lebih baik dan lebih peka daripada generasi yang telah berlalu dan sedang berjalan, beban sejarah itu pasti akan terus menghantui mereka untuk menjawab pertanyaan: mengapa bangsa ini tidak mampu menyelesaikan masalah-masalah besar yang muncul silih berganti? Apakah kultur kita memang lebih memilih menunda persoalan tinimbang menyelesaikannya? Jika terus saja ditunda, sama saja artinya dengan sikap tidak bertanggung jawab, bukan? Selama hampir 65 tahun merdeka, tumpukan masalah besar itu sudah semakin menggunung.

Kita catat sambil lalu saja era perang kemerdekaan yang berlangsung 1945-1949. Dalam situasi yang tidak normal, masalah-masalah politik kebangsaan sudah memanas yang tidak kurang dahsyatnya ketika itu. Sebagai bangsa yang baru saja merdeka, kita sudah memasuki ranah mewah yang sungguh menguras stamina dan energi, seperti konflik ideologis tentang dasar negara yang kemudian berlanjut sampai tahun 1950-an. Saya yang semula bersikap partisan dalam konflik ideologis itu, akhirnya sadar bahwa energi dan stamina yang dikeluarkan itu sebagian besar sia-sia belaka. Pusat perhatian yang semestinya ditujukan guna menguatkan masalah nation and character building yang masih rapuh sampai hari ini, justru terbengkalai, dikalahkan oleh pertarungan ideologi antara nasionalisme, Islamisme, dan marxisme/sosialisme.

Bung Karno sejak 1926 telah mencoba mendamaikan ketiga ideologi ini, tetapi berujung pada kegagalan, terutama antara Islamisme vs. marxisme. Sedangkan antara Islamisme dan nasionalsme sebenarnya tidak ada persoalan yang harus dipertentangkan, karena baik Islamisme maupun nasionalisme sama-sama menginginkan bangsa ini tegak di atas kekuatan sendiri, tidak bergantung pada belas kasihan bangsa dan negara lain. Di sinilah kesalahan fatal marxisme/komunisme yang bolak-balik antara pro-Uni Soviet dan kemudian pro-Beijing dengan mengorbankan kepentingan nasional, demi menyenangkan hati bos asingnya. Sekarang marxisme/komunisme telah ditinggalkan sejarah, tetapi korban manusia akibat petualangannya pada tataran global mencapai puluhan bahkan mungkin ratusan juta.

Kembali kepada masalah-masalah besar yang tak kunjung dapat diselesaikan oleh elite bangsa selama puluhan tahun. Kita mulai dari Peristiwa 17 Oktober 1952 berupa kegusaran AD (Angkatan Darat) terhadap perpolitikan Indonesia dan ingin "memaksa" Bung Karno agar membubarkan DPRS. Tokoh di balik peristiwa ini adalah Kol A.H. Nasution, Mayor Jenderal T.B. Simatupang, dan sederetan perwira lainnya. Tidak ada penyelesaian tuntas secara hukum atas kejadian ini, kecuali Nasution dan kawan-kawan diberhentikan, tanpa proses hukum.

Tetapi pada 1956, Bung Karno dan A.H. Nasution bermesraan kembali, karena terdapat titik-temu sementara antara keduanya: sama-sama kecewa berat oleh kelakuan partai politik yang dinilai tidak memikirkan kepentingan bangsa dan negara. Jika perlu partai-partai itu dibubarkan. Demikianlah, ketika Majelis Konstituante tidak berhasil menyelesaikan masalah dasas negara pada 1959, AD plus partai-partai tententu mendorong Bung Karno untuk membubarkan majelis itu dengan menetapkan secara dekrit agar Pancasila dan UUD 1945 menjadi dasar dan UUD negara. Muncul masalah di sini, apakah di bawah UUDS yang berlaku ketika itu Bung Karno sebagai presiden berhak bertindak sejauh itu? Masalah inipun tidak ada penyelesaian yang memuaskan, sekalipun didukung oleh mayoritas suara dalam parlemen.

