Entri Populer

Rabu, 18 November 2009

"Persyaratan Masuk FLP"

“Aku FLP dan Dakwah Kepenulisan”

By: Afrinaldi

“......Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya yang terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Ku akan menghadang dan menerjang

Bisa dan racun kubawa berlari dan terus berlari
Hingga hilang pedih perih
Dan ku lebih takkan peduli
Ku ingin hidup seribu tahun lagi”
(Chairil Anwar, Angkatan ’45)

Kutipan puisi diatas adalah salah satu karya Chairil Anwar. Beliau adalah pelopor pujangga angkatan ’45. Mengapa saya memulai menulis essay ini dengan mengutip puisi Chairil Anwar di atas? Karena saya melihat dalam puisi itu terkandung suatu semangat yang berapi-api, semangat yang pantang menyerah. Walaupun dijauhi dan di kucilkan, akan tetapi tetap terus berjuang, berjuang dan berjuang.
Kalau kita hubungkan makna yang terkandung dalam puisi tersebut dengan berdirinya Forum Lingkar Pena (FLP). Maka akan kita dapatkan suatu kesamaan. Yaitu seperti yang pernah saya baca, dulu awalnya berdiri FLP ini adalah dikarenakan karya-karya dari Mbak Elvy tidak ada yang mau menerbitkan atau mempublikasikan. Sehingga munculah gagasan untuk mendirikan FLP. Walaupun ada halangan dan rintangan, namun Mbak Elvy tetap berjuang untuk berdakwah melalui tulisan dan karya-karyanya.
Tidak bisa kita pungkiri bahwa kontribusi FLP dalam dakwah kepenulisan di Indonesia sangat banyak sekali. Hingga sekarang FLP masih terus eksis berdakwah melalui tulis-menulis tersebut. Dan juga FLP banyak diminati para calon-calon pujangga muda. Karena FLP memberikan ruang dan kesempatan kepada para generasi muda untuk berproses di FLP. Mungkin dulu Mbak Evy tidak pernah membayangkan kalau FLP akan berkembang dan menjadi seperti saat sekarang ini. Kalau kita berandai-andai, seandainya karya-karya Mbak Elvy tersebut tidak ditolak oleh penerbit pada waktu itu, barangkali FLP tidak akan pernah ada. Tapi ternyata itulah hikmah dari semuanya itu. Walaupun kita mendapat halangan dan rintangan, pasti ada hikmah di sebalik itu. Dan Allah pasti akan memberi jalan jika kita mau terus berjuang.
Kalau kita lihat sekarang, betapa banyak sastrawan-sastrawan muda yang lahir dari rahim FLP. Itu semua tentu tidak lepas dari peran FLP itu sendiri, yang memberikan ruang kepada anggotanya untuk berkarya. Sehingga bakat dan hobi mereka terasah dan tersalurkan di FLP. Kita berharap semoga kedepan, akan lebih banyak lagi lahir mujahid-mujahid muda yang berjuang dan berdakwah melalui tulisan. FLP sebagai salah satu ruang bagi anak-anak muda untuk mengasah ketrampilan menulis, sudah tentu akan memberikan yang terbaik dalam membina kader-kadernya. Sehingga cita-cita FLP untuk berdakwah melalui tulisan akan terwujud lewat para kader-kader tersebut.
Seperti yang telah saya singgung di atas, yaitu bahwa halangan dan rintangan itu janganlah di jadikan momok untuk terus berjuang. Dalam berjuang dan berdakwah, halangan dan rintangan itu pasti ada. Akan tetapi yakinlah di setiap halangan dan rintangan itu pasti ada hikmah yang terkandung. Namun tidak semua orang bisa melewati halangan dan rintangan tersebut. Karena mereka terlalu cepat menyerah dan memandang halangan dan rintangan itu sebagai momok yang tidak bisa di lalui. Padahal bisa jadi halangan dan rintangan itu sebagai batu loncatan untuk meraih sukses di masa depan. Seperti apa yang telah dibuktikan oleh Mbak Elvy dengan FLP-nya. Semoga kita bisa mengikuti dan meneruskan jejak Mbak Elvy. Amin.
Saya yakin, keberhasilan FLP sekarang adalah karena dulu Mbak Elvy berani memulai dan menyelesaikan (komitmen) dengan apa yang telah ia mulai. Dan kita kedepan hendaknya juga komitmen dengan apa yang telah kita mulai saat ini. Saya telah memulai menulis essay ini untuk persyaratan mendaftar menjadi anggota FLP. Sekiranya saya diterima, semoga saya bisa komitmen dengan apa yang telah saya mulai saat ini. Saya akhiri tulisan ini dengan sebuah kata-kata mutiara, yaitu “Orang yang sukses adalah orang yang mampu menyelesaikan apa yang telah ia mulai. Sedangkan orang yang gagal adalah orang yang hanya bisa memulai, memulai dan memulai”.

Jogjakarta 18 November 2009

Selasa, 10 November 2009

Selasa, 10 November 2009 pukul 10:55:00
Pengusaha Itu Bernama Anggodo

Oleh: Ahmad Syafii Maarif


Penguasaha (penguasa-pengusaha), sebuah istilah yang menggambarkan kultur kongkalingkong antara penguasa dan pengusaha (hitam).

Adalah Kwik Kian Gie yang pertama kali menggunakan sebutan pengusaha hitam itu. Di dalamnya, terkandung kompleksitas hubungan saling menguntungkan antara pengusaha dan penguasa/aparat penegak hukum. Tentu, dalam hal ini untuk menggerogoti aset bangsa dan negara yang jumlahnya sudah tidak bisa dikatakan lagi.

Sebagai bangsa yang rapuh dalam masalah moral, fenomena Anggodo Widjojo sebenarnya sudah berlangsung puluhan tahun. Karikatur sosok Anggodo dalam pakaian seragam kapolri yang beredar demikian luas di media cetak dan elektronik adalah sebuah sarkasme yang amat tajam tentang betapa sangat parahnya bangunan moral bangsa ini.

