Entri Populer

Selasa, 08 Juni 2010

Jangan Remehkan Titik Koma

Majalah Tempo, 7 Juni 2010. Agung Y. Achmad: Wartawan.

“JANGAN remehkan titik dan koma,” demikian ucap seorang laki-laki berusia 74 tahun-pada saat kolom ini saya tulis-bernada tinggi sembari mencoret-coretkan pena pada sebuah lembaran surat resmi yang disodorkan sekretarisnya. Di usia senja, ia masih petah. Diksi yang ia ucapkan atau dia tuliskan sering mengagetkan orang. Kata “peradaban”, misalnya, bisa dibilang ucapan khas tokoh berpenampilan sederhana ini. Lantaran kapasitas dan tradisi linguistiknya yang bagus, ia bisa melahirkan tulisan kritik pedas menjadi bacaan yang lugas. Ia pengguna bahasa Indonesia yang teliti, bahkan ketika ia menulis sebuah artikel dengan menggunakan media telepon seluler dalam kondisi badan lemah di atas tempat tidur di sebuah rumah sakit. “Membangun peradaban itu dimulai dari titik dan koma,” katanya melanjutkan ucapannya.

Andai saja Anda langsung mengetahui siapa orang yang berintegritas tinggi untuk “menjadi” Indonesia melalui cara berbahasa yang baik dan benar yang saya maksud itu. Izinkan saya menggambarkan tokoh tersebut, tentu dengan alasan utama bahwa ia bisa menjadi contoh dalam hal etos berbahasa Indonesia, bahkan bila hal itu dikaitkan dengan integritas intelektualnya. Tradisi linguistik sang tokoh bisa dijadikan cermin bagi para elite di negeri ini, bahkan Presiden Yudhoyono. Simaklah logat Kepala Negara ketika mengatakan “profesional” saat berpidato, misalnya.

Pendidikan tinggi sang tokoh ditempuh di Barat. Bahkan, lantaran kapasitasnya, ia pernah malang-melintang di banyak negara untuk mengajar, khususnya di bidang kajian keislaman dan sejarah, seperti di Universitas McGill, Kanada, dan sejumlah kampus kenamaan di luar negeri, tak terkecuali di universitas almamaternya, Universitas Chicago, Amerika Serikat. Tentu saja, ia mengajar dalam bahasa Inggris. Tapi, pada saat berada di negeri sendiri, ia jarang berbahasa atau menggunakan istilah asing.

Sebaliknya, sejarawan tiga zaman ini justru giat mencetuskan, setidaknya gemar mempopulerkan, beberapa kosakata atau istilah yang menyegarkan, serangkaian terminologi yang di negara-negara Barat telah lama digunakan dan sangat baik untuk dimengerti publik Indonesia, seperti membumikan (Al-Quran) dan mencerahkan pusat kesadaran. Sebagian orang menggunakan istilah landing to earth, atau down to earth, untuk mengartikan istilah “membumikan”.

Padahal, “membumikan” (wahyu Tuhan) adalah suatu makna terminologis, dan bukan sekadar kata (leksikal) berimbuhan, yang artinya lebih dekat ke beberapa istilah: pribumisasi, indigenisasi, atau kontekstualisasi, yakni upaya pemaknaan secara kontekstual dan bertanggung jawab terhadap pesan-pesan langit (wahyu) sebagai rekomendasi moral atau pandangan dunia untuk diimplementasikan ke dalam realitas sosial (peradaban) di muka bumi.

Ucapan sang tokoh, “membangun peradaban itu dimulai dari titik koma”, adalah bukti kepeduliannya terhadap etos berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Namun, bisa jadi, itu sekaligus merupakan ungkapan keprihatinannya terhadap kondisi moral berbangsa di tingkat elite yang berpotensi menurunkan kualitas peradaban di negeri ini. Dalam tinjauan tata bahasa, titik adalah tanda berhenti-akhir dari sebuah kalimat-dan koma adalah tanda jeda, sebelum susunan kata-kata berikutnya pada sebuah kalimat dilanjutkan. Kedua tanda baca tersebut berperan menunjukkan struktur suatu tulisan.

Sebagai ucapan satire, artikulasi sang tokoh diniatkan untuk menyoroti kenyataan Indonesia yang amburadul akibat ulah para elite yang korup. Pesan ini bisa dibaca pada artikel opininya di sebuah harian berjudul “Bubarkan KPK!”. Pembaca tahu di mana posisi sang tokoh dalam setiap misi pembersihan negara dari aksi-aksi penggarongan terhadap aset-aset negara oleh jaringan oknum yang tidak mencintai Indonesia. Ia beropini bahwa upaya-upaya pemberantasan korupsi di negeri ini, termasuk oleh lembaga yang ia maksud, harus dilakukan tanpa “koma” dan “titik”. Dalam waktu yang sama, “titik” mewakili ungkapan imperatif bahwa semua bentuk tindak kejahatan korupsi harus dihentikan-sekarang juga.

Demikian bahasa, ia alat ekspresi masyarakat dalam berkomunikasi, termasuk untuk menyampaikan gagasan serta nilai-nilai tertentu, baik secara terang-terangan maupun satire. Nilai-nilai yang senantiasa penting maknanya bagi suatu ikhtiar pembentukan peradaban bangsa itu harus dikomunikasikan, dan sang tokoh telah mengemukakan ide-idenya itu secara cermat dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Meski berpembawaan serius, ia juga seorang humoris. Sang tokoh menyukai sastra, hal yang membuat ia lentur dalam mengapresiasi kenyataan hidup. Ketika sang tokoh mengenang masa-masa kecil sebagai seorang yatim piatu di era sulit akibat pecah sejumlah pemberontakan di daerah, tapi ia bertekad bulat untuk meneruskan sekolah hingga ke jenjang yang tinggi, ia berucap, “Saya terdampar di pantai karena belas kasihan ombak.”

Sang tokoh itu adalah putra Sumpur Kudus, Sumatera Barat, Ahmad Syafi’i Ma’arif, yang kini (per 31 Mei) genap berusia 75 tahun. Ia-biasa disapa Buya-adalah seorang guru dari semua guru bahasa Indonesia.

Sumber foto: Wikipedia.

Minggu, 06 Juni 2010


Mengenal Lebih Akrab Buya Syafii
Minggu, 30 Mei 2010 | 01:28 WIB
istimewa

Judul: Titik-titik Kisar di Perjalananku; Autobiografi Ahmad Syafii Maarif
Penulis: Ahmad Syafii Maarif
Penerbit: Mizan
Tahun: I, April 2009
Tebal: 422 halaman
Harga: Rp 59.000

Membaca buku berjudul Titik-titik Kisar di Perjalananku; Autobiografi Ahmad Syafii Maarif ini kita serasa sedang diajak berselancar mengarungi samudera makna, berliku, dramatik, menyedihkan, menegangkan, tetapi penuh nilai dan sarat dengan pelajaran. Buku ini merekam perjalanan insan Minangkabau, putra bangsa, dan intelektual Muslim kenamaan Indonesia. Ia adalah Buya Syafii—panggilan akrab Ahmad Syafii Maarif.

Ahmad Syafii Maarif dilahirkan di Sumbar Kudus, Sumatera Barat, pada 31 Mei 1935. Ia terlahir sebagai anak biasa yang kemudian merangkak mengikuti arah retak tangan dan terlibat dalam pusaran waktu yang cukup panjang dan berliku. Syafii kecil tak memiliki cita-cita tinggi karena alam Sumpur Kudus yang sempit dan terpencil membuat alam bawah sadarnya tak memiliki angan-angan besar dan aneh-aneh. Ia seperti anak biasa yang suka menjala, memancing ikan, mengadu sapi dan ayam, mandi di sungai, dan sebagainya. Bahkan tikar kasar adalah sahabat sejatinya tatkala tidur.

Syafii kecil tumbuh dan berkembang di tanah Minang yang sarat dengan kekhasan budaya dan makna filosofi. Salah satu filosofi yang akrab melekat pada anak-anak Minang itu berbunyi: “alam terkembang jadi guru”. Secara filosofis, orang Minang seharusnya tidak saja jadi perantau, tetapi juga tampil sebagai warga dunia dengan wawasan universal (hal.67).

Dalam perspektif ini, si Minang yang ciut nyalinya memasuki kultur lain yang asing sifatnya, tidak saja terkurung dalam kategori pengecut, tetapi memang tidak paham filosofi dasar Minangkabau yang sering dituturkan kaum adat pada upacara-upacara tertentu. Sebab, jika filosofi Minang ini dipahami secara benar dan dalam, akan melahirkan spirit reflektif untuk selalu maju, berkembang, dan suka dengan segala tantangan.

Dari catatan sejarah, misalnya, filosofi tersebut tengah menjadikan manusia-manusia Minangkabau memiliki karakteristik yang khas, demokratik, pembenari, dan egalitarian. Tengok saja sosok seperti Tan Malaka yang pernah tampil sebagai salah seorang tokoh Komintren (Komunis Internasional), tentu diilhami oleh doktrin “alam terkembang jadi guru”. Begitu juga tokoh-tokoh seperti Hamka, Agus Salim, Hatta, Natsir, Sjahrir, Bahder Djohan, Assaat, Halim, Sjabilal Rasjad, dan Isa Ansyary. Mereka semua adalah Minang belaka, tetapi jadi “orang” setelah bergumul dengan kultur lain di rantau.

Setidaknya terdapat tiga titik kisar yang menjadi aras menggeliatnya perjalanan pemikiran Buya Syafii. Titik kisar pertama dimulai ketika ia mengenyam pendidikan di Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah di Balai Tengah, Lintau. Di sinilah kali pertama konstruksi imajiner Buya Syafii mulai terbagun. Ia sudah berani berpidato di depan publik dan mengisi ceramah di kampung-kampung. Pun getol dalam berdebat.

Sementara titik kisar kedua terjadi ketika ia meneruskan pelajaran ke Madrasah Mu’allimin Yogyakarta. Di sini wawasannya semakin luas, tetapi naluri sebagai seorang “fundamentalis” belum berubah, jika bukan semakin menguat. Bahkan sampai belajar sejarah pada Universitas Ohio di Athens AS, paham agamanya belum mengalami perubahan.

Virus pencerahan yang memasuki titik kisar ketiga hadir ketika beliau singgah di ligkungan kampus Universitas Chicago. Di sini kebangkitan intelektual dan spiritualnya semakin meningkat. Ini adalah titik kisar ketiga dalam pemikiran keislaman, keindonesiaan, dan kemanusiaan. Fazlur Rahman adalah sosok yang sangat membantu Buya Syafii dalam mengembangkan pemikirannya. Kekayaan khazanah Islam klasik dan modern dengan al-Qur’an tengah membuat titik kisar terakhir di perjalanan Buya Syafii.

Buku ini menarik sekali untuk dibaca. Pertautan insan Minang yang penuh dengan lika-liku kehidupan serasa membuat kita senang membacanya. Bukan hanya perantauan lahiriah yang ditampilkan dalam buku ini, tetapi lebih kepada perantauan intelektual, spiritual, dan kemanusiaan. Buya Syafii berusaha menembus sekat-sekat di antara umat manusia, merengkuh semua golongan untuk bersama mewujudkan nilai pluralisme, kebersamaan, dan semangat saling menghormati.

Peresensi adalah Ali Rif’an, pengelola Rumah Pustaka FLP Ciputat.