Entri Populer

Kamis, 10 Februari 2011

Syafii Maarif: Aparat Kita Punya Nyali Tidak?

VIVAnews - Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah dan tokoh agama yang disegani, Syafi'i Ma'arif, mempertanyakan kinerja Polri dalam kasus bentrok Ahmadiyah di Banten, Jawa Barat, dan kerusuhan di Temanggung, Jawa Tengah.

"Sekarang, aparat kita itu punya nyali atau tidak?" kata Syafi'i Ma'arif saat diwawancara VIVAnews.com.

Tokoh agama yang disapa Buya ini mempertanyakan pernyataan Kapolri Jenderal Polisi Timur Pradopo yang mengatakan aparatnya sudah bekerja maksimal.

"Maksimal apa? Yang di Pandeglang itu tidak maksimal. Masa tiga orang petugas menjaga massa sebegitu banyak," Buya mempertanyakan.

Buya menilai kondisi bangsa ini sudah sangat-sangat kritis. Alasannya, tidak ada masalah fundamental di negeri ini yang terselesaikan. "Ekonomi, politik, hukum, semua carut-marut. Bangsa kita harus selamatkan," kata dia.

Buya juga mengritik persoalan ini semua terkait dengan banyaknya kepentingan politik sesaat dan jangka pendek yang masih dijadikan prinsip oleh sejumlah orang. "Jangan hitung-hitungan jangka pendek lagi, mau jadi kepala daerah dan lain-lain," ia menegaskan.

Dalam kasus penyerangan jemaah Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang polisi telah menetapkan dua orang, dari sekitar 1.500 orang perusuh yang saat itu berada di lokasi. Satu di antaranya resmi ditahan hari ini.

"Dari dua tersangka yang diperiksa, satu sudah ditingkatkan jadi penahanan hari ini," kata Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Polri, Kombes Pol. Boy Rafli Amar di Mabes Polri, Jakarta, Rabu 9 Februari 2011. (kd)
• VIVAnews

Rabu, 09 Februari 2011

Syafii Maarif: Kritikan SBY Tidak Substantif

VIVAnews - Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Syafii Maarif menilai kritik balik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terhadap tokoh-tokoh agama tidak substantif. Tokoh yang akrab disapa Buya ini menilai Presiden SBY tidak paham masalah.

"Saya rasa kritik itu tidak ada substansinya," kata Syafii Maarif dalam perbincangan telepon dengan VIVAnews.com, Rabu 9 Februari 2011.

Buya kembali mengingatkan, kritik yang pernah dilontarkan tokoh-tokoh agama kepada pemerintah tidak ada muatan politik sama sekali. Semua yang disampaikan, kata Buya, berdasarkan bukti-bukti.

"Itu otentik sekali. Itu serius. Itu bukan berarti ingin menjatuhkan seseorang," ujar Buya yang sedang dalam perjalanan ke Yogyakarta ini.

Maka itu, Buya juga menyesalkan bila ada yang menyebut kritikan tokoh-tokoh agama itu sarat muatan politik. "Bila disebut tendensi politik, mereka itu sama sekali tidak paham," jelas dia.

Pagi tadi, Presiden SBY mengritik tokoh-tokoh agama. SBY meminta tokoh agama tidak melupakan peran utamanya, membimbing umat.

"Saya tahu, pemuka agama juga memainkan banyak peran. Namun janganlah dilupakan kewajiban dan amanah untuk tetap membimbing umatnya masing-masing," kata Presiden SBY saat menghadiri Hari Pers Nasional di Kupang, NTT, Rabu, 9 Februari 2011. (umi)
• VIVAnews

Sabtu, 05 Februari 2011

Forum Rektor: Indonesia Menuju Negara Gagal!

Jakarta - Forum Rektor mengingatkan pemerintah bahwa Indonesia saat ini sudah mulai menuju ke dalam keadaan negara gagal. Indonesia berada diperingkat 61 dari 170 negara yang termasuk dalam indeks negara gagal 2010.

"Negara kita sudah dekat menjadi negara gagal dan kalau tidak diperbaiki pemerintah, pada tahun akan datang menjadi negara gagal," ujar anggota Forum Rektor Sofian Effendi dalam konferensi pers dengan tokoh Lintas Agama dan Forum
Rektor di Universitas Negeri Jakarta, Rawamangun, Jakarta Timur, Jumat (4/2/2011).

