Entri Populer

Jumat, 21 Mei 2010

Tidak Ada yang Selesai di Republik Iini (I)

Selasa, 18 Mei 2010 pukul 11:52:00
Tidak Ada yang Selesai di Republik Iini (I)

Oleh Ahmad Syafii Maarif


Beban sejarah yang akan diwarisi anak cucu semakin bertumpuk, sebab masalah-masalah besar yang dipikul oleh bahu bangsa ini banyak sekali tidak ada yang selesai, baik secara hukum maupun secara politik. Jika generasi yang akan datang lebih baik dan lebih peka daripada generasi yang telah berlalu dan sedang berjalan, beban sejarah itu pasti akan terus menghantui mereka untuk menjawab pertanyaan: mengapa bangsa ini tidak mampu menyelesaikan masalah-masalah besar yang muncul silih berganti? Apakah kultur kita memang lebih memilih menunda persoalan tinimbang menyelesaikannya? Jika terus saja ditunda, sama saja artinya dengan sikap tidak bertanggung jawab, bukan? Selama hampir 65 tahun merdeka, tumpukan masalah besar itu sudah semakin menggunung.

Kita catat sambil lalu saja era perang kemerdekaan yang berlangsung 1945-1949. Dalam situasi yang tidak normal, masalah-masalah politik kebangsaan sudah memanas yang tidak kurang dahsyatnya ketika itu. Sebagai bangsa yang baru saja merdeka, kita sudah memasuki ranah mewah yang sungguh menguras stamina dan energi, seperti konflik ideologis tentang dasar negara yang kemudian berlanjut sampai tahun 1950-an. Saya yang semula bersikap partisan dalam konflik ideologis itu, akhirnya sadar bahwa energi dan stamina yang dikeluarkan itu sebagian besar sia-sia belaka. Pusat perhatian yang semestinya ditujukan guna menguatkan masalah nation and character building yang masih rapuh sampai hari ini, justru terbengkalai, dikalahkan oleh pertarungan ideologi antara nasionalisme, Islamisme, dan marxisme/sosialisme.

Bung Karno sejak 1926 telah mencoba mendamaikan ketiga ideologi ini, tetapi berujung pada kegagalan, terutama antara Islamisme vs. marxisme. Sedangkan antara Islamisme dan nasionalsme sebenarnya tidak ada persoalan yang harus dipertentangkan, karena baik Islamisme maupun nasionalisme sama-sama menginginkan bangsa ini tegak di atas kekuatan sendiri, tidak bergantung pada belas kasihan bangsa dan negara lain. Di sinilah kesalahan fatal marxisme/komunisme yang bolak-balik antara pro-Uni Soviet dan kemudian pro-Beijing dengan mengorbankan kepentingan nasional, demi menyenangkan hati bos asingnya. Sekarang marxisme/komunisme telah ditinggalkan sejarah, tetapi korban manusia akibat petualangannya pada tataran global mencapai puluhan bahkan mungkin ratusan juta.

Kembali kepada masalah-masalah besar yang tak kunjung dapat diselesaikan oleh elite bangsa selama puluhan tahun. Kita mulai dari Peristiwa 17 Oktober 1952 berupa kegusaran AD (Angkatan Darat) terhadap perpolitikan Indonesia dan ingin "memaksa" Bung Karno agar membubarkan DPRS. Tokoh di balik peristiwa ini adalah Kol A.H. Nasution, Mayor Jenderal T.B. Simatupang, dan sederetan perwira lainnya. Tidak ada penyelesaian tuntas secara hukum atas kejadian ini, kecuali Nasution dan kawan-kawan diberhentikan, tanpa proses hukum.

Tetapi pada 1956, Bung Karno dan A.H. Nasution bermesraan kembali, karena terdapat titik-temu sementara antara keduanya: sama-sama kecewa berat oleh kelakuan partai politik yang dinilai tidak memikirkan kepentingan bangsa dan negara. Jika perlu partai-partai itu dibubarkan. Demikianlah, ketika Majelis Konstituante tidak berhasil menyelesaikan masalah dasas negara pada 1959, AD plus partai-partai tententu mendorong Bung Karno untuk membubarkan majelis itu dengan menetapkan secara dekrit agar Pancasila dan UUD 1945 menjadi dasar dan UUD negara. Muncul masalah di sini, apakah di bawah UUDS yang berlaku ketika itu Bung Karno sebagai presiden berhak bertindak sejauh itu? Masalah inipun tidak ada penyelesaian yang memuaskan, sekalipun didukung oleh mayoritas suara dalam parlemen.

Akibat Tragedi G30S/PKI yang gagal, nama Bung Karno dikait-kaitkan dengan peristiwa itu. Tetapi, apa sebenarnya yang berlaku, tidak ada kejelasan dan penyelesaian sampai sekarang, sementara Bung Karno sendiri telah menjadi hujatan massa yang antikomunisme selama bertahun-tahun. Bahkan kabarnya, saat Bung Karno sakit, negara sudah tidak peduli kepadanya, dibiarkan begitu saja sampai wafat pada Juni 1970 dalam keadaan yang tidak pantas.
(-)
Index Koran

Tidak ada komentar:

Posting Komentar