Akibat Tragedi G30S/PKI yang gagal, nama Bung Karno dikait-kaitkan dengan peristiwa itu. Tetapi, apa sebenarnya yang berlaku, tidak ada kejelasan dan penyelesaian sampai sekarang, sementara Bung Karno sendiri telah menjadi hujatan massa yang antikomunisme selama bertahun-tahun. Bahkan kabarnya, saat Bung Karno sakit, negara sudah tidak peduli kepadanya, dibiarkan begitu saja sampai wafat pada Juni 1970 dalam keadaan yang tidak pantas.
(-)
Index Koran

Jalan Berliku dari Sumpur Kudus

Sumpur Kudus, sebuah nagari di pedalaman Sumatera Barat, hingga lima tahun lalu belum terjamah listrik. Seorang perantau kelahiran desa itu menjadi pemicu perubahan.

Jejak-jejak ketertinggalan dan keterisolasian masih terlihat di Sumpur Kudus. Jalan-jalan terjal dan berliku dengan ancaman longsor pada musim hujan. Penduduknya pun masih menggantungkan hidup dari hasil menyadap karet alam di kebun dan bagian hutan yang landai. Hasil pertanian padi dari sawah yang terhampar indah di pinggir nagari (unit administrasi setingkat desa) hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan makan mereka sehari-hari.

Dengan kondisi jalan sudah beraspal mulus dan bisa dilalui mobil-mobil terbaru, perjalanan menuju kota kecamatan terdekat masih membutuhkan waktu sekitar satu jam. Untuk ke ibu kota kabupaten di Muaro Sijunjung, paling tidak diperlukan dua jam perjalanan.

Padahal, Sumpur Kudus bukan sekadar desa terpencil yang tak punya arti dalam sejarah. Hampir semua orang Minangkabau pasti tahu bahwa nagari itu adalah salah satu dari tiga tempat bersemayamnya Rajo Nan Tigo Selo, semacam ”triumvirat” yang menguasai Sumatera Barat pada abad ke-16 dan 17. Rajo Alam di Pagaruyung, Rajo Adat di Buo, dan Rajo Ibadat di Sumpur Kudus. Nagari ini bahkan mendapat julukan ”Makkah Darek” atau Mekkah Daratan karena menjadi salah satu pusat penyebaran agama Islam di wilayah Sumatera Barat.

Namun, nagari itu seperti dilupakan. Berpuluh tahun kemudian, desa itu tetap terisolasi, tersuruk di tengah belantara hutan dan perbukitan Bukit Barisan. ”Hingga tahun 1980-an, masyarakat di sini masih memakai kuda untuk pergi ke kota terdekat karena kondisi jalan masih jelek,” tutur Wali Nagari Sumpur Kudus Nasirwan.

Sampai suatu ketika, seorang perantau dari nagari itu meraih sukses dan posisi penting di pusat pemerintahan negara di Jakarta. Perantau itu bernama Ahmad Syafii Maarif (74) Ketua PP Muhammadiyah periode 1998-2005 yang juga seorang tokoh masyarakat, keagamaan, dan pluralisme yang disegani. Melalui jaringan pertemanannya di pemerintahan, Syafii meminta agar pemerintah menaruh perhatian dan sentuhan pembangunan di kampung halamannya yang terisolasi. Desa itu dulu menjadi pusat perdagangan emas pada masa Minangkabau kuno itu.

Berkat lobinya, akhirnya masyarakat Sumpur Kudus bisa menikmati jalan beraspal dan listrik. Listrik masuk ke desa tersebut tahun 2005, aspal menyusul dua tahun kemudian. Menara BTS untuk memancarkan sinyal telepon seluler baru dibangun 2007.

Enam puluh tahun setelah republik ini merdeka, nagari itu akhirnya tersentuh peradaban modern. Penduduk pun tak perlu lagi menunggang kuda beban selama dua hari untuk berbelanja barang-barang kebutuhan sehari-hari ke kota terdekat.

Menurut Damhoeri, Syafii juga turut membantu pembangunan panti asuhan anak yatim terbesar di Sumpur Kudus yang ada saat ini. ”Walaupun sudah lebih setengah abad waktunya habis di perantauan, cinta pada kampung halaman tak pernah pudar,” tutur Damhoeri tentang bekas adik kelasnya saat bersekolah di Madrasah Muallimin Muhammadiyah di Lintau, awal 1950-an itu.