Semestinya, Anggodo dalam seragam kapolri-nya memasang bintang lima, bukan empat, sebab kekuasaannya sudah jauh melampaui aparat penegak hukum kita yang tertinggi sekalipun.

Pihak kejaksaan pun telah lama kehilangan wibawa dalam menjalankan tugasnya. Kemudian, Komisi III DPR yang memuji paparan kapolri tentang masalah Bibit-Chandra hanyalah bagian lain dari pertunjukan komedi murahan yang menggelikan. Bukankah munculnya KPK adalah upaya membantu kepolisian dan kejaksaan yang setengah gagal dalam mengemban fungsinya selama ini? Jika kepolisian dan kejaksaan sebagai lembaga penegak hukum dapat berfungsi dengan efektif, khususnya dalam memerangi korupsi, KPK sama sekali tidak diperlukan.

Memang, saya mendengar keluhan dari sementara pihak bahwa KPK kadang-kadang sudah overdosis dalam menjalankan tugasnya. Akibatnya, sebagian pejabat menjadi ragu menggunakan dana pembangunan sebab khawatir diincar KPK. Jika memang hal itu berlaku, jangan KPK yang dilumpuhkan, tetapi UU KPK yang harus direvisi sehingga tidak terkesan sebagai superbody yang menakutkan. Dalam situasi seperti sekarang ini, nurani rakyat banyak untuk melawan korupsi masih cukup kuat, sekalipun aparat penegak hukum seperti telah kehilangan kepekaan. Oleh sebab itu, menjadikan Bibit-Chandra sebagai tersangka oleh pihak kepolisian dengan bukti-bukti hukum yang semakin berguguran, termasuk testimoni Antasari, telah mengundang kemarahan publik dalam radius yang sangat luas. Seorang Jenderal (Purn) Polisi Farouk Muhammad mengatakan bahwa polisi itu profesional, tetapi tidak amanah, sebuah pernyataan yang patut benar direnungkan oleh kapolri dan jajarannya. Penampilan Anggodo di berbagai forum sungguh dahsyat. Polisi dan kejaksaan seperti telah menjadi tawanannya.

Namun, kita tidak boleh hanya marah kepada Anggodo, apalagi dikaitkan dengan etnisitas yang sama sekali tidak relevan. Sebab, munculnya Anggodo dalam tampilan penuh percaya diri itu tidak lain disebabkan sebagian aparat penegak hukum kita sedang berada di bawah ketiaknya. Cerita tentang ini telah kita dengar sejak lama, tidak terkecuali di kalangan tentara. Situasinya malah semakin parah dari waktu ke waktu. Kenyataan inilah yang sangat merisaukan kita semua yang kemudian mendorong mencuatnya pertanyaan sentral ini, ''Siapa sebenarnya yang berdaulat di negeri ini?''

Jawaban terhadap pertanyaan ini akan menentukan masa depan Indonesia, apakah masih layak disebut sebagai negara berdaulat atau kedaulatannya telah diperjualbelikan dengan harga yang sangat murah demi sesuap nasi dan segenggam kekuasaan yang membunuh nurani dan akal sehat? Di depan berbagai forum, saya mengatakan bahwa bangsa dan negara ini hanya bisa diselamatkan jika dipimpin oleh manusia
merdeka, bukan oleh manusia setengah budak yang tidak punya martabat!

Akhirnya, sekiranya seluruh tuduhan polisi terhadap Bibit-Chandra adalah palsu belaka, ke mana nanti wajah DPR harus disurukkan? DPR ini baru saja dilantik bulan Oktober 2009, tetapi mengapa telah terseret dalam blunder politik yang sangat memalukan? Karena, rakyat yang siuman semakin kehilangan kepercayaan terhadap lembaga-lembaga formal negara. Berkat teknologi komunikasi, mereka dengan sigap memanfaatkan dunia maya dalam format facebook untuk mengatakan jeritan hati nuraninya secara jujur, terbuka, dan sarat dengan kegelisahan tentang nasib penegakan hukum di negeri ini. Gejala Anggodo sebagai penguasaha hanyalah salah satu puncak dari gunung es tentang betapa bobroknya sistem peradilan kita. Sementara itu, Komisi III DPR terpukau oleh paparan kapolri yang terlihat memerinci, tetapi ditegakkan di atas bukti hukum yang sangat meragukan. "Sebuah sarang yang dibangun di atas dahan yang rapuh tidak akan tahan lama," tulis Iqbal dalam sebuah puisinya.

Rabu, 04 November 2009




"Mencari Makna Hidup di Hiruk Pikuknya Dunia. Menyelami makna2 kehidupan, menyusuri sampai ke dalam jiwa. Namun tak kutemukan arti kehidupan. Membelah hati, menyisakan sunyi, Rindu yang tak terperih"

Senin, 02 November 2009




"Minangkabau Tercinta"




"Resonansi Buya Syafi'i"

Selasa, 03 November 2009 pukul 01:55:00
Ayam Sipuah

Oleh: Ahmad Syafii Maarif



Nagari Sumpur Kudus yang udik adalah bagian dari Ranah Minang yang dikenal sebagai salah satu pusat ceme'eh di muka bumi. Jarak nagari itu dari BIM (Bandara Internasional Minangkabau) sekitar 140 km ke arah perbatasan Riau Daratan. Sejak masa kecil di kawasan udik itu, saya telah mendengar cerita tentang Ayam Sipuah yang bagak (berani) di kandang.

Jika diadu di tempat lain, bulu kuduknya berdiri sebagai tanda tidak siap tempur. Tetapi, sebenarnya cerita Ayam Sipuah ini tidak lain dari sebuah mitos sebagai wujud dari ceme'eh -nya orang Nagari Sumpur Kudus terhadap manusia yang hanya berani di kampungnya sendiri. Di luar kampung, bulu kuduknya juga merinding dan keringat dinginnya mengalir sebagai pertanda dari nyali kecil.

