Entri Populer

Jumat, 17 April 2009

Resume Buku Transpolitika

RESUME BUKU TRANSPOLITIKA
(Dinamika Politik Dalam Dunia Virtualitas)



`

















Nama : AFRINALDI
NIM : 08410261 NPK : 33
Jurusan/Prodi : PAI/F









JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2008





Tanggal / No. Pendaftaran : 02 Desember 2008 / 01
Resume Buku

Tugas Sukarela Mata Kuliah : Pendiddikan Kewarganegaraan
1. Judul Buku : TRANSPOLITIKA Dinamika Politik di dalam Virtualisasi
2. Tahun : 2006
3. Penulis : YASRAF A. PILIANG
4. Penerbit : JALASUTRA
5. Alamat Penerbit : Jl. Mangunnegaran Kidul No.25
6. E-Mail : redaksi@jalasutra.com
7. Jumlah Halaman : 476 halaman, 3 bab.
8. Cetakan : Ke II
9. Cetakan I Tahun : 2005
10. No. ISBN : 979-3684-06-2














PENGANTAR

Politik selalu memperlihatkan wajahnya yang ganda; wajah arif bijaksana sekaligus licik; wajah luhur sekaligus busuk; wajah jujur,sekaligus penuhpu daya; wajah humanis sekaligus antihumanis; wajah moralis sekaligus amoralis.Politik kerap tampil dengan wajah sangat kelam, ketika ia dibangun oleh aktor-aktor politik yang penuh akal busuk, pikiran kotor, rencana jahat,, skenario menakutkan, sifat rakus, dan hasrat tak terbendung-inilah politicum horrobilis.Akan tetapi politik juga bisa tampil dengan wajah mencerahkan, ketika ia dibangun oleh aktor-aktor yang penuh pengabdian, keluhuran cita, kesucian cita, kerendahan hati, dan kesederhanaan hidup-inilah politicum hcrois.
Jadi dalam buku ini kita akan menemukan lukisan politik didalam sebuah dunia yang kehilangan batas-batasnya, yang disebut didalam buku ini sebagai dunia transpolitika ( transpolitics). Selain itu, meskipun banyak berbicara tentang berbagai fenomena politik, buku ini sesungguhnya bukanlah buku tentang ilmu politik, yang tentunya merupakan disiplin dengan epistemologi dan metode yang khusus. Buku ini lebih merupakan upaya untuk menafsirkan fenomena-fenomena budaya politik—terutama aktor-aktor politik—dengan menggunakan pendekatan cultur studies, dan untuk bagian-bagian tertentu menggunakan metode semiotika dan fenomenologi-hermeneutik.













BAB I
( Halaman 73 s/d 148 )

PARANOIA POLITIK
A. Horror-culture:
Politik, Kebudayaan dan Kekerasan
“ Kegilaan telah memenjarakan manusia dalam sifat kebinatangan
…mengembara melampaui setiap fantasi; kekerasan, bercak
darah, kematian.”
Julia Kristeva
SEJARAH DUNIA adalah sejarah yang dipenuhi oleh berbagai tontonan kekerasan, kebrutalan, penjarahan, tawuran, penyiksaan, kekejaman, mutilasi, sadisme, genocide, homicide, penculikan, penghilangan paksa, yang telah menciptakan iklim ketakutan, horor, dan trauma pada tingkat psikis, derita sosial, dan rasa tidak aman pada tingkat sosial dan ketidakamanan ontologis pada tingkat eksistensial.
Ontologi Horor dan Ketidakamanan Ontologis
Kekerasan dan horor, selain dari persoalan sosial-politik, adalah juga persoalan eksistensial atau keber-ada-an.
Horor Kematian dan Kegilaan
Citra kejayaan, keadidayaan, superioritas suku, agama, ras menuntut adanya mekanisme kekerasan. Horor adalah lukisan dan citra dunia, yang didalamnya manusia menerima eksistensinya sebagai suatu perjalanan didalam berbagai ancaman kekerasan menuju kematian.
Horosofi dan Simulasi Kekerasan
Kekerasan dan horor yang beroperasi diatas tubuh bangsa ini tidak dapat dilepaskan dari peran para parancang kekerasan yang bisa berupa individu, kelompok, atau negara. Simulakrum kekerasan adalah kekerasan yang dikontruksi secara sosial sebagai drama, yang didalamnya para pelaku kekerasan adalah aktor-aktor yang tindak kekerasan berdasarkan peran mareka masing-masing berdasarkan sebuah narasi, tema, dan skenario tertentu.
Kekerasan Simbol dan Creative Destruction
Kekerasan pada hakikatnya adalah sebuah ironi, sebuah absurditas. Di satu pihak, berbagai peristiwa kejahatan dikatakan sebagai kejahatan dan kekerasan, disebabkan didalamnya terdapat unsur pemaksaan terhadap orang lain; atau pelanggaran atas hak azasi manusia lain. Akan tetapi, di pihak lain, berbagai peristiwa kekerasan itu pada kenyataanya bersifat kreatif, disebabkan di dalamnya diperlukan kebaruan, inovasi, kelihaian, informasi, pengetahuan, kecerdikan, dan kecerdasan. Akan tetapi, kreativitas itu ditunjukan untuk kejahatan dan penghancuran—destructive creativiti.
Horosofi dan Masa Depan Budaya Bangsa
Potret bangsa kita masa kini (world picture),adalah sebuah potret bangsa yang dipenuhi oleh citra-citra kekerasan, baik pada tingkat realitas, maupun pada tingkat ontologi citraan (media).