Menurut Sofian, berdasarkan hasil indeks negara gagal, Indonesia berada di urutan 61 dari 170 negara. Dalam indeks itu, Somalia berada di urutan pertama.


"Salah satu ukurannya adalah jumlah populasi penduduk Indonesia yang terus meningkat dan program pemerintah gagal total," terang Mantan Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM) ini.

Ukuran lainnya menurut Sofian adalah kesenjangan antara daerah di wilayah Indonesia semakin besar. Ia mencontohkan, provinsi Papua dan Papua Barat adalah salah satu wilayah yang termiskin di Indonesia dengan perbandingan lebih dari 17 kali lipat dengan daerah lain.

"Ini sangat berbahaya dan ketika mereka meminta melepaskan diri, itu berarti
membuktikan ketidakpuasan rakyat," terangnya.

Pada sektor pelayanan publik, anggaran Indonesia sama sekali tidak pernah meningkat, bahkan nyaris tidak ada dibandingkan banyaknya anggaran untuk birokrasi.

Saat ini juga, terjadi delegitimasi terhadap pemerintah. Sofian menyebutkan, terdapat 157 kelapa daerah yang saat ini terkait dengan meja hijau. Malahan, satu
diantara kepala daerah tersebut dilantik saat dirinya berstatus terpidana.

"Lalu terpecahnya elit politik dan elit penguasa. Ini semua adalah tanda-tanda
negara gagal," sebut sofian.

(fiq/gun)

Dunia Islam yang Masih Rapuh

Dunia Islam yang Masih Rapuh
Tuesday, 01 February 2011

Oleh Ahmad Syafii Maarif

Allahlah yang Mahatahu bagaimana ujungnya nanti perjalanan dunia Islam ini, sekalipun Alquran memberikan dasar optimisme dalam menatap masa depan. Ayat 9 surah 15 (al-Hijr) menegaskan optimisme ini: "Sesungguhnya Kami telah menurunkan Peringatan (Alquran) dan sesungguhnya Kami juga yang menjadi penjaganya." Artinya, Alquran dijaga oleh Allah dari segala bentuk manipulasi, perubahan, dan penyimpangan yang dilakukan manusia, maka Kitab Suci ini akan tetap menjadi sumber petunjuk bagi manusia sampai dunia ini berakhir.

Persoalan krusial yang terbentang di depan kita sekarang adalah fakta keras ini: mengapa umat Islam tidak terjaga dari proses kerapuhan, padahal mereka mengaku berpedoman kepada Alquran yang bebas dari segala kesalahan?

Artinya, jika Alquran dipahami dan dipedomani secara benar dan tulus, semestinya dunia Islam tidak perlu terlalu lama terkapar di depan arus sejarah yang bergulir tanpa henti. Dengan perkembangan ilmu dan teknologi modern yang dahsyat sejak sekitar 300 tahun yang lalu, perguliran itu berlangsung dengan kecepatan sangat tinggi. Umat manusia yang tidak siap menghapinya pasti dilindasnya, tanpa menghiraukan apa pun suku bangsa dan agamanya. Atau, dalam ungkapan yang ekstrem, tidak peduli orang itu beragama atau tidak. Atau, dalam perspektif lain, siapa saja yang menentang hukum alam (natural law), atau melahirkan ilmu dan teknologi, maka pasti akan kedodoran.

Sekitar 30 tahun pasca diutusnya nabi, dunia Islam telah mencatat ekspansi yang spektakuler. Dan 70 tahun kemudian, Islam telah menjadi agama dunia yang hampir tak tertandingi. Jika mengamati laju gerak yang luar biasa ini, hati umat Islam pada umumnya berbunga-bunga, dan itu tidak salah. Tetapi, yang salah adalah jika sisi-sisi gelap yang menyertainya tidak dihiraukan atau sengaja ditutupi, sehingga orang mengidolakan masa silam, tanpa sikap kritikal.

Syafii : DPR Lebih Baik Jadi Bintang Sinetron

Penulis: Icha Rastika | Editor: Hertanto Soebijoto
Rabu, 2 Februari 2011 | 08:57 WIB
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Ahmad Syafii Maarif


JAKARTA, KOMPAS.com - Guru bangsa Buya Syafi'i Ma'arif menilai, tindak tanduk anggota dewan saat ini bagaikan pemain sinetron. Sedikit sekali anggota dewan yang mampu menjadi negarawan.