Tentu, ingin pula tahu di mana lokasi Lorong Sipuah itu agar ceritanya lebih mengalir. Sipuah terbagi dua: Atas dan Bawah. Bagian atas berinduk ke Nagari Sumpur Kudus, yang bagian bawah ke Nagari Tamparungo dalam Kecamatan Sumpur Kudus, Kabupaten Sijunjung, Sumatra Barat. Jumlah penduduknya sedikit, umumnya sebagai petani, sejumlah kecil sebagai saudagar hasil hutan dan barang kelontong. Jaraknya dari Nagari Sumpur Kudus sekitar 10 km melalui pendakian Lantiak Kuniang yang terkenal cantik dan legendaris itu.

Selama puluhan tahun, mungkin malah dalam bilangan abad, di era kuda beban (kuda sebagai alat angkut barang), saat kendaraan bermesin belum memasuki kawasan itu, di Sipuah banyak warung makan untuk melayani pejalan kaki dan pengiring kuda beban menuju Kumanis, pasar terbesar di Kecamatan Sumpur Kudus. Makan siang di warung-warung pinggir jalan ini sungguh nikmat, sebuah kenangan masa kecil yang tak mungkin terlupakan.

Semuanya kini telah menguap ditelan proses modernisasi transportasi. Sejak mesinisasi alat angkut, warung makan Sipuah yang terkenal dengan gulai umbutnya sudah menghilang bersamaan dengan menghilangnya alat angkut tenaga kuda. Bahkan, seekor kuda pun tidak lagi terlihat di kecamatan itu. Anak-anak yang lahir pasca era kuda beban, hanyalah mengenal kuda di TV atau di tempat lain yang masih memeliharanya. Sebuah perubahan sosial-ekonomi dan gaya hidup yang dramatis.

Sekarang mitos Ayam Sipuah saya bawa ke ranah kultur politik bangsa. Apa pula sangkut pautnya? Anda ikuti seterusnya di bawah ini. Dalam pengamatan saya sejak beberapa tahun terakhir, jumlah Ayam Sipuah semakin berjibun saja, termasuk mereka yang semula galak di kampus.

Sekali merapat ke pinggir kekuasaan, kelakuannya berubah secara tragis: membela kekuasaan itu setengah mati. Idealisme sebagai kekuatan antikorupsi, misalnya, telah menguap seperti menguapnya gambaran kuda beban digusur mesin di Kecamatan Sumpur Kudus. Inilah yang sering saya istilahkan dengan idealisme musiman, tak tahan banting dan godaan. Saya punya daftar panjang tentang sosok Ayam Sipuah ini di panggung perpolitikan kita, dari tingkat bawah sampai ke tingkat puncak, tetapi sangatlah tidak etis bila disebutkan di sini.

Ciri utamanya adalah: kelakuannya berubah, tetapi terlihat lucu, aneh, dan kaku, sekali menginjak kawasan pinggir kekuasaan yang mungkin telah memberinya sesuatu. Menemui manusia dalam kategori ini, Anda akan sia-sia belaka jika berharap dapat berbicara dari hati ke hati dengan mereka. Tetapi, Anda jangan membuat generalisasi, sebab masih cukup tersedia di antara anak bangsa ini, sekalipun sudah turut berkuasa, hati nuraninya belum lumpuh. Jika terkesan sebagai Ayam Sipuah, itu hanyalah sebagai siasat yang tidak sampai membinasakan integritas pribadinya.

Idealismenya masih bertahan, sekalipun harus dikemas secara berhati-hati agar 'kepala simbung' (semacam kura-kura yang hidup di air) bosnya tidak tersinggung. Manusia tipe ini masih dapat diajak berbicara secara serius, tetapi tentunya tidak di muka publik, demi menjaga hubungannya dengan kekuasaan.

Sebuah demokrasi yang sehat dan kuat harus dibebaskan dari kultur Ayam Sipuah. Politisi sebagai pemain utama di panggung demokrasi semestinya adalah manusia-manusia merdeka dengan wawasan jauh ke depan, tetapi santun dalam berperilaku. Jika berdemonstrasi, pasti dilakukan dengan damai, pantangan baginya merusak lingkungan.

Model demonstrasi brutal sama saja dengan menggali makam demokrasi, sesuatu yang selalu dirindukan oleh setiap kecenderungan kekuasaan otoritarian-feodalistik yang biasa tampak dalam sistem kerajaan absolut. Kekuatan demokrasi Indonesia harus awas terhadap segala kemungkinan buruk di masa depan. Akhirnya, di ring tinju Polri vs KPK sekarang ini, jangan sampai muncul mental Ayam Sipuah di lingkungan KPK, sebab pasti akan semakin menderai demokrasi kita yang masih oleng ini.

Senin, 26 Oktober 2009

Rabu, 21 Oktober 2009

Film Buya Syafi'i

INILAH.COM, Jakarta - Maraknya aksi terorisme belakagan membuat berbagai pihak mencari cara untuk mengatasinya. Salah satunya adalah melalui film 'Syafii Maarif Si Anak Kampoeng'. Film yang menceritakan kisah hidup Buya Syafii itu diharapkan dapat menangkal terorisme.
"Film ini merupakan salah satu alat komunikasi untuk menghentikan aksi terorisme," kata Sutradara film Damien Dematra pada acara Tadarus Kebangsaan Maarif Institute berjudul 'Pluralisme, Film Si Anak Kampoeng, Dan Terorisme' di Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Menteng, Jakarta, Jumat (4/9).
Melalui film tersebut, tutur dia, dirinya ingin menyampaikan bahwa akan selalu ada harapan untuk anak bangsa (Indonesia), terlebih aksi bom bunuh diri yang banyak dilakukan oleh anak muda. Menurut dia, pengalaman konversi Buya Syafii dari seorang aktivis negara Islam menjadi seorang nasionalis beriman kuat sangat layak jadi cermin bagi siapapun yang selama ini mengikuti jalan ekstrimisme dan terorisme.
"Hal tersebut merupakan sebuah pesan terbuka bahwa wajah Islam sangat toleran, santun, dan bersahabat," ujarnya.
Kepada kalangan perfilman, imbau sutradara muda yang perduli dengan persoalan toleransi dan pluralisme tersebut, dia meminta agar mengangkat isu mengenai terorisme tersebut ke dalam sebuah film. dikatakan dia, film 'Si Anak Kampoeng' akan dibuat ke dalam sebuah trilogi yang menceritakan mengenai masa kecil Buya Syafii hingga ke titik konversi yang mendambakan negara Islam sehingga akhirnya ia menjadi pejuang sejati.
Film pertamanya, lanjut dia, akan dirilis pada Maret 2010. Setelahitu disusul pada Juni 2010 untuk film kedua. "Dan film terakhirnya akan di rilis pada Desember 2010," jelas Damien. [*/jib]

Rabu, 14 Oktober 2009





Terlalu Cepat Waktu Berlalu
Tinggalkan Kita Dijalanan yang berliku
Masih Ku Ingat Waktu Itu
Waktu Kau Tinggalkan Aku
Rasanya Jauh.....

Hari Ini
Ku Coba Bangkit
Dari keterpurukkanku
Sambil Menatap Masa DEpan Yang CErah
Namamu Telah TErhapus di Hatiku.

Yogyakarta September 2009

Jumat, 02 Oktober 2009


"INDONESIA: Tak PUtus Dirundung Malang"

Apa yang salah dengan bangsa ini?
Tak Putus dirundung Malang
Apakah Tuhan Sudah Murka
Karena dosa-dosa kita?
Entahlah.....

Saudara-saudaraku sebangsa dan setanah air
Dari Hati yang paling dalam saya mengajak
Marilah kita Intropeksi diri, dosa apakah yang telah kita lakukan
hingga tuhan menurunkan musibah bertubi-tubi?

Indonesia Berduka
Indonesia Luka

Apakah yang salah dengan bangsa Ini?
Entahlah...

Mulai dari Tsunami di Aceh
Gempa di Jogjakarta & Tasikmalaya
Dan banyak lagi deretan musibah lainnya
Hingga Saat Ini Ranah MInang Diguncang Gempa

Pilu
Perih
Berlinag air mata

Tuhan Ampuni Salah & Dosa Kami

Yogya, 01 Oktober 2009

Jumat, 11 September 2009

ISLAMIC EDUCATIONAL OBJECTIVES
This paper was prepared to fulfill the task independently
Course Codes: Islamic Education
Pengampu Lecturer: Dra. U.S. afiyah Hj M.Sc.







Produced By:
AFRINALDI
08410261


ISLAMIC RELIGIOUS EDUCATION MAJOR
FACULTY Tarbiyah
ISLAMIC STATE UNIVERSITY Sunan Kalijaga
YOGYAKARTA
2009


CHAPTER I
INTRODUCTION

Every thing must have a purpose. Humans live in the world would have a purpose. And so also with Islamic education. In ushuliyah adage states that: "al-age bi maqashidiha", that every action and activities should be oriented to the goals or plans that have been defined. This maxim shows that education should be oriented to the goal, not simply a row-oriented material.
In this paper the author will try to elaborate on the purpose of Islamic education. Because we know to change a nation for a better future. Ie with increasing HR (Human Resources) the nation itself. Qualified human resources will only be created, one that is through Islamic education. Therefore, in order to achieve a quality Islamic education. Can not, we must first know the purpose of Islamic education itself.

Therefore in this paper I will try to discuss about the objectives of Islamic education. Criticisms and suggestions are my hope, for anyone who read this paper. In order for the betterment of my papers berikunya.












CHAPTER II
ISLAMIC EDUCATIONAL OBJECTIVES

As already mentioned in the introduction. Namely that every action and activities should be oriented to the goals and plans that have been defined. The purpose of Islamic education into the educational component must be formulated first before formulating educational components of the other. Before we continue the discussion about the purpose of Islamic education. What is the purpose? And what is the purpose of Islamic education?
The purpose is the business standard that can be determined, and direct the efforts that will pass and is a starting point to achieve other goals. In addition, can restrict the purpose of business space, so kegitan can focus on what is desired, and above all else is able to provide assessment or evaluation of educational efforts.
Formulation of the objectives of Islamic education should be oriented on the nature of education that includes several aspects, such as about: First, the purpose and tasks of human life. Man shall not live by chance and futile. He was created with a purpose and a specific life tasks (Surah Ali-Imran: 191). The purpose of human created only to serve Allah SWT. Indications task of worship (as' abd Allah) and the task as his deputy in the face of the earth (the Caliph of Allah). Firman Allah SWT:
قل ان صلاتى ونسكى ومحيا ى ومماتى لله ربالعا لمين
"Verily my prayers, worship, life and death is only for Allah, Lord of the universe." (Surat al-An'am: 162)
Second, notice the basic nature of man, namely the concept of man as a unique creature that has some inherent potential, like nature, talents, interests, character, and character, which the al-berkecendrungan HANIEF (longing for the truth of God) in the form of the religion of Islam (Surat al-Kahf: 29) limited the ability, capacity, and measures.
Third, the demands of society. This demands both a preservation of cultural values that already exist in the life of a society, as well as compliance with the demands of their needs in anticipation of the modern world.
Fourth, the dimensions kehidupsn Islamic ideal. Dimensions of the life of the Islamic ideal world contains values that can improve the welfare of human life in the world to manage and utilize the world as stock in the next life, and contains values that encourage people worked hard to achieve in the next life is more happy, so people are not required to be bound by chain worldly or material wealth owned. However, poverty and destitution in the world also must be eradicated, because of poverty and poverty makes the human threat to kekufuran.Dalam Hadith says: "The al-faqr kada an yakuna kufran", poverty is only bringing hanpir disbelief. So should the life of the world and the hereafter must be balanced. In order to achieve kbahagian in the world and the Hereafter future happiness.