B. Politicum Horribilis:
Politik Horor dan Kekerasan Massa
“ Setiap orang menemukan dirinya dalam kesendirian menjelang
kematian, disebabkan kematian kini tak lebih dari…nilai tukar.”
Jean Baudrillard
TATANAN MORAL bangsa akhir-akhir ini tengah diuji oleh berbagai gelombang peristiwa kejahatan, kekerasan, dan sebagainya yang seakan-akan tiada akhirnya. Pemahaman tentang makna kekerasan tentunya memerlukan upaya intertprestasi yang lebih guna membentangkan hakikat dan makna yang dalam. Begitu masif dan luas tindak kekerasan yang terjadi, memerlukan kajian empiris dan objektif. Meskipun demikian, berbagai peristiwa kekerasan tersebut dapat pula dipahami dengan membentangkan berbagai kemungkinan interprestasi terhadap kekerasan itu sendiri.
Kekuatan-kekuatan Horor
Ekstasi Kekerasan
Kekerasann dan Kegilaan
Kekerasan dan Hipermoralitas
Sebuah Teater Hiperkriminalitas
Paul Hare, didalam Social Interaction as Drama, melihat interaksi sosial—termsuk tindak kejahatan didalamnya—sebagai sebuah pertunjukan drama.
Kekerasan dan Masa Depan Bangsa

C. Kekuasaan Dan Kekerasan:
Politik dan Kekuatan Horor
“ Permainan tanda menentukan tempat berlabuhnya kekuasaan.”
Michel Foucault
BILA KEKUASAAN secara sederhana didefinisikan sebagai kepemilikan kontrol atau kemampuan mengontrol. Kekuasaan memang sebuah istilah yang mempunyai pengertian yang jamak, digunakan oleh berbagai cabang pengetahuan (kekuasaan politik, ekonomi, media, dan sebagainya) serta dibicarakan dari berbagi sudut pandang. Meskipun berbeda pengertian, disiplin, serta sudut pandang dalam melihat kekuasaan, suatu prinsip umum yang terdapat dalam kekuasaan adalah bahwa kekuasaan cendrung untuk dipertahankan oleh orang yang memilikinya.

Kekuasaan Menciptakan Subjek
Kekuasaan dan Posmodernisme
Apa yang ditawarkan posmodernisme sebaliknya adalah pluralisme dan heterogenitas kekuasaan.
Kekuasaan dan Kekerasan
Masih Hidupkah Kekuasaan Feodalistik?
Sebagai suatu ideologi, feodalisme telah hidup dalam waktu yang cukup lama. Akan tetapi, didalam perkembangannya di beberapa kurun waktu, tempat, dan kebudayaan yang berbeda, ia mendapatkan nuansa-nuansa yang juga berbeda.
Bisa Hidupkah Masyarakat Madani


D. Symbolicum Horribilis:
Bahasa, Politik, dan Kekerasan
KRISIS MULTIDIMENSI yang melanda tubuh bangsa ini sejak 1997 hingga kini, tidak saja telah menimbulkan berbagai kehancuran pada sistem fisik (infrastruktur ekonomi, industri, sosial politik), akan tetapi juga pada sistem simbolik. Horrography (horor = menakutkan + graphia = ilmu), yaitu ilmu atau strategi dalam memproduksi citra-citra horor, sehingga menimbulkan efek-efek ketakutan didalam masyarakat, khususnya tentang keindonesiaan atau keislaman pada umumnya.

Kekuatan Horor dan kekutaan Simbolik
Luka-luka Simbolik
Symbolicum Horribilis
Ketakutan, kehancuran, dan kematian—yang dipertontonkan lewat aksi terorisme—kini menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari proses pertukaran politik, yang di dalamnya tubuh-tubuh yang luka, hancur, terbakar, tercabik, tak berbentuk, dan tak bernyawa; jiwa-jiwa yang ketakutan, histeris, dan trauma ditukarkan dengan keuntungan politik, hasrat politik, atau kehendak berkuasa yang diperoleh oleh pihak-pihak tertentu.
Politik Imagologi
Bila berbagai tragedi teror dimanfaatkan oleh Amerika Serikat dalam kerangka geopolitik dan politik informasinya, maka tampaknya serjarah dunia akan berulang kembali, yaitu sejarah penggunaan politik imagologi berupa rekayasa citra global dalam rangka menciptakan lukisan terorisme global yang sesuai dengan kepentingannya, yang di dalamnya berlangsung penggunaan tanda palsu, tanda menipu, dan tanda artifisial.

E. Kreativitas Destruktif:
Anak Bangsa Dalam Politik Kekerasan
“ Kepedihan menggiring kita pada sebuah alam rasa yang enigmatik:
duka, takut, atau riang gembira”.
Julia Kristev
BUDAYA BANGSA kita—khususnya dunia budaya anak-anak—akhir –akhir ini disarati oleh hutan rimba penghancuran diri sendiri. Anak-anak kalau tidak menjadi bagian dari proses penghancuran diri itu sendiri itu setidak-tidaknya menjadi penonton yang tak berdosa dari teater horor yang menggerikan. Anak-anak kita hidup didalam sebuah dunia yang dikelilingi oleh berbagai bentuk suguhsn tontonan realitas kekerasan (kerusuhan, pembantaian, penculikan, pembakaran,dan sebagainya) serta citra-citra kekerasan (televisi, video, video game, komik, majalah, mainan) yang sarat dengan muatan-muatan kreativitas yang destruktif.
Konstruksi Sosial Realitas dan Dunia Anak-anak
Anak Bangsa di Atas Panggung Horor
Kekerasan Simbol Dalam Dunia Anak-anak
Anak Bangsa Dikekerasan Digital
Dialogisme dan Masa Depan Kreativitas Anak Bangsa



BAB II
( Halaman 155 s/d 243)
IMORALITAS POLITIK
1.Nomadisme Politik dan Imoralitas Politik:
Dari Absurditas Hingga Skizofrenia
Nomad…berpindah dari satu titik ke titik lainnya…. Hidup nomad adalah
di dunia antara.
Gilles Deleuze & Felix Guattari
MENJELANG PEMILIHAN umum, berbagai partai politik dan aktor politiknya telah mulai menggelar berbagai langkah, manuver, dan strategiu politik dalam rangka meraih kemenangan politik. Akan tetapi, berbagai langkah, manuver, dan strategi politik itu—disebabkan kelemahan stuktural masyarakat politik kita—telah menciptakan berbagai ekses demokratisasi sebagai akibat dari penerapaan demokrasi diatas kekaburan fondasi dan ketidaktahuan tentang makna demokrasi itu sendiri.
Nomadsisme Politik
Nomadisme politik adalah sebuah kecendrungan perpindahan
terus-menerus di dalam politik, baik pada tingkat individu, kelompok, dan masyarakat; baik pada tingkat diri, personalitas, identitas, subjek, keyakinan, dan ideologis.
Nomadisme dan Skizofrenia politik
Nomadisme pada tingkat sosial-politik tidak dapat dipisahkan dari apa yang disebut sebagai skizofrenia pada tingkat psikis yang selama ini cendrung dilihat sebagai kelainan, abnormalitas, dan penyakit psikis. Skizofrenia, dalam hal ini, adalah pondasi psikis dari nomadisme, semacam mesin penggerak nomadisme pada tingkat kesadaran dan bawah sadar, khusussnya mesin penggerak hasrat didalam politik.
Geopolitik dan Kronopolitik
Nomadisme politik adalah kecendrungan politik ruang ketimbang politik waktu. Paul Virilio di dalam Lost Dimension membedakan antara prinsip geopolitik dan kronopolitik, yaitu antara poitik pergantian ruang dan politik merebut waktu.
Nomadisme dan Ironi Politik
Ironi politik sebagai suatu kondisi ketika didalam ruang-ruang politik hadir berbagai bentuk kontradiksi, pertentangan, disparitas, inkonsistensi, inkompatibilitas, dan paradoks—yang meskipun demikian diterima sebagai bagian politik –yang menciptakan berbagai bentuk absurditas politik.
Politik di Dalam Era Posmetafisika
Politik posmetafisika yaitu wacana politik yang telah kehilangan fondasi transendentalnya dan menjelma menjadi wajah politik yang bersifat imanen, yang diatasnya setiap aktor politik melakukan berbagai bentuk permainan politik yang bersifat permukaan, dangkal, absurd, dan ironis.

2. Parodi Politik:
Ada sebuah Negeri, Hobi Warganya Kolusi

Ada seorang raja,
Hobinya jadi presiden
Acep Zamzam Noor
ADA MASA ketika kenyataan hidup—tragedi, komedi, eufria, kepalsuan, kebusukan, kekerasan—tidak bisa lagi ditanggungkan oleh seorang penyair. Ada masanya ketika penyair dituntut untuk berkomunikasi dan berdialog dengan masyarakat di dalam sebuah wacana saling pemahaman. Penyair tidak dapat lagi melakukan monolog, yaitu bergumam untuk dirinya senduri tanpa peduli dengan pemahan masyarakat, tanpa berempati dengan masyarakat , tanpa verstehen.

3. Kekuasaan Simbol:
Bahasa, Politik, Nasionalisme
“Ideologi mempresentasikan relasi imajiner individu-individu dengann
kondisi eksistensinya yang nyata”.
Lois Althusser
PERBINCANGAN MENGENNAI bahasa tidak dapat dipisahkan dari kesalingberkaitannya dengan pengetahuan yang melandasi serta bentuk-bentuk kekusaan yang beroperasi dibaliknya. Artinya, perbincangan mengenai bahasa tidak dapat dipisahkan dari ideologi yang beroperasi dibaliknya, yang mempengaruhi wilayah penggunaan, teritorial, gaya, ungkapan, pilihan kata, dan kosa kata yang digunakan serta pengetahuan (kebenaran, realitas) yang diungkapkan atau disembunyikan oleh bahasa tersebut.
Bahasa dan Hegemoni
Bahasa pada kenyataanya tidak dapat dipisahkan dari ajang perebutan hegemoni. Istilah hegemoni (Yunani egemonia) dalam pengertian tradisional diartikan sebagai sistem kekuasaan atau dominasi politik.
Bahasa dan Kekerasan Simbol
Istelah kekerasan simbol dipopulerkan pertama kali oleh Pierre Bourdieu didalam beberapa karyanya. Kekerasan simbol, menurut Bourdieu, adalah sebuah bentuk kekerasan yang halus dan tak nampak yang menyembunyikan dibaliknya pemaksaan dominasi.
Bahasa, Hegemoni, dan Nasionalisme
Persoalan muncul ketika apa yang disampaikan (dunia representasi) dikaitkan dikaitkan dengan kenyataan sosial (dunia nyata). Ada berbagai mekanisme perumusan realitas dalam bahasa:
Pertama, mekanisme oposisi biner, yaiyu dimana kelompok sosial tertentu mengidentifikasikan dirinya sebagai kelompok simbolik kelas pertama (baik, benar, unggul), dan kelompok lawan pada kategori kedua (buruk, salah, jahat). Mekanisme oposisi biner biasanya digunakan oleh sebuah sistem kekuasaan dalam rangka mempertahankan kekuasaan, seperti pada sistem oposisi biner Orde Baru berikut:
Rezim Penguasa : General Others
Pancasila : Anti Pancasila
Pembangunan : Anti Pembangunan
Nasionalisme : Anti Nasionalisme
Persatuan : Anti Persatuan
Demokrasi : Sisa Komunisme
Komponen Bangsa : Organisasi Tanpa Bentuk
Pembela Bansa : Kelompok Subversif
Modern : Islam Fundamentalis
Penjaga Keamanan : Pengacau Keamanan
Kedua, mekanisme sentralisasi bahasa.
Ketiga, monologi bahasa.
Keempat, penyagaraman bahasa.
Kelima, tafsiran monosemi.