"Mungkin mereka lebih baik jadi bintang sinetron, tidak ada yang serius. Semua dibuat, semua jadi aktor. Sedikit sekali yang bisa jadi negarawan," katanya usai menghadiri perayaan ulang tahun Nasional Demokrat di Jakarta Convention Center, Selasa (1/2/2011) malam.

Insiden penolakan terhadap pimpinan KPK Bibit Samad Riyanto dan Chandra M Hamzah untuk ikut serta dalam rapat Komisi III DPR, kata Syafi'i, merupakan suatu adegan yang lucu.

"Mengusir Bibit Chandra itu lucu, sangat vulgar dan itu sangat jelas watak aslinya keluar," ujar mantan ketua PP Muhammadiyah itu.

Penolakan oleh DPR tersebut, menurut Syafi'i, semakin menunjukkan sikap para wakil rakyat yang tidak dewasa. Para anggota dewan terlihat kebakaran jenggot usai penahanan 19 politisi DPR oleh KPK.

"Semancam balas dendam. Itu menyangkut anggota partai (yang ditahan) itu. Terlalu menyolok," ujarnya.

Padahal, pimpinan KPK adalah tamu yang diundang para anggota Dewan. "Pimpinan kan ada lima, mereka diundang, KPK diundang, ya tandanya semua pimpinannya," tutur Syafi'i.

Seperti diberitakan, melalui voting, Komisi III DPR akhirnya memutuskan untuk tidak mengikutsertakan Bibit dan Chandra dalam rapat komisi III. Alasannya, meskipun deponeering terhadap keduanya telah diterbitkan, anggota dewan masih menganggap Bibit dan Chandra tersangka dalam perkara hukum yang demi perhitungan moral sebaiknya tidak diikutsertakan.

Sebagian pihak menilai bahwa penolakan DPR terhadap Bibit dan Chandra merupakan suatu upaya pelemahan KPK. "Sudah dari dulu (pelemahan KPK)," kata Syafi'i Ma'arif.

Kemelut Mesir Bisa Picu Perang Dunia III Sebab, Mesir mempunyai berbagai keuntungan di tingkat perdagangan internasional.

Sabtu, 5 Februari 2011, 14:41 WIB
Antique
Mantan Ketum PP Muhammadiyah, Ahmad Syafii Ma'arif (tengah) (ANTARA/ Reno Esnir)
BERITA TERKAIT





VIVAnews - Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Ahmad Syafi'i Maarif menegaskan konflik di Mesir dapat memicu pecahnya Perang Dunia III.

Sebab, sebelum terjadi pertikaian politik yang menjurus perang terbuka antara kelompok yang pro Presiden Mesir Hosni Mubarak dan kelompok yang menginginkan Mubarak turun dari kursi presiden, telah terlebih dahulu terjadi konflik politik seperti di Tunisia.

Sementara itu, di Yaman dan Yordania juga sudah mulai tampak adanya gerakan. Namun, Arab Saudi belum ada gejolak politik karena kekayaan dikuasai sekitar 5-6 ribu pangeran dan rakyatnya dimakmurkan, sehingga perlawanan terhadap pemerintah yang berkuasa sangat kecil.

"Untuk Turki sangat kecil kemungkinan ada perlawanan terhadap pemerintah yang berkuasa, karena Turki lebih moderen," kata Syafi'i di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Sabtu, 5 Februari 2011.

Kemungkinan konflik di Mesir akan memicu Perang Dunia III karena negara itu mempunyai berbagai keuntungan di tingkat internasional. Mulai dari letak negara yang strategis hingga sebagai kawasan yang dilalui perdagangan dunia, termasuk minyak dan energi. Akibatnya, jika konflik di sana tidak segera selesai akan dapat memicu perang.

Terkait dengan desakan agar Presiden Hosni Mubarak mundur, menurut Syafi'i, tanpa diminta mundur pun nantinya Mubarak akan mundur dengan sendirinya. "Tanpa diminta turun pun, Hosni Mubarak akan turun karena tidak mungkin akan bertahan," kata dia.

Syafi'i Maarif menyatakan, untuk menyelesaikan konflik tidak dapat dilakukan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Apalagi, bila Indonesia bertindak sebagai mediator untuk menyelesaikan konflik di Mesir, meski berpenduduk dengan umat muslim terbesar di dunia.