Didorong adat

Inilah puncak perjalanan seorang perantau dari Minangkabau. Merantau (terutama bagi laki-laki) di kalangan masyarakat Minangkabau, yang menganut sistem matrilineal, adalah aktivitas yang didorong oleh adat.

Semua orang Minang pasti hafal dengan pantun berikut ini: Karatau madang di ulu/Babuah babungo balun/Marantau bujang dahulu/di rumah paguno balun. Kira-kira, merantaulah semasa muda sebelum bisa menjadi orang berguna di rumah.

Merantau dalam konteks adat tradisi Minangkabau adalah sebuah proses, bukan sebuah migrasi permanen. Menurut pemikir kebudayaan asal Minang, Yasraf Amir Piliang, merantau adalah sebuah ruang sementara pembentukan diri seorang Minang sehingga kelak saat ia sudah sukses, ia akan kembali ke tanah asalnya.

Banyak perantau dari Minang ini yang tidak pulang ke kampungnya lagi setelah sukses. Ada pula yang pulang tidak dalam ujud fisik, tetapi cukup dengan mengirim uang secara rutin kepada keluarga di kampung.

Namun, apa yang dilakukan Syafii lebih dari semua itu. Betul, bahwa Syafii dan keluarganya masih memilih tinggal di Yogyakarta. Namun, ia masih rutin pulang ke Sumpur Kudus, menginap di rumah kerabatnya. ”Kalau pulang, Buya masih suka jalan kaki ke kedai kopi untuk ngobrol dengan orang-orang kampung. Semua ia yang traktir,” tutur Asril Maruf, saudara sepupu Syafii.

Inilah gambaran perantau yang dikehendaki adat tradisi Minang. Namun, seperti juga semua tradisi di segenap belahan dunia yang sedang menghadapi globalisasi, adat istiadat Minang pun sedang dalam proses pergeseran dan perubahan....(Kompas Minggu, 16 Mei 2010 | 02:51 WIB)

Selasa, 06 April 2010

Ujian Nasional: Belum Berjalan Seperti Yang Diharapkan

Harapan Ujian Nasional (UN) pada tahun sekarang (2010) agar berjalan mulus dan jauh dari kecurangan. bisa dikatakan masih jauh panggang dari pada api. Faktanya, kita lihat pemberitan di media massa, bahwa di lapangan masih banyak terdapat kecurangan-kecurangan, diantaranya terjadi kebocoran soal dan beredarnya kunci jawaban lewat Short Message Service (SMS).
Tentu hal ini sangat memprihatinkan. Apalagi bangsa ini adalah bangsa yang beragama. Sedangkan di Negara yang komunis saja, niali-nilai kejujuran masih dijunjung tinggi. Dimana letak kejujuran? Dan dimana letak keadilan? Apakah bangsa ini tidak lagi mempunyai kejujuran? Tentu kita sebagai bagian dari bangsa ini, tidak mau dikatakan demikian.
Masih banyak orang di negri ini yang masih memiliki kejujuran. Tapi itulah yang terjadi, kadang menilai sesuatu itu tanpa melihat keseluruhan. Jadi disini berlaku pepatah, “karena nila setitik rusak susu sebelanga”.
Walaupun demikian, proses UN pada tahun 2010 ini sudah bisa di bilang jauh lebih apik dari beberapa tahun sebelumnya. Yang tahun-tahun sebelumnya masih diwarnai dengan kecurangan. Tentu ini tidak terlepas dari kebijakan menteri pendidikan dan jajarannya, serta juga dukungan dari berbagai pihak Kita berharap kedepan UN di negeri ini supaya berjalan dengan anggun dan penuh kejujuran. Tentu disini oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab itu harus diingatkan dan kalau perlu dimeja hijaukan. Agar mereka jera, dan tidak menularkan kepada yang lain. Dan watak-watak yang tidak jujur dan penuh kecurangan itu, harus kita buang sampai batas-batas yang jauh.
. Sudah seharusnya kita sebagai bangsa yang besar harus sembuh dari penyakit yang namanya kecurangan dan ketidakjujuran itu. Jangan sampai terulang lagi kesalahan-kesalahan yang lalu. Dan kita harus bisa bercermin dan mengambil pelajaran dari masa lalu itu. Karena selama ini seolah-olah masyarakat bangsa ini telah dihinggapi penyakit amnesia (lupa). Sehinngga proses UN kecolongan berkali-kali.
Untuk itu, mari kita dukung bersama-sama niat baik menteri pendidikan (pemerintah). Sehingga dunia pendidikan Indonesia, khususnya UN benar-benar terbebas dari praktek kecurangan. Sehingga proses UN kedepan benar-benar bisa berjalan dengan mulus, anggun dan beradab. Seperti yang kita harapkan semua. Semoga.!
AFRINALDI SUMPUR
(Mahasiswa UIN SUKA Fak. Tarbiyah. Jurusan PAI 2008)