Bahasa, Otonomi, dan Pluralisme Budaya
Kesimpulan
Mempelajari secara komprehensif muatan ideologis dibalik bahasa, tidak dapat dilakukan lewat analisis wacana pada bahasa itu. Muatan ideologis pada bahasa sebaliknya, harus diungkapkan di dalam konteks wacana pertentangan ideologis yang lebih luas diantara berbagai kelompok ideologi yang berlangsung lewat berbagai mekanisme, khususnya mekanisme hegemoni.
4. Media dan Depolitisasi
Kebenaran dalam Kegalauan Informasi
“ Kebenaran tidak ditemukan, akan tetapi dibuat di pabrik”.
Dennis McCallum
MEDIA TIDAK bisa dipisahkan dari kepentingan yang ada dibalik media tersebu, khususnya kepentingan terhadap informasiyang disampaikannya. Di dalam perkembangan media mutakhir, setidak-tidaknya ada kepentinganutama dibalik media, yaitu kepentingan ekonomi dan kepentingan kekuasaan , yang membentuk isi media, informasi yang disajikan, dan makna yang ditawarkannya. Diantara dua kepentingan utama tersebut, ada kepentingan lebih mendasar justru terabaikan, yaitu kepentingan publik. Media yang seharusnya berperan sebagai ruang publik, disebabkan oleh kepentingan-kepentingan di atas, justru mengabaikan kepentingan publik itu sendiri.
Hegemoni politik atau media
Istilah hegewmoni berasal dari bahasa Yunani egemonia yang berarti penguasa atau pemimpin.
Media dan politik informasi
Persoalan ideologis pada media muncul ketika apa yang disampaikan media (dunia representasi), tatkala dikaitkan dengan kenyataan sosial (dunia nyata).
Hiperealitas media dan komunikasi
Istilah hiperealitas media digunakan oleh Jean Baudrillard untuk menjelaskan perekayasaan 9dalam pengertian distorsi) makna didalam media.
Konsekuensi Kultural Hiperealitas Media
Hiperealitas dan dehiperealitas media
Ideologis media, kekerasan simbolik, dan hiperealitas media yang mewarnai perkembangan media kontemporer, telah menciptakan berbagai problematika sosio-kultural menyangkut objektivitas media, fungsi komunikasi, kredebilitas informasi, dan kepastian makna.
Kekuasaan dan Media:
Politik dan Kekerasan Simbolik
“ kekuatan simbol tak lain dari kekuatan dalam mengontruksi realitas.”
Pierre Bourdieu
MEDIA ADALAH sebuah discourse, yang didalamnya terdapar relasi-relasi yang tidak dapat dipisahkan antara bahasa yang digunakan, pengetahuan yang melandasi, serta bentuk-bentuk kekuasaan yang beroperasi dibaliknya. Media adalah semacam rumah ideologi, yang didalamnya beroperasi ideologi tertentu yang membentuk dan menentukan arahn perekembangan media itu sendiri, menentukan bahasa (gaya, ungkapan, kosakata) yang digunakan, serta pengetahuan (kebenaran, realitas) yang diproduksinya.
Media dan kekerasan simbol
Kekerasan simbol menurut Bordieu, adalah”…bentuk kekerasan yang halus dan tak tampak yang menyembunyikan dibaliknya pemaksaan dominasi.
Media dan kekerasan semiotik
Mekanisme kekerasan media
Masa depan kekerasan media

BAB III
(Halaman 247 s/d 379)
GENEALOGI POLITIK
Minimalisme Ruang Public:
Budaya Publik di dalam Abad Informasi
“Diri minimal…adalah diri yang berada dalam ketidakpastian garis hidup,
apakah akan melukis dunia dengan citra dirinya sendiri atau larut ke dalam lingkungannya dengan penuh bahagia.”
Cristopher Lasch
BILA RUANG publik dijelaskan melalui metafora wadah, maka wadah tersebut dapat dikatakan mempunyai kualitas kepublikan sejauh ia dapat menampung di dalamn dirinya berbagai entitas (kelompok, komunitas, persatuan, kumpulan) dengan aneka ragam kepentingannya. Ruang publik, dalam hal ini, mempunyai tingkatan-tingkatan kepublikan , yang sangat ditentukan oleh besaran daya tampungnya terhadap aneka ragam bentuk dan kepentingan publik tersebut. Semakin besar daya serapnya dan semakin seragam yang diserapnya, semakin buruk kualitas kepublikan ruang tersebut.
1. Kekuasaan dan Ruang Publik
2. Ruang Publik dan Budaya Publik
3. Minimalisme Ruang Publik
4. Masa Depan Ruang Publik

B. Politik dan Pengetahuan:
Pendidikan di dalam Era Kapitalisme Global
“Adalah hasrat kekayaan, bukan hasrat pengetahuan, yang mendorong kebutuhan peningkatan kekampuan teknologi dan realisasi produknya.”
Jean Francois Lyotard

SEJARAH PENDIDDIKAN tinggi nasional, sejak era Orde Baru—dan mungkin hingga kini—tidak terlepas dari kondisi bertautnya relasi pendidikan dengan realisasi kekuasaan. Pendidikan tinggi dijadikan sebagai sebuah sarana untuk mencari, merebut, mempertahankan kekuasaan. Pendidikan tinggi manjadi sebuah alat kekuasaan. Di dalam kondisi yang demikian, pendiddikan yang sebetulnya bersifat netral, tidak memihak, dilandasi oleh prinsip objektivitas yang tinggi, kini dimuati dengan muatan-muatan ideologis yang bersifat memihak serta dilandasi oleh prinsip subjektivitas. Objektivitas yang merupakan nilai dasar dari sebuah sistem pendidikan tinggi, kini diambil alih oleh nilai-nilai subjektivitas sebagai manisfetasi keberpihakan pada sistem kekuasaan. Pendidikan tinggi sebagai sebuah wacana mencari kebenaran, kini dijadikan sebagai wacana pembenaran sebuah sistem kekuasaan.
Pendidikan Tinggi dan Industrialisasi Pikiran
Pendididkan Tinggi Sebagai Institusi Total
Pendidikan Tinggi Sebagai Panopticon
Pendidikan Tunggi dan Kekerasan Simbol
Sistem Pendidikan Nasional
Pendididkan Tinggi di Masa Depan

