Entri Populer

Senin, 02 November 2009

"Resonansi Buya Syafi'i"

Selasa, 03 November 2009 pukul 01:55:00
Ayam Sipuah

Oleh: Ahmad Syafii Maarif



Nagari Sumpur Kudus yang udik adalah bagian dari Ranah Minang yang dikenal sebagai salah satu pusat ceme'eh di muka bumi. Jarak nagari itu dari BIM (Bandara Internasional Minangkabau) sekitar 140 km ke arah perbatasan Riau Daratan. Sejak masa kecil di kawasan udik itu, saya telah mendengar cerita tentang Ayam Sipuah yang bagak (berani) di kandang.

Jika diadu di tempat lain, bulu kuduknya berdiri sebagai tanda tidak siap tempur. Tetapi, sebenarnya cerita Ayam Sipuah ini tidak lain dari sebuah mitos sebagai wujud dari ceme'eh -nya orang Nagari Sumpur Kudus terhadap manusia yang hanya berani di kampungnya sendiri. Di luar kampung, bulu kuduknya juga merinding dan keringat dinginnya mengalir sebagai pertanda dari nyali kecil.

Tentu, ingin pula tahu di mana lokasi Lorong Sipuah itu agar ceritanya lebih mengalir. Sipuah terbagi dua: Atas dan Bawah. Bagian atas berinduk ke Nagari Sumpur Kudus, yang bagian bawah ke Nagari Tamparungo dalam Kecamatan Sumpur Kudus, Kabupaten Sijunjung, Sumatra Barat. Jumlah penduduknya sedikit, umumnya sebagai petani, sejumlah kecil sebagai saudagar hasil hutan dan barang kelontong. Jaraknya dari Nagari Sumpur Kudus sekitar 10 km melalui pendakian Lantiak Kuniang yang terkenal cantik dan legendaris itu.

Selama puluhan tahun, mungkin malah dalam bilangan abad, di era kuda beban (kuda sebagai alat angkut barang), saat kendaraan bermesin belum memasuki kawasan itu, di Sipuah banyak warung makan untuk melayani pejalan kaki dan pengiring kuda beban menuju Kumanis, pasar terbesar di Kecamatan Sumpur Kudus. Makan siang di warung-warung pinggir jalan ini sungguh nikmat, sebuah kenangan masa kecil yang tak mungkin terlupakan.

Semuanya kini telah menguap ditelan proses modernisasi transportasi. Sejak mesinisasi alat angkut, warung makan Sipuah yang terkenal dengan gulai umbutnya sudah menghilang bersamaan dengan menghilangnya alat angkut tenaga kuda. Bahkan, seekor kuda pun tidak lagi terlihat di kecamatan itu. Anak-anak yang lahir pasca era kuda beban, hanyalah mengenal kuda di TV atau di tempat lain yang masih memeliharanya. Sebuah perubahan sosial-ekonomi dan gaya hidup yang dramatis.

Sekarang mitos Ayam Sipuah saya bawa ke ranah kultur politik bangsa. Apa pula sangkut pautnya? Anda ikuti seterusnya di bawah ini. Dalam pengamatan saya sejak beberapa tahun terakhir, jumlah Ayam Sipuah semakin berjibun saja, termasuk mereka yang semula galak di kampus.

Sekali merapat ke pinggir kekuasaan, kelakuannya berubah secara tragis: membela kekuasaan itu setengah mati. Idealisme sebagai kekuatan antikorupsi, misalnya, telah menguap seperti menguapnya gambaran kuda beban digusur mesin di Kecamatan Sumpur Kudus. Inilah yang sering saya istilahkan dengan idealisme musiman, tak tahan banting dan godaan. Saya punya daftar panjang tentang sosok Ayam Sipuah ini di panggung perpolitikan kita, dari tingkat bawah sampai ke tingkat puncak, tetapi sangatlah tidak etis bila disebutkan di sini.

Ciri utamanya adalah: kelakuannya berubah, tetapi terlihat lucu, aneh, dan kaku, sekali menginjak kawasan pinggir kekuasaan yang mungkin telah memberinya sesuatu. Menemui manusia dalam kategori ini, Anda akan sia-sia belaka jika berharap dapat berbicara dari hati ke hati dengan mereka. Tetapi, Anda jangan membuat generalisasi, sebab masih cukup tersedia di antara anak bangsa ini, sekalipun sudah turut berkuasa, hati nuraninya belum lumpuh. Jika terkesan sebagai Ayam Sipuah, itu hanyalah sebagai siasat yang tidak sampai membinasakan integritas pribadinya.

Idealismenya masih bertahan, sekalipun harus dikemas secara berhati-hati agar 'kepala simbung' (semacam kura-kura yang hidup di air) bosnya tidak tersinggung. Manusia tipe ini masih dapat diajak berbicara secara serius, tetapi tentunya tidak di muka publik, demi menjaga hubungannya dengan kekuasaan.

Sebuah demokrasi yang sehat dan kuat harus dibebaskan dari kultur Ayam Sipuah. Politisi sebagai pemain utama di panggung demokrasi semestinya adalah manusia-manusia merdeka dengan wawasan jauh ke depan, tetapi santun dalam berperilaku. Jika berdemonstrasi, pasti dilakukan dengan damai, pantangan baginya merusak lingkungan.

Model demonstrasi brutal sama saja dengan menggali makam demokrasi, sesuatu yang selalu dirindukan oleh setiap kecenderungan kekuasaan otoritarian-feodalistik yang biasa tampak dalam sistem kerajaan absolut. Kekuatan demokrasi Indonesia harus awas terhadap segala kemungkinan buruk di masa depan. Akhirnya, di ring tinju Polri vs KPK sekarang ini, jangan sampai muncul mental Ayam Sipuah di lingkungan KPK, sebab pasti akan semakin menderai demokrasi kita yang masih oleng ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar