Entri Populer

Selasa, 28 April 2009



26 April 09

“PENGALAMANKU DI RIMBA LISUN”

Pada sekitaran tahun 2004, ketika itu saya baru selesai UNAS tingkat SLTP.Tibalah saatnya liburan, menunggu pengumuman kelulusan.Maka untuk mengisi liburan diajaklah aku oleh kakek untuk mencari ikan kesungai di rimba Lisun. Kakek adalah seorang pensiunan kepala SD. Yang sebelumnya kakek juga sudah sangat sering kesana, ketika dia juga libur dari pekerjaannya.
Rimba Lisun terletak antara perbatasan SUMBAR dengan RIAU. Sebuah rimba yang cukup luas dan juga banyak memiliki potensi alam. Seperti kayu, rotan, dan hasil-hasil hutan lainnya. Rimba ini bisa dibilang masih sangat perawan. Karena sangat jarang sekali dijamah oleh tangan manusia. Selain terletak diperbatasan, dan juga perjalan kesana yang sangat sulit sekali. Kita harus melewati lembah dan bukit bebatuan yang sangat terjal.
Kalau tidak salah, kami pergi kesana jumlahnya tujuh orang. Yaitu aku, kakek, ayahku, dua orang pamanku dan ditambah lagi dua orang yang namanya aku lupa-lupa ingat. Perjalanan kesana menghabiskan 10 jam dengan jalan kaki, melewati lembah dan perbukitan yang terjal. Tapi rasa lelahku terobati, selain pemandangan yang sngat indah disepanjang perjalanan. Dan juga perpaduan antara kicauan burung dan suara-suara fauna lainnya, yang seolah membikin simfoni dan melodi yang unik.
Sebenarnya banyak juga orang kampungku yang pergi kesena untuk mengambil hasil alamnya. Yaitu untuk memenuhi kebutuhan hidup, ketika penghidupan lagi susah. Biasanya mereka pergi ketika selesai bercocok tanam atau selesai panen. Dan juga ketika buah-buahan di hutan lagi musim. Seperti musim durian, nangka hutan, petai dan lain sebagainya. Serta juga hasil hutan lainnya, seperti rotan dan kina.
Tapi sebagian besar umumnya orang kampungku pergi kesana untuk mencari ikan. Dan ikan tersebut dibikin menjadi ikan kering(Ikan Salai Dalam Bahasa Minang). Tradisi ini sudah berjalan turun temurun di kampungku, entah sudah berapa lama. Angku Nalam1 seorang guru pada masa penjajahan belanda. Sudah sangat sering sekali pergi ke rimba ini, untuk mencari ikan dan hasil hutan lainnya. Karena gaji pada waktu itu, tidaklah cukup untuk menutupi kebutuhan hidup keluarganya. Sehingga dia harus mencari tambahan diluar pekerjaannya sebagai seorang guru pada masa itu.
Jadi rimba Lisun bisa dibilang juga tempat mengantungkan hidup bagi sebagian masyarkat, ketika hasil pertanian di dalam kampung tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Demikianlah kerja sebagian orang kampungku, agar dapur rumah mereka bisa terus berasap.
Kalau tidak salah, pernah juga investor dari Malaysia ingin menanamkan modalnya untuk mengelolah rimba Lisun menjadi perkebunan sawit. Tapi kerjasama tersebut tidaklah berlanjut, mungkin dikarenakan satu dua hal. Dan juga kabarnya orang kampungku Sumpur Kudus tidaklah setuju dengan rencana tersebut. Karena mereka tidak dibawa seiya sekata dalam rencana tersebut.
Dan juga kabarnya rimba Lisun adalah rimba yang terluas rimba yang masih alami yang ada di SUMBAR. Dan akhir-akhir ini rimba Lisun juga sudah dicap sebagai salah satu paru-paru Dunia. Kembali kepada cerita saya sebelumnya, selama lima hari disana sungguh banyak pengalaman yang tidak bisa saya lupakan. Salah satunya yaitu memancing.
Tapi yang sangat saya sesalkan yaitu, untuk menangkap ikannya kami menggunakan bahan kimia, sejenis akodan. Sehingga membunuh semua habitat yang ada didalam air, termasuk juga telur-telur ikan. Waktu itu, tidaklah terkumpulkan oleh kami ikan-ikan yang mati oleh zat kimia tersebut. Sehingga ketika kami pulang melewati jalur kehilir sungai tersebut, sungguh banyak ikan yang telah busuk hanyut dibawa arus.
Tentu cara menagkap ikan kami dengan masanya Angku Nalam sungguh sangat jauh berbeda. Pada masanya mungkin masih memakai alat-alat penagkap ikan yang sederhana. Seperti, jala, pancing, bubu dan lain sebagainya. Tentu saja alat-alat penangkap ikan seperti jala tersebut, sangat ramah terhadap lingkungan.
Jadi saya berharap kepada siapapun orang kampungku yang ingin mengambil hasil hutan rimba Lisun. Ambillah dengan cara yang baik dan jangan sampai merusak ekosistem hutan. Kerana yang akan rugi kita juga.
Selain hasil-hasil alam yang saya sebutkan diatas. Ada satu jenis hasil hutan lagi yang membuat saya sangat sedih. Yaitu burung. Yang paling saya sayangkan adalah jenis Murai Batu. Entah sudah berapa ribu ekor burung tersebut ditangkap dari rimba Lisun. Dan dihargai rendah sekali oleh para pembeli yang datang langsung kekampung saya. Akan tetapi sesampai di kota, mereka menjual dengan harga sangat mahal sekali.
Akhir-akhir ini kabarnya burung Murai Batu tersebut sudah sangat jarang dijumpai di rimba Lisun. Bahkan diperkirakan hanya tinggal beberapa puluh ekor saja. Mungkin karena memang perkembangbiakannya yang sangat susah. Lain halnya dengan ikan, karena ikan bisa berkembang biak dengan cepat. Saya khawatir mungkin 10 hingga 20 tahun kedepan burung ini tidak akan bisa lagi kita jumpai.
Dan juga sisi lainnya, menurut cerita yang pernah saya dengar di masyarakat. Rimba ini dulunya pernah juga dihuni oleh manusia. Yaitu dihuni oleh para pelarian perang. Saya tidak tahu persis pada zaman siapa. Itu terbukti banyak orang yang pernah pergi kesana menemukan peninggalan-peninggalan peralatan rumah tangga. Seperti pecahan-pecahan piring dan benda-benda lainnya.
Dan juga disana banyak ditemukan pohon kopi, durian, nenas dan tumbuhan lainnya. Yang diduga adalah bekas kebun orang-orang yang pernah tinggal disana. Tapi kabarnya mereka tidak bertahan lama tinggal disana. Karena ada sejenis makhluk yang mengalahkan mereka. Sehingga mereka pindah mencari tempat penghidupan yang baru.
Yang tak kalah menarik juga adalah dimuara batang Lisun tersebut terdapat tiang-tiang tembok. Bekas penyanggah jembatan kereta api pada masa romusha. Jadi sebenarnya daerah itu dulunya, sudah pernah dijamah oleh manusia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar