Entri Populer

Jumat, 20 Maret 2009


Kolom Buya Syafi'i Ma'arif

Tanwir Muhammadiyah

March 5, 2009

Kompas/Kamis, 5 Maret 2009 | 05:20 WIB

Syafii

Ahmad Syafii Maarif

Dalam kunjungan ke India beberapa tahun lalu, saya diminta berbicara tentang Muhammadiyah di depan cendekiawan Hindu dan di sebuah universitas Islam di New Delhi.

Rupanya nama Muhammadiyah sebagai gerakan Islam dengan jaringan amal usahanya di bidang sosial, pendidikan, dan kemanusiaan dikenal di sana, khususnya di kalangan elite terdidik, baik Muslim maupun Hindu. Saat tanya jawab diperoleh kesan, mereka mengagumi Muhammadiyah yang telah berbuat banyak untuk kepentingan sosial dan pencerdasan rakyat jauh sebelum Indonesia merdeka.
Bahkan, para cendekiawan Hindu ingin mengajak saya berkeliling ke beberapa kota dengan tujuan yang sama, menjelaskan filosofi dan kiprah Muhammadiyah yang mereka nilai begitu fenomenal.

Namun, karena singkatnya waktu, ajakan itu tidak dapat dilaksanakan. Perasaan saya kian berbunga saat mereka mengatakan, orang India harus mencontoh Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat. Merasa dipuji, saya teruskan penjelasan, Muhammadiyah tidak saja
sebagai gejala perkotaan, tetapi juga merasuk ke pelosok Nusantara.

Sebagai seorang yang agak mengenal dapur Muhammadiyah, saya tidak boleh larut dalam pujian teman-teman India itu. Saya bertanya kepada mereka. Dari Muslim India saya mendapat keterangan tentang umat Islam di sana. Meski terbilang minoritas, minoritas besar—sekitar 150 juta Muslim—di antara penduduk India yang berjumlah satu miliar lebih. Kata mereka, umat Islam India lebih bersikap moderat dan terbuka, seperti Muhammadiyah. Mereka tidak tertarik dengan gerakan serba radikal, apalagi terlibat dalam terorisme. Pernyataan ini sebenarnya merupakan sindiran terhadap Pakistan yang sudah bertahun-tahun sibuk dengan urusan terorisme.

Tanwir

Muhammadiyah yang dipuji teman-teman India ini pada 5-8 Maret 2009 akan menggelar sidang tanwir di Bandar Lampung. Rencananya akan dibuka Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan ditutup Wakil Presiden Jusuf Kalla. Posisi tanwir dalam struktur organisasi Muhammadiyah ada di bawah muktamar. Sebanyak 150-200 peserta tanwir dan undangan lain dari sejumlah provinsi akan datang ke Lampung. Temanya adalah ”Muhammadiyah Membangun Visi dan Karakter Bangsa”.

Tujuan tanwir untuk semakin meningkatkan peran Muhammadiyah dalam membangun visi dan karakter bangsa di tengah pergulatan bangsa lain yang kian maju. Karena muktamar ke-46 akan digelar pada Juli 2010 di Yogyakarta, Tanwir Lampung ini sekaligus sebagai persiapan menghadapi musyawarah tertinggi di lingkungan Muhammadiyah.

Menurut saya, tanwir ini sangat penting tidak saja bagi keperluan konsolidasi internal Muhammadiyah, tetapi juga bagi bangsa dan negara ini yang sebentar lagi akan mengadakan pemilu. Sebagai salah satu pilar utama umat Islam di Indonesia, posisi Muhammadiyah dalam percaturan politik selalu diperhitungkan meski bukan partai politik.

Muktamar Ujung Pandang 1971 menggariskan, Muhammadiyah harus menjaga jarak dengan semua kekuatan politik. Garis konstitusional ini masih relevan dipertahankan dalam suasana perpolitikan bangsa yang belum sehat ini. Karena itu, elite gerakan Islam ini harus piawai dan bijak mengemas pernyataan yang bersinggungan dengan politik agar citra Muhammadiyah sebagai tenda besar bangsa jangan sampai tergores oleh kemungkinan slip lidah.

Hingga Juli 2009, emosi bangsa ini pasti akan kian menggelembung oleh berbagai tarikan kepentingan politik kepartaian yang banyak jumlahnya. Dengan filosofi menjaga jarak yang sama dengan semua partai, Muhammadiyah akan tetap dihormati semua pihak sebagai gerakan dakwah nonpartisan.

Apa yang saya sampaikan di forum Tanwir Denpasar 2002 tentang perbedaan dakwah dan politik perlu diturunkan lagi menjelang Tanwir Lampung. Politik mengatakan: si A adalah kawan, si B adalah lawan. Dakwah mengoreksi: si A adalah kawan, si B adalah sahabat. Politik cenderung berpecah dan memecah. Dakwah merangkul dan mempersatukan. Politik bermoral tentu tidak perlu setajam itu perbedaannya dengan dakwah.

Selamat bertanwir. Semoga pengabdian Muhammadiyah untuk bangsa yang sarat masalah ini tidak pernah menyusut.

Ahmad Syafii Maarif Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah

Written by miko · Filed Under Kolom Buya
Di Mana dan ke Mana Indonesia ?

October 23, 2008

Di Mana dan ke Mana Indonesia?
Sabtu, 18 Oktober 2008 | 00:41 WIB

Ahmad Syafii Maarif

Indonesia adalah negara terbesar keempat di dunia sesudah China, India, dan Amerika Serikat. Tahun 2015 penduduk bumi naik menjadi delapan miliar. Indonesia sekarang sekitar 225 juta orang, naik lebih tiga kali lipat saat kita menyatakan kemerdekaan tahun 1945.

Optimisme untuk melawan kemiskinan global kian kuat. Angka statistik sebagaimana dikutip Fareed Zakaria dalam buku terbaru, The Post-American World (Mei 2008) dan sumber lain menjelaskan semua itu. Tahun 1981 ada sekitar 40 persen penduduk dunia dengan penghasilan hanya satu dollar AS per hari, tahun 2004 tinggal 18 persen. Diharapkan pada tahun 2015 akan menurun sampai 12 persen. Terorisme juga akan jauh berkurang dalam beberapa tahun mendatang karena rakyat telah semakin membencinya. Dengan demikian, ketakutan kaum neokons AS, termasuk McCain, terhadap bahaya teror kian kehabisan alasan.

Kelompok neokons tidak saja cemas terhadap bahaya teror yang dapat mengancam negerinya, mereka juga amat khawatir bahwa AS akan kian kehilangan wibawa global, bahkan keruntuhan, sebagaimana penulis Perancis Emmanuel Todd telah mengatakan demikian sejak tahun 2002 dalam buku terkenal: After the Empire: The Breakdown of the American Order. Todd juga yang pernah meramalkan kehancuran Uni Soviet tahun 1975, jauh sebelum perestroika Mikhail Gorbachev dilancarkan.

Saya sendiri saking marah terhadap Bush pernah terpukau oleh Todd bahwa nasib AS tinggal menunggu waktu untuk jatuh. Namun dengan karya Fareed Zakaria itu, saya harus bersikap lebih berhati-hati tentang hari depan AS. Yang akan terjadi bukan hancurnya AS sebagai bangsa dan negara, tetapi dalam ungkapan Zakaria adalah karena the rise of the rest (munculnya pusat-pusat kekuatan baru) yang dapat menyaingi, bahkan mengalahkan AS, khususnya di bidang ekonomi dan investasi. Bukankah sekarang dana investasi terbesar di planet bumi ada di Abu Dhabi, pusat industri film terbesar dunia adalah Bollywood (Mumbai, India), bukan lagi Hollywood? Gedung tertinggi kini di Taipei, sebentar lagi di Dubai. Perusahaan publik terbesar ada di Beijing, bukan di New York. Pesawat penumpang terbesar dibuat di Eropa, bukan di AS.

Dengan demikian, AS sebagai adikuasa satu-satunya pasca-Perang Dingin telah berakhir. Meski dari segi militer, AS masih kuat, hulu ledak nuklirnya berjumlah 830, dibandingkan China hanya 20, tetapi sudah tidak bisa lagi mendikte dunia, seperti dilakukan selama lebih dari setengah abad terakhir. Beberapa negara di Asia, Amerika Latin, dan Afrika kini berlomba bangkit.

Indonesia 2015

Berbagai kekuatan baru itu sebenarnya sudah dikenali, yaitu: China, India, Brasil, plus Korea Selatan, Singapura, Taiwan, Cile, Afrika Selatan, Malaysia, Argentina, dan Rusia. Pertanyaannya, di mana dan ke mana Indonesia tahun 2015? Brasil yang dulu sarat korupsi, dengan kepemimpinan visioner, segalanya mulai berubah secara fundamental. Negeri jiran Malaysia, meski terjadi keretakan politik domestik, toh fundamental ekonominya lebih tertata.

Di Indonesia, dalam tenggang 10 tahun reformasi belum terjadi perubahan yang mendasar di bidang ekonomi. Birokrasi kita masih korup dan tidak efisien. Kita tetap rentan menghadapi gejolak pasar dunia; bukan saja rentan, bahkan sering lingkung. Apakah negeri kita terlalu luas dan sulit diatur? Inilah yang memprihatinkan, mengapa negeri kepulauan ini belum melahirkan negarawan yang siuman dan paham betul bagaimana memperbaiki keadaan agar bangsa ini lebih bermartabat dan punya kebanggaan diri.

Memang ada administrator di posisi bagian puncak yang cakap dan berani, tetapi sungguh sulit untuk dijual di pangsa pasar politik. Polling-polling yang ada tetap menyudutkan tokoh ini, padahal dialah pemain sebenarnya di balik keberhasilan negara ini dalam mengatasi masalah Poso dan Aceh.

Adapun di bidang ekonomi, kita masih rapuh. Resep-resep IMF dan Bank Dunia untuk perbaikan fundamental ekonomi sejak beberapa tahun ini adalah cerita kegagalan meski ada saja ekonom kita yang tercuci otaknya oleh resep itu.

Pemimpin visioner

Fareed Zakaria tentu belum akan memasukkan Indonesia dalam kategori the rise of the rest karena argumen dan data statistik untuk itu belum tersedia. Inilah sebuah negeri yang sebenarnya tidak terlalu miskin dalam sumber alam, tetapi amat sulit menemukan pemimpin visioner yang berani ambil risiko untuk kepentingan lebih besar: bangsa dan negara.

Politisi jangan ditanya lagi. Prioritas utama mereka umumnya adalah bagaimana menggerogoti harta negara untuk kepentingan sesaat. Sungguh tragis, lingkungan kultur kita tetap kumuh. Dengan tingkat kemiskinan sekarang berdasar standar dua dollar AS per hari per kepala, angkanya pasti di atas 100 juta warga negara atau sekitar 40 persen yang masih berkubang dalam kemiskinan.

Mati karena berebut zakat beberapa waktu lalu adalah salah satu indikator tentang keadaan riil masyarakat kecil kita. Drama ini amat menyakitkan. Namun, itulah realitas kita. Saya tidak tahu berapa jumlah elite politik kita yang benar-benar punya keprihatinan tentang bangsa ini?

Jika pada tahun 2015, angka kemiskinan dunia akan turun menjadi 12 persen, bagaimana Indonesia tahun 2014 saat pemilu kita laksanakan lagi? Proses demokratisasi yang tidak punya dampak positif bagi perbaikan gizi rakyat adalah sebuah malapetaka meski peradaban manusia belum menemukan sistem politik yang lebih baik dari demokrasi. Di sinilah dilemanya, di sinilah tantangan besar itu sedang berada di depan bangsa kita. Bahwa kita bisa bangkit, saya tidak meragukan, tetapi itu harus dilakukan dengan kesadaran penuh dan siap berkorban, dimulai dari pemimpin sebagai pelayan publik.

Ahmad Syafii Maarif Mantan Ketua Umum Muhammadiyah

Via Kompas.com

Written by admin · Filed Under Kolom Buya
Rasisme, Daki Kelam Peradaban

June 10, 2008

Syafii Maarif

Adalah sahabat saya, pengusaha Maher Algadrie (putra Hamid Algadrie, seorang pejuang nasional dari Partai Sosialis Sutan Sjahrir), yang pernah bertutur kepada saya bahwa dari keturunan Arab Yaman ada yang punya gen radikal dan revolusioner. Saya tidak tahu apakah seorang Habib Rizieq Shihab, Abu Bakar Ba’asyir, Abdullah Sungkar, Habib Alhabsyi, dan sederetan yang lain, punya nasab revolusioner dari Yaman itu. Watak radikal dan revolusioner dengan mudah sekali dapat berubah menjadi beringas jika lepas kendali dari akal sehat dan kejernihan sikap.

Tetapi, kita jujur bahwa ideologi radikal ini tidak hanya dimiliki oleh gen Yaman. Hampir semua suku bangsa di muka bumi punya gen serupa. Untuk Indonesia, sejak 10 tahun terakhir, secara kebetulan dipimpin oleh warga Indonesia keturunan Arab dengan pakaian yang serbakhas Arab. Wawancara saya dengan Sinar Harapan beberapa hari yang lalu, yang menyebut Arab tidak tertuju kepada teman-teman Arab yang berbudaya damai, intelektual, santun, dan menyatu. Dengan pernyataan ini, saya berharap agar riak-riak dan protes-protes kecil yang langsung disampaikan kepada saya oleh teman-teman keturunan Arab, semuanya adalah sahabat saya, posisinya sekarang sudah menjadi terang.

Jika telah terjadi sedikit salah paham, anggaplah Resonansi ini mengakhiri kontroversi itu. Tidak ada niat secuil pun untuk melansir rasisme dalam wawancara itu. Seluruh napas hidup saya mengembuskan formula ini: Lawan segala bentuk rasisme karena ia adalah daki kelam peradaban. Di samping antirasisme, saya juga menentang beringanisme dan budaya kekerasan.

Lebih jauh, saya ingin menjelaskan posisi saya sebagai seorang egalitarian. Berdasarkan pemahaman saya terhadap ayat 13 surat Alhujurat, ”Sesungguhnya kamu yang termulia di sisi Allah adalah yang paling takwa.” Bagi saya, ayat ini adalah deklarasi yang paling fundamental tentang doktrin persamaan posisi manusia di depan Allah dan sejarah.

Siapa pun, tidak peduli keturunan siapa, nasab apa, raja, dan rakyat jelata, punya posisi yang sama untuk merebut dan meraih martabat takwa itu. Di depan ayat ini; raja, sultan, khalifah, pangeran, amir, para habib (haba’ib), qaba’il, sayyid, darah biru, darah kuning, darah campuran, dan mereka yang merasa lebih dari yang lain; tanpa takwa, seluruhnya rontok berguguran dan tidak punya bobot apa-apa di mata Allah. Pertanyaannya adalah mengapa sebagian umat Islam masih saja berbangga diri dengan serbanasab dan keturunan?

Tidak jarang terjadi; melalui akuan keturunan nabi atau keturunan raja si anu, hulubalang si anu; telah berlaku perbudakan spiritual di kalangan sementara umat yang menjadi pengikutnya, pengikut yang telah kehilangan daya kritikal, kejernihan, dan akal sehat, modal yang teramat dasariah bagi manusia merdeka. Dalam pemahaman saya terhadap Alquran, hanya manusia merdeka sajalah yang layak diberi martabat mulia, baik di sini maupun di sana nanti. Budak, tidak semata-mata mereka yang dirantai kakinya. Budak juga mereka yang tidak punya keberanian untuk menjadi menusia merdeka.

Akhirnya, seperti halnya suku-suku lain di muka bumi yang lebih memilih hidup damai, harmoni, dan rukun, keturunan Arab pun berada dalam kategori ini, kecuali kelompok-kelompok beringas dan menganut ideologi kekerasan dalam mencapai tujuan. Dan, ini adalah sebuah penyakit peradaban (baca: kebiadaban) yang terdapat pada semua suku bangsa yang telah kehilangan keseimbangan dalam hidup bermasyarakat. Mereka adalah musuh peradaban yang sebenarnya. Bola sejarah harus digiring ke kutub peradaban, bukan ke kutub lawannya, jika bumi ini mau dijadikan tempat tinggal yang damai, sejuk, dan penuh persaudaraan lintas suku, bangsa, agama, dan latar belakang.

Republika, Selasa, 10 Juni 2008

Written by miko · Filed Under Kolom Buya
Kaum Ateis Pun Berhak Hidup di Muka Bumi

June 4, 2008

Buya Syafii

Dari pemahaman terhadap Alquran, tidak ada keraguan sedikit pun bahwa beriman lebih baik daripada kufur. Ujung kufur hanya satu: malapetaka di sini atau di alam nanti atau pada kedua alam itu. Tetapi, iman saja tidak cukup tanpa diikuti oleh amal saleh. Iman memberi dasar ontologis yang teramat kokoh bagi kehidupan manusia. Sedangkan, amal saleh adalah bukti dan buah nyata bahwa iman seseorang itu benar-benar autentik. Orang yang mengaku beriman, tetapi tuna-amal saleh adalah iman palsu, iman tanpa bukti empirik.

Amal saleh meliputi semua perbuatan yang dicintai Allah, fisikal maupun spiritual, material, dan immaterial. Dengan demikian, radius cakupannya sungguh luas hampir tanpa tepi. Orang yang mengira bahwa amal saleh itu hanyalah sekadar mengisi infaq di saat shalat Jumat, jelas tidak paham substansi amal saleh itu. Dengan kata lain, amal saleh dalam makna filosofis tidak lain daripada membangun peradaban yang adil dan asri untuk semua makhluk di muka bumi, tanpa kecuali, termasuk untuk mereka yang tidak beriman.

Di depan hukum negara, kedudukan orang beriman dan mereka yang tuna-iman hampir tak berbeda. Seorang beriman sama hukumannya dengan orang yang tuna-iman. Jika mereka melakukan kejahatan serupa, sama sekali tidak boleh berlaku diskriminasi. Tuna-iman barangkali sama dengan ateisme. Ateisme sebenarnya juga sebuah kepercayaan, yaitu percaya bahwa Tuhan itu tidak ada. Adiknya adalah agnotisisme yang percaya bahwa manusia tidak mungkin tahu apakah Tuhan itu ada atau tidak.

Dalam pemahaman saya terhadap Alquran, seorang manusia diberi hak dan kebebasan untuk beriman atau tidak beriman (lih. Misalnya Surat Yunus: 99; Albaqarah: 256; Al Isra: 107). Risiko dari pilihan bebas ini sangat logis, yaitu bahwa manusia tidak punya alasan lagi untuk menggugat Allah jika nasib malang menimpa dirinya, kapan pun dan di mana pun, di sini atau di sana, di seberang kubur.

Menurut pemahaman saya, seorang warga beriman dapat saja bertetangga dengan warga ateis, dengan syarat agar mereka saling menghormati dan sama-sama patuh kepada konstitusi dan hukum positif yang berlaku. Bahkan lebih jauh dari itu, seorang beriman dapat berguru kepada seorang ateis, begitu juga sebaliknya, asal tidak ada paksaan. Dosen bahasa Persi saya di Universitas Chicago, asal Inggris, pada suatu kesempatan pernah mengatakan: “Dalam Islam, manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah (punya potensi untuk beriman), tetapi menurut saya sebaliknya, seorang manusia dilahirkan dalam keadaan ateis.”

Kita dapat saja menuding dosen ini edan, tetapi itulah fakta yang terungkap. Bagaimana sebenarnya gejolak hati yang di dalam, bukan urusan kita untuk menanyakan lebih lanjut, dan tidak ada gunanya. Pergaulan saya dengan dosen ini biasa saja, jika hasil ujian saya bagus diberinya angka A, jika kurang memuaskan dikasihnya B, tetapi angka C tidak pernah saya peroleh dari dosen ateis ini. Kesan saya dalam masalah angka-angka ini tidak ada kaitannya dengan iman atau tuna-iman.

Jika di Amerika orang diberi kebebasan untuk memilih, dalam kasus ini sesungguhnya negara itulah yang melaksanakan diktum Alquran di atas. Oleh sebab itu, di sebuah negara Muslim, jika kaum ateis tidak diberi hak hidup misalnya, maka dapat dikatakan bahwa diktum Alquran di atas yang demikian terang tidak dijadikan pedoman dan acuan dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Bagaimana negara Pancasila? Andalah yang harus menjawabnya, bukan saya.

Dalam perkembangan pemikiran manusia, isu-isu seperti yang saya lontarkan ini, lambat atau cepat, pasti akan mengemuka. Resonansi kali ini adalah antisipasi untuk serba kemungkinan itu. Seorang beriman tidak perlu risau dengan semuanya itu. Karena, iman sebagai hasil pilihan sadar akan bertahan abadi, sementara iman sebagai buah bujukan benda atau posisi, biasanya teramat rapuh.

_

Republika, 27 Mei 2008

Written by miko · Filed Under Kolom Buya
Hanya Sebatas Umar ibn Khattab?

May 24, 2008

Buya Syafii

Oleh Buya Syafii Maarif

Hampir semua buku sejarah Islam, jika berbicara tentang al khulafa al rasyidun, meliputi pemerintahan Abu Bakr (632-634), Umar ibn Khattab (634-644), Ustman ibn Affan (644-656), dan Ali ibn Abi Thalib (656-661). Dalam bahasa Inggris biasa diterjemahkan the rightly guided caliphs (para khalifah yang berada di jalan yang benar). Di jalan benar artinya para khalifah itu masih mengikuti teladan Nabi dalam memimpin masyarakat dan pemerintahan. Bedanya terletak pada fakta bahwa mereka tidak lagi langsung dikawal wahyu dalam mengurus masalah-masalah masyarakat, negara, dan agama sebagaimana halnya Nabi akhir zaman itu. Sedikit saja Nabi khilaf sebagai manusia biasa, wahyu pun langsung menegur. Pasca-Nabi, teguran langsung itu tidak pernah terjadi lagi. Inilah yang sering memicu masalah. Manusia yang nisbi tidak selalu sepakat dalam membaca apalagi menyelesaikan masalah yang senantiasa datang dan pergi.

Seorang pembaru dalam bingkai tradisi Islam dari India, Shah Wali Allah (1703-1762), memang berpendapat bahwa pasca-keempat khalifah di atas tidak ada lagi khalifah. Namun, yang naik tahta adalah para raja, despot, atau tiran, kecuali Umar II (Umar ibn Abdul Aziz, 717-720) yang berupaya mengembalikan situasi politik menurut pola kakeknya, Umar ibn Khattab, sekalipun ia berasal dari puak Umayyah. Maka, tidaklah mengherankan jika ada penulis memasukkan Umar II sebagai khalifah kelima dalam kategori al khulafa al rasyidun. Sekalipun masa pemerintahannya tidak lama, sistem despotik kambuh kembali. Dalam perspektif ini, jika masih saja ada pihak yang meratapi tumbangnya kekhilafahan Turki Usmani, tentu dilihat dari sudut pandang keadidayaan imperium itu, bukan dari sisi akhlak politik.

Di ujung judul Resonansi ini dibubuhkan tanda tanya, mengapa? Jawaban terhadap pertanyaan inilah yang menjadi titik pusat pembicaraan kita kali ini. Adalah adik kandung Hasan al Banna, bernama Jamal al Banna (kelahiran 1920) yang namanya luput dari perhatian saya selama ini telah mengilhami saya untuk menulis Resonansi ini. Berkat Bung Khairul Imam yang meminta saya memberi kata pengantar terjemahan salah satu karya Jamal, Al Islam: Din Wa Umma, Laisa Dinan Wa Daula atau dalam bahasa Indonesia adalah Islam: Agama dan Umat, bukan Agama dan Negara (Kekuasaan), terbit pertama kali tahun 2003, saya mulai mengenal pemikiran penulis Mesir ini. Judul terjemahan sedikit menghebohkan, tetapi tidak menyimpang, yaitu Runtuhnya Negara Madinah: Islam Kemasyarakatan vs Islam Kenegaraan, yang akan beredar tidak lama lagi setelah perbaikan terjemahan dilakukan.

Karya ini, bagi saya, sangat menarik. Jamal dengan sangat berani dalam ijtihad politiknya, sekalipun harus berseberangan dengan tokoh semisal Abu al Ala al Maudi, Sayyid Qutb, dan Ayatullah Khomeini yang membela doktrin bahwa Islam adalah agama dan negara. Saya tidak akan mengupas masalah yang sarat kontroversi ini karena telah melakukannya lebih seperempat abad yang lalu, sekalipun tidak sekomprehensif karya Jamal di atas. Yang sangat baru, setidak-tidaknya bagi saya, adalah pendapat Jamal bahwa era al khulafa al rasyidun telah terhenti dengan terbunuhnya Umar ibn Khattab oleh seorang budak Iran pada 644. Lalu, mengapa Jamal tidak memasukkan Ustman dan Ali ke dalam deretan para khalifah yang lurus itu?

Jamal tidak meragukan bahwa Ustman adalah seorang baik dan dermawan serta berasal dari puak Umayyah yang awal masuk Islam. Bahkan, Ustman mengawini dua putri nabi. Bukankah ini sebuah keistimewaan? Tetapi, Jamal tidak mau tergoda oleh semua atribut mulia ini. Di mata Jamal, pemerintahan Ustman adalah pemerintahan yang lemah, amat bergantung kepada bantuan puaknya Bani Umayyah. Maka, berlakulah apa yang dikenal dengan sistem nepotis, jauh dari contoh yang diteladankan oleh dua pendahulunya. Akibat kelemahan ini, sebagian umat menjadi resah. Maka, Ustman pun dibunuh dengan cara yang sangat sadis. Sejarah Islam telah mulai berdarah-darah.

Bagaimana Ali? Jamal mengakui bahwa Ali seorang cerdas, hebat, qani (bersahaja) seperti Abu Bakr dan Umar, serta ingin mengembalikan keadaan seperti era kedua pemimpin itu. Namun, lantaran perebutan kekuasaan sesama elite umat, Ali tidak mampu lagi mengendalikan keadaan, apalagi memulihkannya. Ali pun dibunuh oleh bekas pengikutnya kaum Khawarij yang kecewa dengan kepemimpinan Ali yang tertipu oleh Amar ibn Ash, pion Mu’awiyah, dalam Perang Siffin tahun 657.

Itulah di antara alasan mengapa Jamal berpendapat seperti di atas. Jamal membantah keras bahwa Islam adalah agama dan negara, sebagaimana dibela mati-matian oleh sebagian tokoh umat yang lapar kekuasaan. Bagi saya, kekuasaan itu penting, tetapi jangan disejajarkan dengan agama. Sebab, di situlah pangkal malapetaka itu. Agama dijadikan pembenaran terhadap kekuasaan yang tirani sekalipun.

———-

Republika, 13 Mei 2008


Written by miko · Filed Under Kolom Buya
Jelang 100 Tahun Kebangkitan Nasional

May 11, 2008

Jelas sebagian pembaca pasti kaget pada judul Resonansi hari ini. Pada saat negara dan masyarakat lagi giat-giatnya memperingati 100 Tahun Kebangkitan Nasional melalui berbagai agenda, saya malah ‘menyimpang’ dari alur yang dianggap benar selama ini. Sebagai seorang peminat sejarah, saya harus mengemukakan masalah penting ini untuk didiskusikan secara mendalam, jujur, dan objektif. Read more

Written by miko · Filed Under Kolom Buya
Dari Kader Persyarikatan Menuju Kader Bangsa

May 8, 2008

Dari sekian ribu alumni Madrasah Mu’allimin dan Mu’allimat,yang pernah menjadi ketua Pimpinan Puat Muhammadiyah hanya satu orang. Ini terasa agak aneh. Kalau Wakil Ketua Pimpinan Pusat memang ada bapak Djindar Tamimi. Tetapi yang menjadi ketua Umum hanya satu orang. Read more

Written by halim · Filed Under Kolom Buya
Kultur Politik Pemborong

April 23, 2008

Buya Syafii MaarifSaya tidak akan mengatakan bahwa seorang mantan pejabat tingkat menteri, panglima, dan yang setara dengan itu jika masih ingin jadi bupati, wali kota, ataupun gubernur bertentangan dengan UU. Semuanya boleh saja, secara legal formal tidak ada masalah. Bahkan, mantan menteri boleh jadi camat, sekiranya jabatan camat itu bisa diraih melalui pilca (pemilihan tingkat camat). Hanya, dalam perundangan-undangan kita, jabatan camat itu dilakukan melalui pengangkatan, tidak dipilih langsung.Sekiranya, pada suatu masa nanti, ada UU pemilihan camat, Anda jangan kaget kalau akan muncul mantan menteri, gubernur, dan bupati/wali kota untuk turut bertarung. Apa yang tidak mungkin di Indonesia ini sekalipun itu, misalnya, sudah sangat menjijikkan dan memuakkan, orang tidak peduli. Read more

Written by miko · Filed Under Kolom Buya
Galtung : Tiga Corak Fundamentalisme

April 17, 2008

Siapa yang tidak kenal Profesor Johan Galtung; sosiolog, pemikir, aktifis, dan aktifis perrdamaian kelahiran 24 oktober 1930 di Oslo, Norwegia. Karya karyanya telah jadi rujukan dunia pada saat orang berbicara tentang perdamaian, konflik, perang dan cara-cara mengatasinya. Kritiknya terhadap penghasut perang terasa pedas sekali, tidak peduli siapa pun yang melakukan . Pada usia 12 tahun, galtung pernah ditahan Nazi. Maka, mulailah ia mengerti betapa jahat dan kejamnya peperangan. Read more

Written by miko · Filed Under Kolom Buya
Syekh Djambek (1860-1947)

April 9, 2008

Nama lengkapnya Syekh Muhammad Djamil Djambek, seorang alim ahli fikih, ushul fikih, ilmu falak, dan ilmu dakwah yang sangat handal. Salah seorang anaknya Kolonel Dahlan Djambek telah dibunuh PKI saat PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) telah menyerah kepada Jakarta awal 1960-an. Read more

Written by miko · Filed Under Kolom Buya

Selasa, 17 Maret 2009

Tradisi Lubuk Larang Di Sumpur Kudus






"Tradisi Lubuk Larangan Di Nagari Sumpur Kudus"

Ada sebuah tradisi menarik dari Ranah Minang. Yaitu tradisi "lubuk larangan". Tradisi lubuk larangan ini bisa kita temui di beberapa daerah dan nagari di Sumatera Barat. Salah satunya yaitu di Nagari Sumpur Kudus. Yaitu sebuah Nagari yang terletak di lembah bukit barisan. Kira-kira 6 jam dari kota Padang.

Tradisi lubuk larangan ini, yaitu dimana masayarakat suatu nagari bersepakat untuk tidak menangkap ikan di sungai. Yang ditentukan batas-batasnya, serta beberapa aturan-aturan lainya. Seperti membayar denda jika kedapatan menangkap ikan di lubuk larang yang telah disepakati.
Adapun tujuan lubuk larangan ini di bikin yaitu:

1. Sebagai wujud pelestarian dan untuk menjaga keseimbangan populasi ikan di sungai.
2. Sebagai hiburan bagi warga masyarakat. Yaitu biasanya dibuka sekali setahun, selesai hari raya lebaran. Karena waktu lebaran para perantau pada pulang kekampung halaman. Dan supaya terjalin hubungan antara perantau dengan masyarakat dikampung. Yaitu biasanya di Minangkabau disebut dengan istilah "bakempiang(memasak dan makan bersama-sama di pinggir sungai)".
3. Untuk dana pembangunan Surau atau Masjid. Dan juga untuk bantuan biaya pendidikan anak kemenakan yang mengaji di Surau atau di Masjid. Karena beberpa persen dana yang terkumpul dari lubuk larangan itu di anggarkan untuk pembangunan dan pendidikan. Seperti yg telah saya sebutkan diatas tadi. Karena memang dalam pembukaan lubuk larangan itu, setiap yang berminat untuk menangkap ikan harus membeli karcis yang telah disediakan panitia.
4. Dan sebagai wadah silaturahmi antara sesama warga masyarakat di kampung. Dan juga antara masyarakat dengan para perantau. Dimana ada semacam kerinduan yang megikat batin para perantau dengan kampung. Sehingga setiap tahun (lebaran), mereka pulang kekampung. Walaupun hanya beberapa hari.

Itulah salah satu dari sekian banyak tradisi masyarakat di Minangkabau. Dimana tradisi ini sebenarnya untuk menyiasati, supaya seluruh masyrakat bisa bergembira, dan bercanda tawa. Yang mana kita ketahui di kampung atau pedesaan penghidupan susah. Bisa dikategorikan sebagain besar miskin dan saban hari mereka biasa bergelut dengan sawah dan ladang. Maka salah satunya dengan lubuk larangan itulah masyarakat bisa bergembira. Melupakan sejenak kelelahan dari rutinitas sehari-hari.

Mungkin hal yang seperti itu tidak akan bisa kita jumpai di kota-kota. Karena di kota setiap masyrakat telah larut dengan rutinitasnya masing-masing. Akan tetapi di kota corak hiburannya telah banyak di dominasi oleh hiburan-hiburan masa kini.

Kamis, 12 Maret 2009

Sosialisasi

SOSIALISASI

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Pengantar Sosiologi
Dosen Pengampu : Drs.Sabarudin, M.Si.











Disusun Oleh:
Afrinaldi
NIM. 08410261





JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH UIN SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2008

Bab I
Pendahuluan
Sosiologi menurut para ahli
Pitirim Sorokin :
1.Hubungan dan timbal balik antara aneka macam gejala-gejala sosial (seperti antara ekonomi dan agama, hukum dan moral, hukum dan politik juga masyarakat).
2.Hubungan timbal balik antara gejala sosial dengan non-sosial (geografism biologis dengan sosial).
William Ogburn & Meyer F.Nimkoff :
Bahwa sosiologi adalah penelitian secara ilmiah terhadap interaksi sosial dan hasilnya yaitu organisasi sosial.
Selo Soemardjan :
Ilmu yang mempelajari struktur sosial dan proses-proses sosial termasuk perubahan- perubahan sosial.
Jadi sosiologi tidak bisa lepas dari kehidupan kita sehari-hari, karena sosiologi mempelajari manusia itu sendiri dan kita adalah bagian dari manusia itu.





Bab II
Pembahasan
A.Pengertian Sosialisasi
Sosialisasi adalah sebuah proses penanaman atau transfer kebiasaan atau nilai dan aturan dari satu generasi ke generasi lainnya dalam sebuah kelompok ataumasyarakat. Sejumlah sosiolog menyebut sosialisasi sebagai teori mengenai peranan (role theory). Karena dalam proses sosialisasi diajarkan peran-peran yang harus dijalankan oleh individu.
Berdasarkan jenisnya, sosialisasi dibagi menjadi dua: sosialisasi primer (dalam keluarga) dan sosialisasi sekunder (dalam masyarakat). Dalam kedua institusi tersebut, terdapat sejumlah individu dalam situasi yang sama, terpisah dari masyarakat luas dalam jangka waktu kurun tertentu, bersama-sama menjalani hidup yang terkukung, dan diatur secara formal.
Sosialisasi primer
Peter L. Berger dan Luckmann mendefinisikan sosialisasi primer sebagai sosialisasi pertama yang dijalani individu semasa kecil dengan belajar menjadi anggota masyarakat (keluarga). Sosialisasi primer berlangsung saat anak berusia 1-5 tahun atau saat anak belum masuk kesekolah. Anak mulai mengenal anggota keluarga dan lingkungan keluarga. Secara bertahap dia mulai mampu membedakan dirinya dengan orang lain di sekitar keluarganya.
Dalam tahap ini, peran orang-orang yang terdekat dengan anak menjadi sangat penting sebab seorang anak melakukan pola interaksi secara terbatas di dalamnya. Warna kepribadian anak akan sangat ditentukan oleh warna kepribadian dan interaksi yang terjadi antara anak dengan anggota keluarga terdekatnya.


Sosialisasi sekunder
Sosialisasi sekunder adalah suatu proses sosialisasi lanjutan setelah sosialisasi primer yang memperkenalkan individu ke dalam kelompok tertentu dalam masyarakat. Salah satu bentuknya adalah resosialisasi dan desosialisasi. Dalam proses resosialisasi, seseorang diberi suatu identitas diri yang baru. Sedangkan dalam proses desosialisasi, seseorang mengalami 'pencabutan' identitas diri yang lama.
B. Pandangan Beberapa Ahli Tentang Tahapan Sosiologi
Menurut George Herbert Mead
George Herbert Mead berpendapat bahwa sosialisasi yang dilalui seseorang dapat dibedakan menlalui tahap-tahap sebagai berikut.
Tahap persiapan (Preparatory Stage)
Tahap ini dialami sejak manusia dilahirkan, saat seorang anak mempersiapkan diri untuk mengenaldunia sosialnya, termasuk untuk memperoleh pemahaman tentang diri. Pada tahap ini juga anak-anak mulai melakukan kegiatan meniru meski tidak sempurna.
Contoh: Kata "makan" yang diajarkan ibu kepada anaknya yang masih balita diucapkan "mam". Makna kata tersebut juga belum dipahami tepat oleh anak. Lama-kelamaan anak memahami secara tepat makna kata makan tersebut dengan kenyataan yang dialaminya.
Tahap meniru (Play Stage)
Tahap ini ditandai dengan semakin sempurnanya seorang anak menirukan peran-peran yang dilakukan oleh orang dewasa. Pada tahap ini mulai terbentuk kesadaran tentang anma diri dan siapa nama orang tuanya, kakaknya, dan sebagainya. Anak mulai menyadari tentang apa yang dilakukan seorang ibu dan apa yang diharapkan seorang ibu dari anak. Dengan kata lain, kemampuan untuk menempatkan diri pada posisi orang lain juga mulai terbentuk pada tahap ini. Kesadaran bahwa dunia sosial manusia berisikan banyak orang telah mulai terbentuk. Sebagian dari orang tersebut merupakan orang-orang yang dianggap penting bagi pembentukan dan bertahannya diri, yakni dari mana anak menyerap norma dan nilai. Bagi seorang anak, orang-orang ini disebut orang-orang yang amat berarti (Significant other)
Tahap siap bertindak (Game Stage)
Peniruan yang dilakukan sudah mulai berkurang dan digantikan oleh peran yang secara langsung dimainkan sendiri dengan penuh kesadaran. Kemampuannya menempatkan diri pada posisi orang lain pun meningkat sehingga memungkinkan adanya kemampuan bermain secara bersama-sama. Dia mulai menyadari adanya tuntutan untuk membela kelarga dan bekerja sama dengan teman-temanya. Pada tahap ini lawan berintraksi semakin banyak dan hubunganya semakin kompleks. Individu mulai berhubungan dengan teman-teman sebaya di luar rumah. Peraturan-peraturan yang berlaku di luar keluarganya secara bertahap juga mulai dipahami. Bersamaan dengan itu, anak mulai menyadari bahwa ada norma tertentu yang berlaku di luar keluarganya.
Tahap penerimaan norma kolektif (Generalized Stage)
Pada tahap ini seseorang telah dianggap dewasa. Dia sudah dapat menempatkan dirinya pada posisi masyarakat secara luas. Dengan kata lain, ia dapat bertenggang rasa tidak hanya dengan orang-orang yang berinteraksi dengannya tapi juga dengan masyarakat luas. Manusia dewasa menyadari pentingnya peraturan, kemampuan bekerja sama--bahkan dengan orang lain yang tidak dikenalnya-- secara mantap. Manusia dengan perkembangan diri pada tahap ini telah menjadi warga masyarakat dalam arti sepenuhnya.
Menurut Charles H. Cooley
Cooley lebih menekankan peranan interaksi dalam teorinya. Menurut dia, Konsep Diri (self concept) seseorang berkembang melalui interaksinya dengan orang lain. Sesuatu yang kemudian disebut looking-glass self terbentuk melalui tiga tahapan sebagai berikut.

1. Kita membayangkan bagaimana kita di mata orang lain.
Seorang anak merasa dirinya sebagai anak yang paling hebat dan yang paling pintar karena sang anak memiliki prestasi di kelas dan selalu menang di berbagai lomba.
2. Kita membayangkan bagaimana orang lain menilai kita.
Dengan pandangan bahwa si anak adalah anak yang hebat, sang anak membayangkan pandangan orang lain terhadapnya. Ia merasa orang lain selalu memuji dia, selalu percaya pada tindakannya. Perasaan ini bisa muncul dari perlakuan orang terhadap dirinya. MIsalnya, gurunya selalu mengikutsertakan dirinya dalam berbagai lomba atau orang tuanya selalu memamerkannya kepada orang lain. Ingatlah bahwa pandangan ini belum tentu benar. Sang anak mungkin merasa dirinya hebat padahal bila dibandingkan dengan orang lain, ia tidak ada apa-apanya. Perasaan hebat ini bisa jadi menurun kalau sang anak memperoleh informasi dari orang lain bahwa ada anak yang lebih hebat dari dia.
3. Bagaimana perasaan kita sebagai akibat dari penilaian tersebut.
Dengan adanya penilaian bahwa sang anak adalah anak yang hebat, timbul perasaan bangga dan penuh percaya diri.
Ketiga tahapan di atas berkaitan erat dengan teori labeling, dimana seseorang akan berusaha memainkan peran sosial sesuai dengan apa penilaian orang terhadapnya. Jika seorang anak dicap "nakal", maka ada kemungkinan ia akan memainkan peran sebagai "anak nakal" sesuai dengan penilaian orang terhadapnya, walaupun penilaian itu belum tentu kebenarannya.
C.Agen sosialisasi
Agen sosialisasi adalah pihak-pihak yang melaksanakan atau melakukan sosialisasi. Ada empat agen sosialisasi yang utama, yaitu keluarga, kelompok bermain, media masa dan lembaga pendidikan sekolah.
Pesan-pesan yang disampaikan agen sosialisasi berlainan dan tidak selamanya sejalan satu sama lain. Apa yang diajarkan keluarga mungkin saja berbeda dan bisa jadi bertentangan dengan apa yang diajarkan oleh agen sosialisasi lain. Misalnya, di sekolah anak-anak diajarkan untuk tidak merokok, meminum minman keras dan menggunakan obat-obatan terlarang (narkoba), tetapi mereka dengan leluasa mempelajarinya dari teman-teman sebaya atau media massa.
Proses sosialisasi akan berjalan lancar apabila pesan-pesan yang disampaikan oleh agen-agen sosialisasi itu tidak bertentangan atau selayaknya saling mendukung satu sama lain. Akan tetapi, di masyarakat, sosialisasi dijalani oleh individu dalam situasi konflik pribadi karena dikacaukan oleh agen sosialisasi yang berlainan.
Keluarga (kinship)
Bagi keluarga inti (nuclear family) agen sosialisasi meliputi ayah, ibu, saudara kandung, dan saudara angkat yang belum menikah dan tinggal secara bersama-sama dalam suatu rumah. Sedangkan pada masyarakat yang menganut sistem kekerabatan diperluas (extended family), agen sosialisasinya menjadi lebih luas karena dalam satu rumah dapat saja terdiri atas beberapa keluarga yang meliputi kakek, nenek, paman, dan bibi di samping anggota keluarga inti. Pada masyarakat perkotaan yang telah padat penduduknya, sosialisasi dilakukan oleh orang-orabng yang berada diluar anggota kerabat biologis seorang anak. Kadangkala terdapat agen sosialisasi yang merupakan anggota kerabat sosiologisnya, misalnya pengasuh bayi (baby sitter). menurut Gertrudge Jaeger peranan para agen sosialisasi dalam sistem keluarga pada tahap awal sangat besar karena anak sepenuhnya berada dalam ligkugan keluarganya terutama orang tuanya sendiri.
Teman pergaulan
Teman pergaulan (sering juga disebut teman bermain) pertama kali didapatkan manusia ketika ia mampu berpergian ke luar rumah. Pada awalnya, teman bermain dimaksudkan sebagai kelompok yang bersifat rekreatif, namun dapat pula memberikan pengaruh dalam proses sosialisasi setelah keluarga. Puncak pengaruh teman bermain adalah pada masa remaja. Kelompok bermain lebih banyak berperan dalam membentuk kepribadian seorang individu.
Berbeda dengan proses sosialisasi dalam keluarga yang melibatkan hubungan tidak sederajat (berbeda usia, pengalaman, dan peranan), sosialisasi dalam kelompok bermain dilakukan dengan cara mempelajari pola interaksi dengan orang-orang yang sederajat dengan dirinya. Oleh sebab itu, dalam kelompok bermain, anak dapat mempelajari peraturan yang mengatur peranan orang-orang yang kedudukannya sederajat dan juga mempelajari nilai-nilai keadilan.
Lembaga pendidikan formal (sekolah)
Sekolah adalah agen sosialisasi sistem pendidikan formal. Disini seseorang mempelajari hal baru yang belum pernah dipelajarinya dalam keluarga ataupun kelompok bermain.
Pendidikan formal mempersiapkannya untuk penguasaan peran-peran baru dikemudian hari, dikala seseorang tidak tergantung lagi kepada orangtuanya.
Robert Dreeben (1968) berpendapat bahwa yang dipelajari anak disekolah — disamping membaca, menulis dan berhitung — adalah aturan:
1.Kemandirian (independence)
2.Prestasi (achievement)
3.Universalisme (universalism)
4.Spesipitas (speceficity)
Media massa
Yang termasuk kelompok media massa di sini adalah media cetak (surat kabar, majalah, tabloid), media elektronik (radio, televisi, video, film). Besarnya pengaruh media sangat tergantung pada kualitas dan frekuensi pesan yang disampaikan.

Agen-agen lain
Selain keluarga, sekolah, kelompok bermain dan media massa, sosialisasi juga dilakukan olehinstitusi agama, tetangga, organisasi rekreasional, masyarakat, dan lingkungan pekerjaan. Semuanya membantu seseorang membentuk pandangannya sendiri tentang dunianya dan membuat presepsi mengenai tindakan-tindakan yang pantas dan tidak pantas dilakukan. Dalam beberapa kasus, pengaruh-pengaruh agen-agen ini sangat besar.
D. Pola Sosialisasi
1.Sosialisasi Refresif (refressiv socialization), menekankan pada penggunaan hukuman terhadap kesalahan. Ciri lain menurut Jaeger seperti penekanan pada penggunaan materi dalam hukum dan imbalan, penekanan pada kepatuhan anak pada orang tua, penekana pada komunisasi yang bersifat satu arah, non verbal dan berisi perintah, penekanan titik berat sosialisasi pada orang tua dan keinginan orang tua, dan peran keluarga sebagai significant other.
2.Sosialisasi parsipatoris (pacipatory socalization), merupakan pola yang didalamnya anak diberi imbalan manakala berpeilaku baik; hukuman bersifat simbolik; anak dibei kebebasan; penekanan diletakkan pada interaksi; komunikasi bersifat lisan; anak menjadi pusat sosialisasi; keperluan anbak dianggap penting; keluarga menjadi genealized other.
Bab III
Penutup
Jadi manusia memiliki naluri yang kuat untuk hidup bersama dengan yang lainnya. Semenjak lahirpun manusia memiliki naluri untuk berkawan sehingga diistilahkan Social animal dan memiliki naluri Gregariousness, suatu keinginan untuk menjadi bagian dari suatu komunitas, dalam pergaulannya tersebut kadang manusia membutuhkan suatu pengakuan keberadaan diri, dengan menunjukkan kelebihan atau kesukaannya manusia dapat berinteraksi dan mendapatkan reaksi baik positif atau pun negatif yang berakibat pula semakin memperluas pergaulan dan sikap tindakannya.

Bab IV
Daftar Pustaka
Soerjona Soekanto,1986, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, Rajawali, Jakarta.
Kamanto Sunarto, 1986, Pengantar Sosiologi, Rajawali, Jakara.
Soerjona Soekonto & Winarno Yudho, 1986, Georg Simmel : Bebeapa Teori Sosiologi, Rajawali, Jakarta.
Sosialisasi, http://id.wikipedia/org/wiki/Sosialisai., 2009.
Qinimain Zein, ”Strategi Ilmu Milenium Sosial III”, http://multiplay.com ., 2009.

Selasa, 10 Maret 2009

Untukmu Palestina

PALESTINA:Mengapa tak kunjung damai?
Palestina…
Kini bumimu porak-poranda
Mayat bergelimpangan dimana-mana
Bau amis darah dan mesiu
Bercampur aduk dan menyengat

Palestina…
Sudah sekian tahun lamanya
Perang di bumimu berkecamuk
Takm kunjung usai
Tak kunjung damai

Palestina…
Entah sudah berapa banyak melayang
Jiwa-jiwa yang tak berdosa
Entah berapa banyak anak kehilangan ayah
Dan entah berapa banyak istri kehilangan suaminya

Palestina…
Darah pemuda islam
Menggelegak bagai singa-singa kelaparan
Terpanggil berjihad
Mendengar tubuhmu luka
Mengikuti jejak-jejak Salahudin Al-Ayyubi
Sekian silam

Palestina…
Umat islam menangis tanpa air mata
Karena sudah kering
Dunia berduka dan terluka, perih sekali!
Kecuali si yahudi dan sekutu-kutunya
Sebuah pertanyaan
Tetap saja tak terjawab: Mengapa perang di Palestina tak kunjung usai?
tak kunjung damai?


Yogyakarta, 22 Januari 2009.
Pukul 22:47:12 Wib.
"Sumpur Kudus Dilihat Dalam Perspektif Sejarah"
By: Afrinaldi
Sumpur Kudus adalah salah satu diantara sekian desa di Indonesia, yang memiliki segelintir sejarah. Sumpur Kudus terletak di dalam wilayah kabupaten Sijunjung Sumatera Barat. Berbatasan langsung dengan Riau daratan dan kabupaten Tanah Datar. Letaknya kira-kira 60Km dari ibu kota kabuten Sijunjung. Dari beberapa nagari yang terdapat di kabupaten Sijunjung, Sumpur Kudus termasuk salah satu IDT(Inpres Desa Tertinggal) yang notabene letaknya cukup jauh tersuruk di lembah bukit barisan. Walaupun masih banyak nagari-nagari lain yang letaknya lebih jauh tersuruk dan sulit dijangkau.
Walaupun daerah IDT itu sekarang tidak banyak lagi diketahui letaknya oleh masyarakat Minangkabau sendiri. Namun konon kabarnya dulu, daerah ini pernah menjadi pusat perdagangan di Minangkabau beberapa dasawarsa. Jika dibuka sejarah Minangkabau masa lalu, maka nama nagari ini pasti akan muncul dalam peta sejarah Minangkabau. Selain itu daerah ini juga pernah menjadi pusat PDRI(Pemerintahan Darurat Republik Indonesia) selama tiga minggu dan PRRI.
Nagari yang dijuluki Makkah Darek ini, sekian tahun lamanya tidak begitu terperhatikan oleh pemerintah. Baik instrukturnya maupun infrastrukturnya. Sekian tahun lamanya malam hari nagari ini diliputi kegelapan dan kesunyiaan karena belum tersentuh oleh PLN. Mungkin memang karena medannya yang sulit dilalui dan keadaan alamnya yang rawan longsor. Barulah sekitar tahun 2004 daerah ini mendapat nikmat, pihak PLN telah mau mengulurkan tangannya untuk memasukan aliran listrik kedaerah IDT itu.
Itu semua tidak lepas dari pengaruh bapak Prof.Dr.Ahmad Syafi'i Ma'arif M.A. yang pada waktu itu menjabat sebagai ketua umum persyarikatan Muhamadiyah. Atas usaha keras beliau melobi teman-temannya yang menjabat di pemerintahan pusat, agar bermurah hati untuk membantu daerah yang terpencil itu. Makanya masyarakat Sumpur Kudus sekarang harus pandai-pandai bersyukur kepada Allah. Setelah diguyuri rahmat oleh Allah. Yang sebelumnya masyarakat tidak pernah terbayang akan bisa menikmati aliaran listrik masuk kedaerah IDT itu.
Selain atas pengaruh bapak Syafi'i, mungkin pemerintah juga mempertimbangkan dari sisi perjuangan dan sejarah. Karena dulunya daerah itu pernah berjasa menjadi persembunyian PDRI sekitar tahun 50an, dibawah pimpinan Amir Syarifudin. Maka masyarakat Sumpur Kudus setelah memperoleh nikmat, hendaknya juga tidak melupakan orang-orang yang berjasa dibalik semua itu. Mungkin masyarakat Sumpur Kudus tahu siapa yang saya maksud.
Sumpur Kudus adalah sebuah kecamatan yang terdiri dari beberapa nagari. Diantaranya, nagari Sumpur Kudus sendiri, nagari Unggan, silantai, Mengganti. Dan masih adalagi beberapa nagari, yang letaknya cukup jauh dari nagari Sumpur Kudus. Seperti nagari Tamparunggo, Sisawah, Kabun dan Tanjung Bonai Aur. Semua daerah di Sumpur Kudus umumnya terletak di lembah-lembah bukit barisan. Yang sebagian besar penyebaran penduduknya mengikuti daerah aliran sungai(DAS). Yaitu masyarakat menamainya batang Sumpur, yang juga diambil dari nama Sumpur Kudus. Tetapi dengan menghilangkan Kudusnya.
Arti dari Sumpur Kudus sendiri yaitu Sumpur berarti sempurna dan Kudus yang berarti suci. Jadi arti sumpur kudus adalah sebuah daerah yang benar-benar suci. Menurut cerita orang tua-tua dulu yang masih sempat ku dengar, pemberian nama sumpur kudus mepunyai proses yang cukup panjang. Yang nantinya akan kuterangkan dibagian lain dari tulisan ini.
"Sumpur Kudus Dilihat Dalam Perspektif Sejarah"
By: Afrinaldi
Sumpur Kudus adalah salah satu diantara sekian desa di Indonesia, yang memiliki segelintir sejarah. Sumpur Kudus terletak di dalam wilayah kabupaten Sijunjung Sumatera Barat. Berbatasan langsung dengan Riau daratan dan kabupaten Tanah Datar. Letaknya kira-kira 60Km dari ibu kota kabuten Sijunjung. Dari beberapa nagari yang terdapat di kabupaten Sijunjung, Sumpur Kudus termasuk salah satu IDT(Inpres Desa Tertinggal) yang notabene letaknya cukup jauh tersuruk di lembah bukit barisan. Walaupun masih banyak nagari-nagari lain yang letaknya lebih jauh tersuruk dan sulit dijangkau.
Walaupun daerah IDT itu sekarang tidak banyak lagi diketahui letaknya oleh masyarakat Minangkabau sendiri. Namun konon kabarnya dulu, daerah ini pernah menjadi pusat perdagangan di Minangkabau beberapa dasawarsa. Jika dibuka sejarah Minangkabau masa lalu, maka nama nagari ini pasti akan muncul dalam peta sejarah Minangkabau. Selain itu daerah ini juga pernah menjadi pusat PDRI(Pemerintahan Darurat Republik Indonesia) selama tiga minggu dan PRRI.
Nagari yang dijuluki Makkah Darek ini, sekian tahun lamanya tidak begitu terperhatikan oleh pemerintah. Baik instrukturnya maupun infrastrukturnya. Sekian tahun lamanya malam hari nagari ini diliputi kegelapan dan kesunyiaan karena belum tersentuh oleh PLN. Mungkin memang karena medannya yang sulit dilalui dan keadaan alamnya yang rawan longsor. Barulah sekitar tahun 2004 daerah ini mendapat nikmat, pihak PLN telah mau mengulurkan tangannya untuk memasukan aliran listrik kedaerah IDT itu.
Itu semua tidak lepas dari pengaruh bapak Prof.Dr.Ahmad Syafi'i Ma'arif M.A. yang pada waktu itu menjabat sebagai ketua umum persyarikatan Muhamadiyah. Atas usaha keras beliau melobi teman-temannya yang menjabat di pemerintahan pusat, agar bermurah hati untuk membantu daerah yang terpencil itu. Makanya masyarakat Sumpur Kudus sekarang harus pandai-pandai bersyukur kepada Allah. Setelah diguyuri rahmat oleh Allah. Yang sebelumnya masyarakat tidak pernah terbayang akan bisa menikmati aliaran listrik masuk kedaerah IDT itu.
Selain atas pengaruh bapak Syafi'i, mungkin pemerintah juga mempertimbangkan dari sisi perjuangan dan sejarah. Karena dulunya daerah itu pernah berjasa menjadi persembunyian PDRI sekitar tahun 50an, dibawah pimpinan Amir Syarifudin. Maka masyarakat Sumpur Kudus setelah memperoleh nikmat, hendaknya juga tidak melupakan orang-orang yang berjasa dibalik semua itu. Mungkin masyarakat Sumpur Kudus tahu siapa yang saya maksud.
Sumpur Kudus adalah sebuah kecamatan yang terdiri dari beberapa nagari. Diantaranya, nagari Sumpur Kudus sendiri, nagari Unggan, silantai, Mengganti. Dan masih adalagi beberapa nagari, yang letaknya cukup jauh dari nagari Sumpur Kudus. Seperti nagari Tamparunggo, Sisawah, Kabun dan Tanjung Bonai Aur. Semua daerah di Sumpur Kudus umumnya terletak di lembah-lembah bukit barisan. Yang sebagian besar penyebaran penduduknya mengikuti daerah aliran sungai(DAS). Yaitu masyarakat menamainya batang Sumpur, yang juga diambil dari nama Sumpur Kudus. Tetapi dengan menghilangkan Kudusnya.
Arti dari Sumpur Kudus sendiri yaitu Sumpur berarti sempurna dan Kudus yang berarti suci. Jadi arti sumpur kudus adalah sebuah daerah yang benar-benar suci. Menurut cerita orang tua-tua dulu yang masih sempat ku dengar, pemberian nama sumpur kudus mepunyai proses yang cukup panjang. Yang nantinya akan kuterangkan dibagian lain dari tulisan ini.