Benarkah Orang Indonesia Hanya Berani Ngomong di Belakang?

“ Gosip, omongan di warung kopi adalah omongan ompong. Baru setelah masuk ke koran ia mendapat gigi yang tajam.” (Kompasiana, 4 April 1966).
Benarkah orang Indonesia hanya berani ngomong di belakang atau warung kopi? Jawabannya, tentu tidak sepenuhnya benar. Karena masih banyak masyarakat bangsa ini yang berani menyuarakan suara kebenaran.
Negara kita adalah Negara demokrasi. Setiap orang berhak menyampaikan pendapatnya. Baik itu melalui tulisan maupun langsung secara lisan. Melaui tulisan bisa dengan cara mengirim ke media cetak, seperti koran, bulletin, majalah dan sebagainya. Langsung secara lisan bisa dengan cara dialog, orasi dan berujuk rasa, serta juga bisa dengan telepon interaktif pada acara-acara tertentu. Baik itu di radio maupun televisi (TV).
Dalam situasi bangsa kita sekarang yang carut-marut dan tak pernah putus dirundung masalah. Masalah demi masalah silih berganti menyambangi negeri muslim terbesar di dunia ini. Belumlah selesai masalah yang satu, telah datang pula masalah yang lain. Masalah-masalah tersebut telah mewarnai media cetak dan eloktronik di tanah air. Masalah-masalah tersebut telah menyedot perhatian public.
Masalah-masalah yang telah menyodot perhatian public tersebut diantaranya adalah, masalah cicak vs buaya, masalah bank Century, makelar khusus (markus), Gayus Tambunan (pajak) dan masih banyak lagi masalah-masalah yang lain. Masyarakat telah lelah dan muak mengikuti permasalahan tersebut di media massa.
Tentu diperlukan suara-suara kebenaran (kebenaran yang sesungguhnya), kritik yang membangun dan jalan pemecahannya (problem solving). Baik dari kalangan mahasiswa, tokoh masyarakat (figure public), maupun suara akar rumput (grass root). Sehingga bangsa kita yang telah sarat dengan beban permasalan ulah oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab itu bisa berangsur-angsur membaik.
Sekarang bukan lagi zaman orde baru (ORBA), sekarang adalah kebebasan untuk menyatakan pendapat. Zaman Orde Baru memang semua bungkam. Media masa tidak berani membuka borok pemerintah. Sehingga pada waktu itu media massa hanya mengangkat kebaikan pemerintah saja. Kampus-kampus bungkam tanpa kata. Dan orang-orang yang masih mempunyai akal sehat terpaksa diam seribu bahasa. Daripada hilang malam tanpa jejak.
Tapi anehnya sekarang, setelah bebas menyatakan pendapat. Malah sebagaian masyarakat hanya berani ngomong di warung-warung kopi, pasar-pasar dan jalanan. Dan omongan mereka hanyalah mengira-ngira dan tidak ada kontribusi untuk perubahan bangsa. Jadi di sini ibarat pepatah “anjing menggonggong kafilah berlalu”. Omongan-omangan masyarakat hanya menjadi sampah. Sedangkan orang-orang yang tidak bertanggungjawab dan elite-elite politik yang terlibat masih tetap bebas berbuat dan berlenggang kankung di negeri ini.
Dan malah yang tumbuh lebih subur di media massa tanah air adalah gosip-gosip murahan tentang dunia selebritis. Yang tidak ada kontribusi sedikitpun untuk pemecahan masalah yang dihadapi bangsa ini. Acara-acara gosip semacam itu telah merubah masyarakat menjadi masyarakat yang hanya bisa bergunjing dan ngomong kesana kesini. Gosip semacam itu bisa di cap sebagai pergunjingan publik..
Dalam menyampaikan pendapat harus beradab dan tidak melanggar etika. Karena sering kita jumpai di media massa, banyak anak bangsa dalam menyampaikan pendapat menggunakan cara-cara kekerasan (anarkis). Dan berujung bentrok dengan oknum polisi dan sesama pengunjuk rasa. Tentu yang akan didapat bukan malah penyelesaian maupun solusi. Akan tetapi malah permasalahan baru dan pertumpahan darah sesama anak bangsa.
Semoga kedepan bangsa ini mau belajar dari kesalahan masa lalu. Kesalahan-kesalahan masa lampau jangan samapai terulang lagi. Dan masyarakat harus berani menyampaikan pendapat. Bukan hanya berani berbicara di belakang, karena itu tidak ada gunanya. Dan masyarakat harus selalu mengawasi dan memantau jalannya pemerintahan. Jika terdapat kesalahan masyarakat harus berani dan tidak segan-segan mengkritik dan memberikan solusi yang konkrit. Demi terciptanya Negara Indonesia yang maju dan demokratis. Karena omongan di belakang, hanyalah omongan ompong.