C. Genealogi dan Politik:
Masa Depan Imajinasi Bangsa
“Setiap masyarakat…memiliki politik kebenaran sendiri, yaitu semacam wacana yang diterima dan difungsikan sebagai yang benar.”
Michel Foucault
KRISIS MULTIDIMENSI, berbagai konflik dan bencana (alam, manusia) yang melanda bangsa secara berkepanjangan, ternyata tidak mampu menggerakan mesin-mesin perubahan diatas tubuh bangsa ini menuju pada kondisi yang lebih baik. Kesadaran dan energi bangsa justru habis terkuras untuk berbagai aktifitas politik harian yang melelahkan sebagai efek dari krisis, konflik, dan bencana, sehinga tidak punya lagi energi untuk menyusun masa depan bangsa, berupa sebuah masyarakat yang diimajinasikan di masa depan..
Genealogi dan Politik
Menyingkap Kamar Gelap Epistemologi
Indonesia dalam Imajinasi Orientalis
Genealogi Politik Indonesia
Kritik Genealogis Atas Genealogi
Horizon Genealogi Politik

D. Dialog Multikultural:
Otonomi dan Komunikasi Antarbudaya
“Hidup itu bersifat dialogis. Menjalani hidup berarti terlibat di dalam dialog,
bertanya mendengar, menjawab, menyetujui….”
Mikhail Bakhtin
BERBAGAI KONFLIK horizontal yang mewarnai kehidupan sosial-politik di Indonesia pada dekade terakhir ini, telah menimbulkan korban yang banyak dan kerusakan yang besar. Ada berbagai faktor penyebab konflik sosial tersebut, antara lain faktor ekonomi, kesenjangan sosial, politik, budaya, dan komunikasi, yang secara bersama-sama menutup pintu bagi penyelesaiannya. Faktor komunikasi, khususnya komunikasiantar budaya, adalah salah satu faktor penting yang menyebabkan berkelanjutannya sebagai konflik diantara pihak-pihak yang bertikai. Berdasarkan teori komunikasi antarbudaya, berbagai konflik sosial yang berkepanjangan dapat dilihat sebagai akibat dari tidak berjalannya dengan baik komunikasi antar berbagai budaya yang plural di Indonesia, sehingga sering menimbulkan berbagai bentuk kesalahpengertian, kesalahpengliatan, dan kesalahpenilaian.
Kesalahpahaman Antarbudaya
Pentingnya Dialog Kultural
Dialogisme dan Komunikasi Antarbudaya
Otonomi dan Komunikasi Antarbudaya
Komunikasi dan Heteromoni
Otonomi Dialogis

E. Demokrasi Dialogis:
Komunikasi Politik di dalam Era Informasi
“Tanpa kehadiran sang lain diri kita hanya tak terlihat oleh kita tetapi juga tak dapat dipahami dan dimanfaatkan.”
Mikhail Bakhtin
PERBINCANGAN MENGENAI masa depan dalam konteks sosial, politik, dan kebudayaan bukanlah perbincangan mengenai sebuah kepasatian, akan tetapi sebuah pilihan; bukan sebuah peramalan, melainkan sebuah penyusunan skenario; bukan sebuah perkembangaan yang linier, melainkan perkembangan sirkuler atau spiral; bukan sesuatu yang berdiri sendiri pada masanya (partial), melainkan sebuah jaringan kompleks hubungan total dengan masa lalu dan masa kini. Dengan perkataan lain, ada kompleksitas tertentu dalam upaya melihat masa depan sosial, politik, dan kebudayaan.
Wacana Komunikasi yang Demokratis
Fase Dekonstruksi Struktur Komunikasi Otoriter
Fase Turbulensi dan Chaos Komunikasi
Fase Terobosan Paradigma Komunikasi

F. Politik Neopluralisme:
Belajar Dari Pluralitas Kecil
“Umat manusia tidak lagi menjadi hamba dari Nalar…tetapi sebagai pencipta Dirinya sendiri”
Alain Touraine
BADAI KRISIS multidimensi, konflik, dan bencana yang melanda tubuh bangsa ini sejak satu dekade terakhir hingga kini belum juga mereda. Berbagai persoalan bangsa justru semakin menumpuk, sementara upaya-upaya penyelesaiannya belum menampakan hasil. Ketika berbagai persoalan konflik, korupsi, terorisme, ekonomi belum dapat dicarikan penyelesaiaanya, berbagai persoalan baru muncul, seperti persoalan sistem pendidikan nasional, penyelundupan barang dan manusia, pencurian hasil laut dan hutan, berbagai bencana alam termasuk bencana gempa bumi dan tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) yang merenggut lebih dari seratus ribu nyawa dan kerugian harta benda yang luar biasa.
Kepak sayap kupu-kupu Lokal
Pluralitas kecil adalah sebuah pengertian yang merujuk pada segmentasi geografi atau teritorialitas, yang didalamnya ada spektrum teritorial, dari yang paling kecil sampai yang paling besar.
Pluralitas dan Pseudo-pluralism
Meskipun pluralitas sudah menjadi realitas historis masyarakat-bangsa ini, akan tetapi konsep pluralisme itu sendiri masih tampak samar-samar dan sering kali disamakan (disalah artikan) dengan konsep-konsep lain, khususnya dengan konsep relativisme, yang meskipun saling berkaitan akan tetapi berbeda secara esensial.
“Neo-pluralism” dalam Pluralitas Kecil Kita
Ketika bangsa ini masih berkutat dalam menyelesaikan apa yang dapat disebut pluralitas konvensional, berbagai pluralitas baru telah hadir dan menjadi bagian dari problematika keseharian masyarakat bangsa kita, yang semakit meningkatkan kompleksitas persoalan yang dihadapi bangsa ini.
Menumbuhkan Sikap Pluralisme Baru