"Waktu Presiden AS Bush menginvasi Afghanistan, Indonesia tidak bisa berbuat banyak. Bagi umat Islam, yang bisa dilakukan adalah bagaimana umat Islam itu selalu sadar," tutur Syafi'i. (art)

Laporan: Juna Sanbawa | Yogyakarta

Senin, 24 Januari 2011

'Si Anak Kampoeng' Siap Produksi 29 Januari 2011




JAKARTA - Film besutan sutradara Damien Dematra yang juga penulis dari novel Si Anak Kampoeng ini akan mulai diproduksi pada 29 Januari 2011 sampai dengan 15 Februari 2011.

Film ini terinspirasi dari kisah hidup Buya Syafii Maarif, seorang tokoh bangsa di Indonesia. Film ini menceritakan tentang keterbatasan hidup yang dialami Pi’i (Panggilan Syafii Maarif) yang tidak menghalanginya untuk bisa mengecap pendidikan tinggi hingga ke luar negeri.

Meskipun dia lahir dan dibesarkan di sebuah kampung yang sangat udik, di Sumpurkudus, Sumatera Barat.

“Hari ini kita memiliki seorang guru bangsa yang lahir dari tempaan kegetiran hidup. Pesan perjuangan dan nilai-nilai pluralisme yang diusung film ini sangat penting bagi generasi muda sekarang. Ini concern Saya”, tutur Demien Dematra, saat konferensi pers Film Si Anak Kampoeng di Pusat Dakwah Muhammadyah, Cikini, Kamis (13/01/11).

Untuk totalitas dalam produksi ini, rencana produksinya akan dibangun sebuah setingan lokasi pedesaan Sumbar pada tahun 1935-1945 di Puncak – Cianjur, Jawa Barat.

“Sebenarnya penggarapan film ini sudah cukup lama, sekitar 1,5 tahun yang lalu, Cuma terbentur di masalah setingan lokasi yang coba kita bangun di lahan seluas 28 hektare dengan jumlah tujuh sampai delapan lokasi di Cianjur, Puncak,” Ujar Demien.

Film ini di produseri oleh MI Production. Fajar Riza Ul Haq, Direktur Eksekutif Maarif Institute yang mewakili MI Production mengatakan, film ini diangkat dari novel Si Anak Kampoeng Karya Damien Dematra ini disutradarai langsung oleh Damien, dan MI Production bertindak sebagai produser dalam proyek ini.

Film yang bertema edukasi ini akan menyasar kalangan anak muda, pelajar, dan juga orang tua. “Melalui film ini, MI Production ingin menyajikan sebuah film kehidupan yang sarat nilai-nilai perjuangan dan pendidikan untuk semua lapisan masyarakat,” ujar Fajar.

Rencananya film ini akan tayang di bioskop-bioskop pada minggu ketiga Maret 2011. dan akan dibagikan secara gratis nantinya berupa DVD ke sekolah-sekolah Muhammadyah ni Indonesia.

“Target film ini bukanlah untuk keuntungan, tapi lebih ke sosial untuk edukasi generasi penerus bangsa. Untuk itu nantinya akan diberikan DVD film ini secara gratis di sekolah-sekolah Muhammadyah yang ada di Indonesia,” tambah Fajar.(nov)

Sabtu, 08 Januari 2011

Buya: Bangsa Kita Sudah di Titik Nadir


JAKARTA, KOMPAS.com — Situasi kebangsaan Indonesia saat ini sudah menyentuh titik nadir. Dengan gaya kepemimpinan yang lemah, keadilan sosial bagi masyarakat Indonesia hingga kini belum juga tercapai.
Partai-partai politik yang ada saat ini pun hampir tidak pernah memikirkan rakyat.
-- Syafii Maarif

"Sama-sama kita memberikan keprihatinan yang dalam. Yang kedua kita terus terang saja tidak melihat harapan bahwa akan membaik dalam waktu dekat," ujar mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Buya Syafii Maarif seusai diskusi bertema "Reaktualisasi Tritura sebagai Ikon Kejuangan Bangsa" di Balai Kartini, Jakarta, Kamis (6/1/2011).

Syafii, yang juga dikenal sebagai guru bangsa itu, mengatakan, kekayaan Indonesia yang ada tidak pernah dinikmati secara merata. Keberhasilan bangsa hanya dinikmati segelintir orang.