AFRINALDI SUMPUR
Mahasiswa Fakultas Tarbiyah UIN SUKA
CP: 081227195879

Jumat, 02 April 2010

Belum Ada Judul

Menyeruak kebenaran diantara tumpukan kebohongan
Bagaikan Melewati Sarang2 Serigala Yang Kelaparan
Menyisakan
Daging busuk, darah dan nanah yang berserakan

Sang Pencari Kebenaran Sejati
Tidak Takut Dengan Semua Itu
Walaupun Terperosok Di Sarang Serigala2 Kelaparan
Dan Diantara Daging Busuk darah dan nanah Yang Berserakan

Namun Akan Tetap Melangkah dan melangkah
Walaupun dengan merangkak dan terseok-seok
Karena Kebenaran Pasti Akan Terungkap
Yang Benar Akan Tetap Benar

YOGYAKARTA, 07 DESEMBER 2009
Sabtu, 10 Januari 2009/ 24 Muharam 1431 H.


Duhai sahabat…..
Sayup-sayup kudengar suaramu diseberang sana
Mengingatkanku……
Akan masa kita di kampung dulu
Dikala ku bertandang kerumahmu

Gemericik air di sungai dan Kicauan burung
Hamparan padi yang menguning dan Bukit barisan yang sambung menyambung
Selalu menari-nari diingatanku

Tapi kini….
Masa itu semakin menjauh saja
Semakin mengecil
Bahkan nyaris hilang
Seiring bergantinya musim

Batang sumpur yang selalu mengalir
Seiring bergulirnya waktu
Bukit barisan yang masih berdiri kokoh
Seakan memagari lembah2nya

Sumpur Kudus
Itulah nama daerah di lembah itu
Yang selalu membuatku rindu siang dan malam

Membelah hati
Menyisakan sunyi
Rindu yang tak terperih


Jogja, 2009

Senin, 22 Februari 2010


Si Anak Kampoeng berisi kisah masa kecil tokoh Syafii Maarif di Desa Calau, sebuah kampung terpencil di Minangkabau. Begitu terpencilnya, listrik saja baru masuk ke kampung itu tahun 2005. Ayah Syafii adalah seorang datuak---kepala nagari---dan ibunya perempuan yang berwawasan luas. Sayangnya, Maarif kecil tidak sempat merasakan kasih sayang ibu karena sang ibu meninggal dunia. Syafii, yang biasa dipanggil Pi'i, kemudian diasuh oleh tantenya dan dibesarkan dalam budaya Minang yang matriarkal.