G. Politik Heteronomi:
Pemikiran Ulang Tentang Konsep Otonomi
“Sang asing itu ada di dalam diriku, karenanya kita semua adalah sang asing itu”
Julia Kristeva
PEMBERLAKUAN UNDANG-undang (UU) No. 22/1999 tentang otonomi daerah, telah membuka jalan bagi daerah-daerah untuk mengatur dirinya sendiri dalam bidang-bidang tertentu, seperti sosial, ekonomi, kebudayaan, yang selama ini diatur oleh pusat. Selain itu, semangat otonomi telah menguatkan pula sentimen-sentimen kedaerahan, kesukuan, atau etnisitas, yang diantaranya terlihat dari pembentukan propinsi-propinsi baru, seperti Propinsi Banten, Bangka Belitung, Gorontolo, dll.
Otonomi dan Diskontinutas Kultural
Anatomi dan Ekses-ekses Otonomi
Cara Berpikir Heteronomi

H. Politik Perubahan:
Undang-undang dan Perubahan Budaya
“Setiap bidang kebudayaan merupakan bagian dari upaya yang sama untuk menjadikan hidup lebih baik.”
Richard Rorty
DALAM KAITANNYA dengan perubahan yang berlangsung pada sebuah masyarakat, kebudayaan tidak saja dapat dipandang sebagai aspek perubahan, akan tetapi ia juga dapat dilihat sebagai sebuah pendekatan di dalam proses perubahan itu sendiri. Dalam hal ini, perubahan dapat dikaji melalui perspektif pendekatan budaya. Pendekatan budaya adalah sebuah pendekatan yang bersifat holistik dan integral, yang melihat manusia, masyarakat, objek ciptaan, pengetahuan, dan lingkungannya sebagai sebuah totalitas yang tidak dapat dilepaskan dari sistem dan tata nilai budaya yang mengikatnya. Sebagai sebuah totalitas, kebudayaan melingkupi berbagai sistem nilai didalam kehidupan sosial, ekonomi, politik, hukum; berbagai sistem ideologi, kepercayaan, religi, pengetahuan, bahasa, dan kesenian.
Relasi dan Komunikasi Antarbudaya
Demokrasi Dialogisme
Tantangan Demokrasi dan Dialogisme
Hukum dan Ekspresi Budaya
Demokrasi dan Otoritas Budaya
Relasi, Ekspresi, dan Otoritas Budaya
Pengaturan Relasi Antarbudaya
Pengaturan Ekspresi Budaya
Pengaturan Otoritas Budaya
Undang-undang Pendekatan Budaya