"Yang sudah dicapai juga banyak. Tidak seluruhnya jelek, tetapi masalah keadilan itu yang membuat jadi telantar," ungkapnya. Partai-partai politik yang ada saat ini pun, kata Syafii, hampir tidak pernah memikirkan rakyat. "Tapi, toh dipilih rakyat juga," ujarnya.

Kondisi bangsa yang sedemikian rupa, lanjutnya, harus diubah melalui jalur konstitusi. Hal itu dikarenakan, menurut Buya, bangsa Indonesia adalah bangsa demokratis yang harus berdasar pada konstitusi. "Harus ada perubahan melalui bingkai konstitusi. Ada perubahan, tetapi melalui konstitusi, tanpa pertumpahan darah," katanya.

Meskipun jalur konstitusi membuat segala perubahan seolah lebih lamban. "Demokrasi kita memang seperti ini, lamban. Kita tunggu saja sambil mempersiapkan diri untuk menyongsong perubahan yang lebih baik," kata Buya. "Di ujung lorong sana masih ada titik-titik terang," ujar Buya Syafii Maarif.

Selasa, 04 Januari 2011

Tahun 2011 bagi Indonesia

Oleh Ahmad Syafii Maarif

Sebagai negara kepulauan terpanjang di muka bumi dengan anak suku bangsa dan tradisi yang beragam dan sangat kompleks, kita patut bersyukur karena masih bisa bertahan dalam sebuah keutuhan entitas negara-bangsa. Memasuki dasawarsa kedua abad ke-21, berarti kita sedang membuka gawang tahun ke-66 dalam batang usia kemerdekaan kita yang dinyatakan pada 17 Agustus 1945.

Sebagian besar pendiri bangsa dan negara ini telah mendahului kita, tetapi ruh mereka pasti berseru agar kita semua tetap tidak melenceng dari cita-cita kemerdekaan yang dengan apik dirumuskan dalam Mukadimah UUD 1945. Apakah kita sudah melenceng atau masih berada di jalur yang benar adalah masalah mendasar yang perlu kita bicarakan secara jujur dan saksama. Wacana tentang masalah itu kini sedang merebak dalam masyarakat kita yang beragam itu.

Sebuah pengkhianatan

Pada tahun 2011 ini penduduk Indonesia sudah berada pada angka 236 juta lebih sedikit, naik secara tajam dibandingkan dengan tahun 1945 yang hanya 70 juta. Dengan angka ini, Indonesia dicatat sebagai bangsa terbesar keempat sesudah China (1,3 miliar), India (1,1 miliar), dan Amerika Serikat (308 juta). Brasil (200 juta) bersama Rusia (sekitar 145 juta), India, dan China kini sedang berlomba untuk menjadi raksasa ekonomi dunia di abad ini dengan pertumbuhan yang sangat cepat.

Ekonomi Indonesia juga tumbuh sekitar 5,8 persen dengan pendapatan per kepala sekitar 2.700 dollar AS, tetapi lebih banyak didorong oleh perilaku konsumtif masyarakat, bukan oleh keberhasilan sistem ekonomi yang dijalankan. Kantong-kantong kemiskinan kita masih sangat nyata di seluruh Tanah Air, di kota dan desa. Gerak ke arah perbaikan berjalan sangat lamban. Tentu disebabkan oleh berbagai faktor, tetapi bukan karena pembengkakan demografis.

Dibandingkan dengan kondisi akhir era Orde Baru dengan pendapatan per kepala pada kisaran 1.100 dollar AS, pertumbuhan ekonomi Indonesia sekarang telah meningkat sekitar 250 persen. Masalahnya tetap saja berkisar pada siapa yang menikmati anugerah pertumbuhan ini.



Jawabnya jelas bukan rakyat jelata, sebagaimana yang dituntut oleh Pasal 33 UUD 1945 (asli). Yang diuntungkan tidak lain dari para pembela sistem ekonomi neoliberalisme yang antirakyat, baik asing maupun agen-agen domestiknya. Karena itu, saya setuju dengan pendapat yang mengatakan bahwa pada sisi ekonomi Indonesia tidak lagi berada pada jalur UUD.

Jika demikian, bukankah kecenderungan pasar bebas tanpa kendali ini adalah sebuah pengkhianatan terhadap Mukadimah UUD 1945? Kesadaran batin saya yang terdalam mengatakan, ”Ini adalah sebuah pengkhianatan yang harus cepat dihentikan.”

Siapa yang harus menghentikan? Sebagai negara yang menganut sistem demokrasi, sekalipun baru pada tingkat prosedural dan seremonial, belum substantif, penghentian itu harus dilakukan melalui pematang konstitusional. Memang muncul sebuah dilema di sini. Jika pengkhianatan itu tetap saja berjalan, sementara pemegang kuasa merasa berada di jalan yang benar, komentar saya sederhana dan singkat: ”Itu namanya merasa benar di jalan yang sesat.”

Cobalah pelajari baik-baik konstitusi asli kita, dengan Pancasila sebagai tulang punggungnya, apakah di situ ada tempat bagi sistem ekonomi neoliberal yang memanjakan segelintir orang? UUD kita dirancang untuk secepatnya menciptakan sistem kemakmuran bersama, bukan kemakmuran pihak-pihak kecil yang diuntungkan oleh sistem yang sedang dijalankan.

Oleh sebab itu, tahun ini harus dijadikan tahun penentu ke mana arah Indonesia harus melangkah. Sikap berpura-pura membela Pancasila berarti menghancurkan sila kedua, kemanusiaan yang adil dan beradab, disengaja atau sebaliknya. Sikap semacam itu berada pada kategori zalim dan biadab.

Kebanggaan semu

Jika Brasil bangga dengan pendapatan per kepala sekarang berkisar 8.040 dollar AS, kebanggaan itu tidak berlebihan. Angka kemiskinan mereka juga menyusut secara signifikan. Saya cemas jika angka- angka statistik yang sering diulang-ulang pemerintah kita, sementara lautan kemiskinan kita tidak semakin mengecil, apakah sikap itu bukan sebuah kebanggaan semu yang sengaja menutup realitas getir?

Lihatlah nasib sebagian TKI kita yang menyabung nyawa mengais rezeki di negeri orang, karena negara gagal membuka lapangan kerja buat mereka. Julukan pahlawan devisa kepada para TKI sepenuhnya benar, tetapi apakah negara telah memberikan perlindungan kepada mereka yang bernasib malang dalam upaya menyambung napas di luar tanah airnya? Yang lebih ironis lagi adalah kenyataan bahwa penderitaan berat yang dialami sebagian TKI justru terjadi di negara-negara yang mengaku beragama Islam, tidak di Korea, Hongkong, atau Taiwan. Pertanyaan saya: Islam jenis apa yang dipraktikkan di sana?

Pada awal 2011 pekerjaan rumah (PR) kita masih menggunung. Masalah penegakan hukum yang bertele-tele, sikap presiden yang selalu ragu, wabah korupsi yang masih ganas, partai politik yang tidak berpihak kepada rakyat, praktik politik uang yang tunamoral dalam berbagai pemilihan, adalah PR yang sangat mendesak untuk dicarikan jalan keluarnya.

Jika tahun ini upaya perbaikan tidak juga terjadi, tidak mustahil demokrasi Indonesia akan berujung dengan sebuah kegagalan. Saya masih berharap bangsa ini tidak membiarkan dirinya tetap berada dalam situasi serba tidak pasti, sementara negara-negara lain telah berhasil berbenah diri dengan kekuatan kulturnya masing-masing, sekalipun tanpa Pancasila.

Dari sumber-sumber yang sangat dapat dipercaya, saya mendengar berita baik tentang upaya pembenahan PR kita, khususnya di ranah penegakan hukum. Kabarnya Ketua KPK Busyro Muqoddas dan Jaksa Agung Basrief Arief sedang menyusun langkah-langkah strategis bersama untuk menjawab desakan publik tentang kesungguhan mereka dalam penegakan hukum. Kabarnya juga mereka akan menemui Kapolri Jenderal Timur Pradopo untuk bergabung.

Jika berita ini mengandung kebenaran, sekaranglah masanya bagi institusi penegak hukum itu untuk membuktikan bahwa mereka masih mencintai negara yang hampir gagal ini. Tahun 2011 akan menjadi saksi apakah mereka patriot sejati atau hanya sebagai penerus dari para pendahulu yang tuna-keberanian dalam menjalankan tugas-tugas kenegaraan yang sangat mendesak.

Akhirnya, dengan segala catatan di atas, mari kita terus memelihara asa dan stamina di awal tahun 2011 ini, bahwa kondisi bangsa kita masih dapat diperbaiki dengan satu syarat: jangan merasa benar di jalan yang sesat!(Juf/Kcm)