Walaupun Pi'i sering dicibirkan sebagai anak kampung di sekolah, semangat belajar dan cita-citanya jauh melampaui anak-anak dari kota. Ketika belajar di Sekolah Rakjat, ia lompat kelas karena kepandaiannya. Lalu ia meneruskan ke Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah, Sumpur Kudus. Perang revolusi yang terjadi di tahun 1947-1950 membuat Syafii putus sekolah. Karena keadaan yang begitu kacau, sampai-sampai madrasah itu tidak sanggup mencetak ijazah kelulusan. Setelah keadaan membaik, Pi'i melanjutkan madrasah di kota Lintau. Tak berhenti sampai di situ, ia kemudian memutuskan untuk melanjutkan sekolah di Muhammadiyah, Yogyakarta. Dengan berat hati, ayah Syafii merelakan anaknya menuntut ilmu di tanah Jawa, tanah yang tak pernah ia injak seumur hidupnya.

Namun sesampainya di sana, Syafii ternyata belum bisa mewujudkan cita-citanya belajar di sekolah idamannya. Ia diminta menunggu setahun lagi karena kelasnya telah penuh. Syafii memutuskan untuk belajar di sekolah montir saat menunggu tahun ajaran baru datang. Di saat Syafii jauh dari keluarga, sebuah berita duka datang. Namun saat tekad ditetapkan, doa dihaturkan, usaha dijalankan, dan malaikat dikirimkan, Syafii merasa bahwa jalannya yang berliku mulai lurus kembali.
Novel "Si Anak Kampoeng"
Pengarang:Damien Dematra

Ukuran : 14 x 21 cm
Tebal : 260 halaman
Terbit : Pebruari 2010
Si Anak Kampoeng berisi kisah masa kecil tokoh Syafii Maarif di Desa Calau, sebuah kampung terpencil di Minangkabau. Begitu terpencilnya, listrik saja baru masuk ke kampung itu tahun 2005. Ayah Syafii adalah seorang datuak---kepala nagari---dan ibunya perempuan yang berwawasan luas. Sayangnya, Maarif kecil tidak sempat merasakan kasih sayang ibu karena sang ibu meninggal dunia. Syafii, yang biasa dipanggil Pi'i, kemudian diasuh oleh tantenya dan dibesarkan dalam budaya Minang yang matriarkal.

Walaupun Pi'i sering dicibirkan sebagai anak kampung di sekolah, semangat belajar dan cita-citanya jauh melampaui anak-anak dari kota. Ketika belajar di Sekolah Rakjat, ia lompat kelas karena kepandaiannya. Lalu ia meneruskan ke Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah, Sumpur Kudus. Perang revolusi yang terjadi di tahun 1947-1950 membuat Syafii putus sekolah. Karena keadaan yang begitu kacau, sampai-sampai madrasah itu tidak sanggup mencetak ijazah kelulusan. Setelah keadaan membaik, Pi'i melanjutkan madrasah di kota Lintau. Tak berhenti sampai di situ, ia kemudian memutuskan untuk melanjutkan sekolah di Muhammadiyah, Yogyakarta. Dengan berat hati, ayah Syafii merelakan anaknya menuntut ilmu di tanah Jawa, tanah yang tak pernah ia injak seumur hidupnya. Namun sesampainya di sana, Syafii ternyata belum bisa mewujudkan cita-citanya belajar di sekolah idamannya. Ia diminta menunggu setahun lagi karena kelasnya telah penuh. Syafii memutuskan untuk belajar di sekolah montir saat menunggu tahun ajaran baru datang. Di saat Syafii jauh dari keluarga, sebuah berita duka datang. Namun saat tekad ditetapkan, doa dihaturkan, usaha dijalankan, dan malaikat dikirimkan, Syafii merasa bahwa jalannya yang berliku mulai lurus kembali.

Minggu, 03 Januari 2010

" Tahun baru, semangat baru. Semoga di tahun 2010 ini menjadi tahun yang lebih baik dari tahun-tahun yang lalu. Karena barangsiapa yang sama hari sekarang dengan hari kemaren, ia termasuk yang rugi"

Kettika Refreshing Ke Candi Prambanan