Epilog
Minimalisme Politik: Humanisasi Politik di dalam Era Virtualitas
DUNIA POLITIK menampilkan dirinya dalam berbagai wujud penampakan: kebenaran, kepalsuan, kedalaman; kejujuran, absurditas, esensi, ironi. Diperlukan Metafora untuk memahami makna berbagai penampakan politik yang saling bertentangan itu secara mendalam. Dalam hal ini, kita dapat membentangkan makna politik itu melalui metafora cahaya. Cahaya adalah sesuatu yang memberikan penerangan , semacam pelita yang melaluinya manusia mendapatkan pencerahan. Cahaya adalah sumber penerangan dalam kegelapan, meskipun efek penerangan itu sangat bergantung pada intensitasnya. Cahaya dengan intensitas rendah membuat orang tidak bisa melihat (visionless), akan tetapi cahaya dengan intensitas terlalu tinggi dapat membuat orang menjadi buta. Iluminasi atau pencerahan (insight) hanya dapat diperoleh dalam intensitas cahaya yang tepat, dan sebaliknya kebutaan (politik) dapat diakibatkan oleh kelebihan intensitas cahaya.
Imagologi Politik
Dunia politik tidak hanya dihuni oleh para pencinta kebenaran, akan tetapi juga oleh para pencinta kepalsuan dan penampakan luar.
Politik Abad Cahaya
Teknologi informasi dimasa depan akan mengalami perkembangan yang sangat pesat, yang didalam nya peran cahaya sangat penting sebagai pembentuk informasi.
Wacana Seduksi Politik
Di dalam era virtualitas, yang di dalamnya teknologi pencitraan membuka luas berbagai kemungkinan manipulasi dan permainan citra, rayuan, bujukan, godaan, janji, iming-iming, permainan penampakan (seduction) menjadi pilihan utama strategi komunikasi politik di dalam kondisi ketidakmungkinan untuk membangun sebuah situasi komunikasi yang rasional, sebagaimana yang dibayangkan oleh Habermas.
Politik Tanpa Subjek
Perbincangan politik, disebabkan melibatkan secara esensial berbagai aktor di dalamnya, tidak dapat dipisahkan dari perbincangan tentang manusia politik sebagai subjek, sebuah konsep abstrak tentang relasi psikis-linguistik diri manusia (politik) dengan dunianya.
Politik Tanpa Identitas?
Politik identitas adalah persoalan yang sangat problematik dalam konteks perkembangan politik kontemporer, yaitu ketika kita berbicara mengenai identitas politik.
Politik yang Menipu: Fatamorgana
Bila dunia politik di Abad cahaya telah terperangkap di dalam dunia penampakan layar (screen world), maka dalamnya pencerahan politik diambil alih oleh pencerahan palsu dan wujud citra.
Politik yang Menakutkan: Demonologi
Ada sebuah ironi genealogis tentang iblis dan cahaya. Iblis yang mengklaim dirinya berasal dari cahaya, karena sifat takaburnya, justru kehilangan kekuatan cahaya itu sendiri, yaitu kekuatan dalam mencerahkan, menerangkan, dan memberi iluminasi.
Politik yang Berpindah-pindah: Nomadologi
Persoalan lain politik kontemporer adalah persoalan konsistensi, yang diperlukan oleh aktor-aktor mauppun institusi politik sebagai mekanisme untuk menjaga agar ideologi dapat direproduksi di dalam kehidupan politik harian.
Politik yang Tumpang-tindih: Mutanologi
Politik kontemporer juga dibangun oleh kecenderungan ke arah apa yang disebut mutan dan mutanologi. Dalam terminologi biologi, mutan adalah organisme yang mengalami mutasi gen, yaitu perubahan pada struktur dan jumlah kromosom, sehingga menghasilkan wujud biologis baru.
Politik yang Berlari Kencang: Dromologi
Salah satu karakter utama abad informasi adalah perubahan irama dan tempo kehidupan (informasi, sosial, politik, dan kultural) kearah yang semakin cepat.
Pencerahan atau Iluminasi Politik?
Masih adakah cahaya terang dan pencerahan politik di masa depan, di dalam dunia yang semakin disarati oleh berbagai bentuk fatamorgana, nomad, demon, mutan, dan hantu kecepatan; berbagai manipulasi, rekayasa, dan simulasi realitas; berbagai pendangkalan, komodifikasi, dan banalitas; berbagai virtualisasi, manipulasi, dan simulasi; dan berbagai mitologisasi dan mistifikasi? Bagaimana mungkin menciptakan ruang publik demokratis, yang terbuka dan dilandasi oleh kejujuran, kepercayaan, dan kebenaran, di dalam masyarakat yang dibangun oleh berbagai teknologi pemalsuan, perekayasaan, dan pendistorian dewasa ini.


PENUTUP
Buku ini menjelaskan (mengibaratkan) sebuah politik dibawa kedalam dunia seni era virtualitas (khayalan), dimana kita diajak menyusuri (membayangkan) sebuah politik tanpa ruang, melainkan ruang digital politik. Menurut saya buku ini juga menjelaskan era politik pada zaman sekarang yang hanya merupakan sebagai simbol, dimana politik hanya dijadikan sebagai sebuah ajang atau permainan, layaknya seperti permainan di dunia maya.
Dimana para pelaku politik bagai dua mata sisi uang, pada suatu saat bisa menjadi baik dan dipuja, dan pada suatu ketika bisa menjadi sebaliknya, menjadi jahat dan dicela. Itulah dunia politik, yang sebagian orang mengatakan kalau politik itu kejam. Dan juga di dalam buku ini penulisnya Yasraf A. Piliang mencoba menyajikan kepada pembaca, bagaimana politik itu dibawa kedalam dunia seni, yang lebih spesifiknya kedalam era virtualitas, dimana politik dipandang didalam dunia yang tanpa sekat dan di dalam era transparansi, yang diciptakan oleh abad informasi dan globalisasi, sesuai dengan disiplin ilmu yang dimilikinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar