Entri Populer

Senin, 22 Februari 2010


Si Anak Kampoeng berisi kisah masa kecil tokoh Syafii Maarif di Desa Calau, sebuah kampung terpencil di Minangkabau. Begitu terpencilnya, listrik saja baru masuk ke kampung itu tahun 2005. Ayah Syafii adalah seorang datuak---kepala nagari---dan ibunya perempuan yang berwawasan luas. Sayangnya, Maarif kecil tidak sempat merasakan kasih sayang ibu karena sang ibu meninggal dunia. Syafii, yang biasa dipanggil Pi'i, kemudian diasuh oleh tantenya dan dibesarkan dalam budaya Minang yang matriarkal.

Walaupun Pi'i sering dicibirkan sebagai anak kampung di sekolah, semangat belajar dan cita-citanya jauh melampaui anak-anak dari kota. Ketika belajar di Sekolah Rakjat, ia lompat kelas karena kepandaiannya. Lalu ia meneruskan ke Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah, Sumpur Kudus. Perang revolusi yang terjadi di tahun 1947-1950 membuat Syafii putus sekolah. Karena keadaan yang begitu kacau, sampai-sampai madrasah itu tidak sanggup mencetak ijazah kelulusan. Setelah keadaan membaik, Pi'i melanjutkan madrasah di kota Lintau. Tak berhenti sampai di situ, ia kemudian memutuskan untuk melanjutkan sekolah di Muhammadiyah, Yogyakarta. Dengan berat hati, ayah Syafii merelakan anaknya menuntut ilmu di tanah Jawa, tanah yang tak pernah ia injak seumur hidupnya.

Namun sesampainya di sana, Syafii ternyata belum bisa mewujudkan cita-citanya belajar di sekolah idamannya. Ia diminta menunggu setahun lagi karena kelasnya telah penuh. Syafii memutuskan untuk belajar di sekolah montir saat menunggu tahun ajaran baru datang. Di saat Syafii jauh dari keluarga, sebuah berita duka datang. Namun saat tekad ditetapkan, doa dihaturkan, usaha dijalankan, dan malaikat dikirimkan, Syafii merasa bahwa jalannya yang berliku mulai lurus kembali.
Novel "Si Anak Kampoeng"
Pengarang:Damien Dematra

Ukuran : 14 x 21 cm
Tebal : 260 halaman
Terbit : Pebruari 2010
Si Anak Kampoeng berisi kisah masa kecil tokoh Syafii Maarif di Desa Calau, sebuah kampung terpencil di Minangkabau. Begitu terpencilnya, listrik saja baru masuk ke kampung itu tahun 2005. Ayah Syafii adalah seorang datuak---kepala nagari---dan ibunya perempuan yang berwawasan luas. Sayangnya, Maarif kecil tidak sempat merasakan kasih sayang ibu karena sang ibu meninggal dunia. Syafii, yang biasa dipanggil Pi'i, kemudian diasuh oleh tantenya dan dibesarkan dalam budaya Minang yang matriarkal.

Walaupun Pi'i sering dicibirkan sebagai anak kampung di sekolah, semangat belajar dan cita-citanya jauh melampaui anak-anak dari kota. Ketika belajar di Sekolah Rakjat, ia lompat kelas karena kepandaiannya. Lalu ia meneruskan ke Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah, Sumpur Kudus. Perang revolusi yang terjadi di tahun 1947-1950 membuat Syafii putus sekolah. Karena keadaan yang begitu kacau, sampai-sampai madrasah itu tidak sanggup mencetak ijazah kelulusan. Setelah keadaan membaik, Pi'i melanjutkan madrasah di kota Lintau. Tak berhenti sampai di situ, ia kemudian memutuskan untuk melanjutkan sekolah di Muhammadiyah, Yogyakarta. Dengan berat hati, ayah Syafii merelakan anaknya menuntut ilmu di tanah Jawa, tanah yang tak pernah ia injak seumur hidupnya. Namun sesampainya di sana, Syafii ternyata belum bisa mewujudkan cita-citanya belajar di sekolah idamannya. Ia diminta menunggu setahun lagi karena kelasnya telah penuh. Syafii memutuskan untuk belajar di sekolah montir saat menunggu tahun ajaran baru datang. Di saat Syafii jauh dari keluarga, sebuah berita duka datang. Namun saat tekad ditetapkan, doa dihaturkan, usaha dijalankan, dan malaikat dikirimkan, Syafii merasa bahwa jalannya yang berliku mulai lurus kembali.