PRINCIPLES OF THE ISLAMIC EDUCATIONAL OBJECTIVES formulation
The purpose of Islamic education has some specific principles, in order to achieve educational goals. These principles are:
1. Universal principles (syumuliyah). The principle of looking at the whole aspect of religion (creed, worship and morality, and muamalah), human (physical, spiritual, and nafsani), society and order of life, and the shape of the universe and life. This principle led to the formulation of educational goals by opening, developing and educating all aspects of the human person and the willingness-willingness of all power, and cultural circumstances menimgkatkan, social, economic, and political will to solve all the problems in dealing with future demands.
2. The principle of balance and simplicity (tawazun iqtishadiyah qa). This principle is the balance between the various aspects of life in the private, the various needs of individuals and communities, and past the culture maintenance demands with the needs of contemporary culture and trying to overcome the problems that are and will happen.
3. Principle of clarity (tabayun). The principle in which the teachings and laws that give clarity to the human psyche (qalb, intellect, and passions) and legal problems encountered, to realize a goal, curricula and educational methods.
4. The principle is not contradictory. Principle where there is absence of conflict between the various elements and how its implementation, so that between one component with other components to support each other.
5. The principle of realism and can be implemented. The principle that stated kekhayalan absence of educational programs in the womb, not exaggerated, and the rules that are practical and realistic, which according to the nature and conditions of socioeconomic, sociopolitical, and sociocultural there.
6. Principle desirable changes. The principle changes in the structure of the human self that includes physical, ruhaniyah and nafsaniyah; and psiologis conditions change, sociological, knowledge, concepts, pikirn, skills, values, attitudes of learners to achieve educational excellence dynamics (Surat ar-Ra'd: 11 ).
7. Maintain the principle of individual differences. The principle that students notice the difference, both the characteristics, needs, intelligence, skill, interests, attitudes, stage of physical maturation, intellect, emotion, social, and all its aspects. This principle rests on the assumption that all individuals 'not equal' with others.
8. Dynamic principle in accepting the changes and developments as well as perpetrators of environmental education where education is carried out.

Hilda Taba mengemukan basic principles in the formulation of educational objectives as follows:
• The definition should include aspects of goal form the expected behavior (mental process) and related materials (products).
• The goals of the complex should be arranged in a well-established, analytical and specific, so the obvious forms of behavior are expected.
• The formulation should be clear to the formation of the desired behavior with a specific learning activities.
• Tujan is essentially reflecting the developmental direction to be achieved.
• The formulation should be realistic and should include translation into the curriculum and learning experience.
• Goals should include all aspects of the development of learners is the responsibility of the school.

COMPONENTS EDUCATIONAL OBJECTIVES
In the process of education, the ultimate goal is the crystallization of the values embodied in the person wants to learners. The end goal should be complete (comprehensive) covers all aspects, as well as integrated in the ideal personality patterns and complete the round. The ultimate goal of containing Islamic values in all its aspects, namely the normative aspects, functional aspects, and operational aspects. This led to the achievement of educational goals is not easy, even a very complex and contain the risk of mental-spiritual, even more so regarding the internalization of Islamic values, in which there is faith, Islam, Ihsan, and science became the main pillars.
Secarateoritis, the final goal can be divided into three parts, namely:
1. Normative goal. Objectives to be achieved on the basis of norms that could crystallized values to be internalized, for example:
• Goals provide formative nature of corrective basic preparation.
• Goals that are selectively providing the ability to distinguish things that are right and wrong.
• determinative goal is to give the ability to direct themselves to the goals that aligned with the educational process.
• Goal integrative nature provides the ability to integrate mental functions (thoughts, feelings, wishes, memories, and passions) to the final destination.
• the nature of applied Tujan enables the application of all knowledge that has been gained in the educational experience.
2. Functional purpose. The purpose of the target aimed at prserta ability to enable the students cognitive, affective, and psychomotor education from the results obtained, in accordance with the set. These objectives include:
• individual goal, which targets at providing the individual's ability to practice the values that have been internalized into a personal form of moral, intellectual and skill.
• social objective, which target the practice of granting the ability to values in social life, interpersonal, and interactional with others in the community.
• moral purpose, which targets at providing the ability to behave in accordance with the moral demands of motivational force which is based on religion (teogenetis), social encouragement (sosiogenetis), psychological impulse (psikogenetis), and biological urge (biogenetic).
• professional goal, which targets at providing the ability to apply their expertise, in accordance with the competencies possessed.
3. Operational objectives. Objectives that have manajeria technical sasran. According to Langeveld, this goal is divided into six kinds, namely:
• general objectives (total goals). According Kohnstam and Guning, these goals seek human form kamil, the man who can show the harmony and the harmony between body and soul, both in terms of mental health, individual life, and for the life together that makes the integrity of the three core human nature.
• special purpose. The purpose of this as an indication of the general objectives, namely tujua education tailored to the particular circumstances, both related to the development aspirations of a nation, the task of an agency or educational institution, talent ability students, such as providing knowledge and skills to students for supplies her life after she graduated, and is a basic preparation for transfer to the next level of education.
• Goal incomplete. This goal is related to the human personality from one aspect only, which relate to the values of life, such as morality, religion, kaindahan, kemsyarakatan, knowledge, and so on. Each aspect is a turn handling (priority) or the education business dalan forward together separately.
• Incidental purpose (immediate objectives). These goals arise by chance, an emergent, and is a moment, such a body prayer when someone dies.
• Goals while. Objectives to be achieved in certain phases of the general objectives, such as the phase where the goal children learn to read and write.
• Goal intermedier. Objectives related to mastery of knowledge and skills for the achievement of objectives as, for example, children learn to read and write, count and so on.
Tujuuan components of education in not only focused on that goal is theoretical, but also practical sasrannya aims at giving students practical skills. This is done so that after completing his studies, they can apply their knowledge with full authority and professional competence have given has been sufficient.

ISLAMIC EDUCATIONAL OBJECTIVES formulation
Efforts to accomplish the purpose of education should be conducted with as much as possible, despite the fact that humans can not find perfection in every way. Athiyah al-Abrasyi compose poem a poem: "Every thing has worked goal to achieve, a person free to make the achievement of objectives at the highest level."
Abd al-Rahman Saleh Abd Allah in his book, Edcationl Theory, a Qur'anic Outlook, stating the purpose of Islamic education can be classified into four dimensions, namely:
1. The purpose of physical education (al-ahdaf al-jismiyah).
Prepare themselves as bearers of human beings on Earth caliph task, through the physical skills. He rests on the opinion of Imam Nawawi, who interpreted the "al-qawy" As with the power of faith is supported by physical force.
2. The purpose of spiritual education (al-ahdaf al-ruhaniyah)
Increasing the soul of loyalty only to Allah, alone and implement a model Islamic morality by the Prophet Muhammad. Based on the ideals in the Qur'an.
3. Common educational goals (al-ahdaf al-aqliyah)
Intelligence briefing to find the truth and its causes with the study of signs of God and find the messages of his verses that have implications for increasing faith in the Creator.
4. Social education goals (al-ahdaf al-ajtimaiyah)
The purpose of social education is the formation of the whole personality that is part of the social community. Individual's identity is reflected here as "al-nas" who live in the community yng plural (plural).
Ali Ashraf offers Islamic educational goals with: "the realization of absolute submission to Allah SWT., At the individual level, society, and humanity in general". The purpose is crystallization of the special purpose of Islamic education, which is according to Ashraf, the special purpose of Islamic education are:
• Develop spiritual insights deepened, and to develop a rational understanding of Islam in the context of modern life.
• provide young people with a variety of knowledge and virtue, good practical knowledge, power, prosperity, social environment, and national development.
• Develop the ability to self-learners to appreciate and justify the comparative superiority of Islamic culture and civilization over all other cultures.
• Improving emotional impulses through imaginative experience, so that creative ability can flourish and function to know the Islamic norms of right and wrong.
• Helping students who are growing to learn to think logically and guiding the thought process based on the hypothesis and the concepts of knowledge required.
• Develop a relational and environmental perspectives as desired in Islam, with the happiness of good practice.
• Develop, refine, and deepen the ability to communicate in written and spoken language.

.
CHAPTER III
CONCLUSION

From the above discussion it can be concluded that the goal of Islamic education are: Establishment of "insan kamil (perfect human) that have Qur'ani faces, the behavior is consistent with the guidance of the Qur'an. Kaffah human creation that has a religious dimension, cultural and scientific. And also the awareness of human functions As with the servant, the Caliph of Allah, as well as the heir to the Prophet (warasat al-Anbiya) and provide adequate provisions in the context of the implementation of these functions.
Education should aim to achieve balanced growth in the total human personality through spiritual training, intelligence, reason, feelings, and senses. Therefore, education should be service to human growth in all its aspects, including aspects of spiritual, intellectual, amajinasi, physical, scientific, linguistic, either individually, or collectively, and to motivate all these aspects towards goodness and achievement of perfection. The main purpose of education in the realization bertump submission to Allah SWT. both in the level of individuals, communities, and people at large.



CHAPTER IV
REFERENCES
Ahmad D. Marimba, Introduction to Philosophy of Education, (Bandung: al-Ma'arif, 1989)
Langgulung Hasan, Human, and Education; A Psychological Analysis and Education, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1989)
Omar Muhammad al-Tumi al-Syaiban, Philosophy of Islamic Education, trans. Hasan Langgulung (Jakarta: Bulan Bintang, 1997)
Muhaimin, Concept of Islamic Education, Curriculum Studies Principal Components, (Solo: Romadhoni, 1991)
Ngalim Purwanto, Science Theoretical and Practical Education, (Bandung: Remaja Karya, 1988)
Abu Nur Ahmadi and Uhbiyati, Science Education (Jakarta: Rineka Cipta, 1991)
Abd al-Rahman Saleh Abd Allah, Educational Theories Based on the Qur'an, the original title: Edutional Theory, a Qur'anic Outlook, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991)
Ali Ashraf, New Horizon Islamic Education, trans. Husen Sayed Nasr, (Jakarta: Firdaus, 1939)

Kamis, 10 September 2009


"Padang Kota Tercinta"

Senin, 17 Agustus 2009






Foto-foto beberapa tempat di Sijunjung, SUMBAR.







''Dipersimpangan Jalan''

Kemana Akan Kulangkahkan
Kaki Ini
Sedang Jalan Licin
Dan Berduri

Terseok-seok Langkahku
Di Simpang Jalan
Ku Tersungkur
Ku Terkapar

Mengharap Uluran Tangan
Orang Yang Lalu Lalang
Ilir Mudik
Sibuk Sendiri

Ribuan Orang
Telah Lalu-lalang
Ilir Mudik
Namun Kutetap Tersungkur

Disimpang Jalan Pengharapan
Ku Berdo'a Dan Berharap
Hingga Ku Pingsan
Dan Tak Sadarkan Diri

Bulak Sumur, 20 January 2009. 11:38WIB


PENCARIAN JATI DIRI

Telah Kuturuti
Kemauan Hati Ini
Melangkah
Dan terus melangkah

Tertatih-tatih
Tanpa Arah Yang Pasti
Sarat Luka Dan Derita
Diantara Sukma Luka Ternganga

Kukayuh Terus Bidukku
Tanpa Peduli
Disela Ombak Dan Batu Karang
Menaklukkan Luasnya Samudera

Menuju Dermaga Ilmu
Sebagai Bekal Hidup
Untuk Kembali Pulang
Melewati Ombak
Dan Batu Karang Kehidupan

Yogya, 14 January 2009 Pukul 17:55



“Bimbang”

Malam semakin kelam
Sedangkan ombak ganas
Dan penuh batu karang

Cahaya itupun telah padam
Ditiup bayu malam
Sedangkan bidukku baru separuh jalan

Tak tau lagi arah kemudi dan haluan

Kini Ku terkatung-katung ditengah lautan
Dalam kelamnya malam
Diantara ganasnya ombak
Hiu
Dan batu karang
Yang siap menerjang

Haruskah Ku menunggu datangnya pagi
Untuk terus mengayuh bidukku hingga sampai ke tujuan?
Dan ataukah hanya bernharap pasrah,
pada ombak mendamparkan ketepi??!

Yogya, 10 Juni 2009
Pukul 02:18:13WIB


“Mentari Kehidupan 1”

Cahaya hidupku yang dulu pernah padam
Kini bersinar lagi bak rembulan
Menyinari gelapnya malam

Apakah ini terakhir kalinya
Ku melihat rembulan itu,
Sebelum ditutup awan?

Ataukah Ku kan menyatu bersamanya,
Bersembunyi dibalik awan?
Dan ataukah Ku kan hilang bersamanya,
Ditelan Mentari pagi???!



“Mentari Kehidupan 2”

Ketika Mentari kehidupanku mulai meredup
Rasanya Dunia mulai kelihatan kelam
Dan Mentari terasa tinggal sejengkal mau tenggelam

Dan kini…
Mentari itu muncul lagi bersinar di ufuk barat

Dan kembali bersemangat ku kayuh bidukku
Melewati ombak dan batu karang

Apakah Ku kan sampai padanya sebelum Mentari tenggelam?!
Ataukah Aku akan ikut tenggelam, bersama tenggelamnya Mentari di ufuk barat?

Sinar Melati Sleman, 17 Juni 2009

“DUHA”

Ketika….
Cahaya “duha” menjalar ke Bumi
Dirumah-MU ku Sujud
Dan Memuji

Yogya, 19 Jumi 2009

Minggu, 02 Agustus 2009



Bukan dari tulang ubun ia dicipta
karna berbahaya membiarkannya dalam sanjung dan puja
tak juga dari tulang kaki
karna nista membuatnya diinjak dan diperbudak
tapi dari tulang rusuk bagian kiri
dekat ke hati untuk disayangi
dekat ke tangan untuk dilindungi

(dikutip dr: Agar Bidadari Cemburu Padamu)


"Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah
orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman."
(QS. Ali Imran:139)


Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandanganya,
dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka,
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat." (QS. An Nur:30)

Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya,
dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang
(biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung
kedadanya...." (QS. An Nur:30)

Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu
pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan.
Dan pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah
sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat.(Al-A'raf:26)

nadiku mulai berhenti berdenyut
Ku mau KAU ada di sisiku
Bila darahku berhenti mengalir
Ku ingin mndengar kata2 cinta darimu
Agar ku pergi dengan damai
Agar ku pergi tanpa penyesalan
Kalau di Dunia cinta tk sampai, di Surga sampaikan jua.

Jogja 2009
Bimbang……
Kelam….
Hilang arah ku ditengah rimba kehidupan

Cahaya hidupku yang sempat lagi berpijar
Kinipun telah kau renggut kembali dr ku
Dan kau berikan pada orang lain

Kini ku hilang Sasar….
Nanar…
Hilang arah di rimba tak bertuan

Ku merindukan cahaya itu kembali….!!!

Al-Hasanah 13 Juli 2009 23:49WIB

Ku Tulis Puisi Ini Untuk Buya Ahmad Syafi’i Ma’arif

“Antara Sumpur Kudus dan Jogja”

Lima Puluh Enam Tahun Yang Lalu
Kau Tinggalkan Kampung Ini, BUYA
Mengikuti Retak Tanganmu
Ke Yogyakarta

Melewati Berbagai Garis-garis Nasib
Yang Tak Kau Kuasai
Higga Ombak Mendamparkanmu
Ke Tepi

Hari Ini
Aku Datang, di Kota Ini
Disini Jogja, Kota Budaya
Menelusuri Jejak-Jejak Langkahmu
Berharap Ombak Juga Mendamparkanku
Ke Tepi

Yogyakarta, 18 Mai 2009

Kamis, 11 Juni 2009

TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mandiri
Mata Kuliah: Ilmu Pendidikan Islam
Dosen Pengampu: Dra. Hj Afiyah AS M.Si.







Disusun Oleh:
AFRINALDI
08410261


JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2009


BAB I
PENDAHULUAN

Setiap sesuatu itu pasti ada tujuannya. Manusia hidup di Dunia pasti memiliki tujuan. Dan begitu juga dengan pendidikan Islam. Dalam adagium ushuliyah dinyatakan bahwa: “al-umur bi maqashidiha”, bahwa setiap tindakan dan aktivitas harus berorientasi pada tujuan atau rencana yang telah ditetapkan. Adagium ini menunjukan bahwa pendidikan seharusnya berorientasi pada tujuan yang ingin dicapai, bukan semata-mata berorientasi pada sederetan materi.
Dalam makalah ini penulis akan mencoba untuk menguraikan tentang tujuan dari pendidikan Islam. Karena kita tahu untuk merubah suatu bangsa kedepannya agar lebih baik. Yaitu dengan meningkatkan SDM(Sumber Daya Manusianya) bangsa itu sendiri. SDM yang berkualitas hanya akan bisa tercipta, salah satunya yaitu melalui pendidikan Islam. Untuk itu, agar tercapainya pendidikan islam yang berkualitas. Tidak bisa tidak, terlebih dulu kita harus mengetahui tujuan dari pendidikan Islam itu sendiri.

Untuk itu dalam makalah ini saya akan mencoba membahas mengenai tujuan pendidikan Islam tersebut. Kritik dan saran sangat saya harapkan, bagi siapapun yang membaca makalah ini. Agar demi perbaikan makalah-makalah saya berikunya.












BAB II
TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM

Seperti yang telah disebutkan pada bagian pendahuluan. Yaitu bahwa setiap tindakan dan aktivitas harus berorientasi pada tujuan dan rencana yang telah ditetapkan. Tujuan pendidikan Islam menjadi komponen pendidikan yang harus dirumuskan terlebih dahulu sebelum merumuskan komponen-komponen pendidikan yang lain. Sebelum kita melanjutkan pembahasan tentang tujuan pendidikan Islam. Apa sih tujuan itu? Dan apa juga tujuan pendidikan Islam itu?
Tujuan merupakan standar usaha yang dapat ditentukan, serta mengarahkan usaha yang akan dilalui dan merupakan titik pangkal untuk mencapai tujuan-tujuan lain. Di samping itu, tujuan dapat membatasi ruang gerak usaha, agar kegitan dapat terfokus pada apa yang dicita-citakan, dan yang terpenting lagi adalah dapat memberi penilaian atau evaluasi pada usaha-usaha pendidikan.
Perumusan tujuan pendidikan Islam harus berorientasi pada hakikat pendidikan yang meliputi beberapa aspeknya, misalnya tentang: Pertama, tujuan dan tugas hidup manusia. Manusia hidup bukan karena kebetulan dan sia-sia. Ia diciptakan dengan membawa tujuan dan tugas hidup tertentu (QS. Ali-Imran: 191). Tujuan diciptakan manusia hanya untuk mengabdi kepada Allah SWT. Indikasi tugasnya berupa ibadah (sebagai ‘abd Allah) dan tugas sebagai wakilnya di muka bumi (khalifah Allah). Firman Allah SWT:
قل ان صلاتى ونسكى ومحيا ى ومماتى لله ربالعا لمين
“Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanya untuk Allah, Tuhan sekalian alam.” (QS. Al-An’am: 162)
Kedua, memerhatikan sifat-sifat dasar manusia, yaitu konsep tentang manusia sebagai makhluk unik yang mempunyai beberapa potensial bawaan, seperti fitrah, bakat, minat, sifat, dan karakter, yang berkecendrungan pada al-hanief (rindu akan kebenaran dari Tuhan) berupa agama Islam (QS. Al-kahfi: 29) sebatas kemampuan, kapasitas, dan ukuran yang ada.
Ketiga, tuntutan masyarakat. Tuntutan ini baik berupa pelestarian nilai-nilai budaya yang telah ada didalam kehidupan suatu masyarakat, maupun pemenuhan terhadap tuntutan kebutuhan hidupnya dalam mengantisipasi perkembangan dunia modern.
Keempat, dimensi-dimensi kehidupsn ideal Islam. Dimensi kehidupan dunia ideal Islam mengandung nilai yang dapat meningkatkan kesejahteraan hidup manusia di dunia untuk mengelola dan memanfaatkan dunia sebagai bekal kehidupan di akhirat, serta mengandung nilai yang mendorong manusia berusaha keras untuk meraih kehidupan di akhirat yang lebih membahagiakan, sehingga manusia dituntut agar tidak terbelenggu oleh rantai kekayaan duniawi atau materi yang dimiliki. Namun demikian, kemiskinan dan kemelaratan di dunia juga harus diberantas, sebab kemelaratan dan kemiskinan menjadikan ancaman manusia kepada kekufuran.Dalam Hadis disebutkan: “kada al-faqr an yakuna kufran”, kemelaratan itu hanpir saja mendatangkan kekafiran. Jadi hendaknya antara kehidupan dunia dan akhirat haruslah seimbang. Agar tercapainya kbahagian di dunia dan kebahagian diakhirat kelak.

PRINSIP-PRINSIP DALAM FORMULASI TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM
Tujuan pendidikan Islam mempunyai beberapa prinsip tertentu, agar tercapainya tujuan pendidikan. Prinsip-prinsip itu adalah:
1. Prinsip universal (syumuliyah). Prinsip yang memandang keseluruhan aspek agama (akidah, ibadah dan akhlak, serta muamalah), manusia (jasmani, rohani, dan nafsani), masyarakat dan tatanan kehidupannya, serta adanya wujud jagat raya dan hidup. Prinsip ini menimbulkan formulasi tujuan pendidikan dengan membuka, mengembangkan dan mendidik segala aspek pribadi manusia dan kesediaan-kesediaan segala dayanya, dan menimgkatkan keadaan kebudayaan, sosial, ekonomi, dan politik untuk menyelesaikan semua masalah dalam menghadapi tuntutan masa depan.
2. Prinsip keseimbangan dan kesederhanaan (tawazun qa iqtishadiyah). Prinsip ini adalah keseimbangan antara berbagai aspek kehidupan pada pribadi, berbagai kebutuhan individu dan komunitas, serta tuntutan pemeliharaan kebudayaan silam dengan kebutuhan kebudayaan masa kini serta berusaha mengatasi masalah-masalah yang sedang dan akan terjadi.
3. Prinsip kejelasan (tabayun). Prinsip yang di dalamnya terdapat ajaran dan hukum yang memberi kejelasan terhadap kejiwaan manusia (qalb, akal, dan hawa nafsu) dan hukum masalah yang dihadapi, sehingga terwujud tujuan, kurikulum dan metode pendidikan.
4. Prinsip tidak bertentangan. Prinsip yang di dalamnya terdapat ketiadaan pertentangan antara berbagai unsur dan cara pelaksanaannya, sehingga antara satu komponen dengan komponen yang lain saling mendukung.
5. Prinsip realisme dan dapat dilaksanakan. Prinsip yang menyatakan tidak adanya kekhayalan dalam kandungan program pendidikan, tidak berlebih-lebihan, serta adanya kaidah yang praktis dan realistis, yang sesuai dengan fitrah dan kondisi sosioekonomi, sosiopolitik, dan sosiokultural yang ada.
6. Prinsip perubahan yang diingini. Prinsip perubahan struktur diri manusia yang meliputi jasmaniah, ruhaniyah dan nafsaniyah; serta perubahan kondisi psiologis, sosiologis, pengetahuan, konsep, pikirn, kemahiran, nilai-nilai, sikap peserta didik untuk mencapai dinamisasi kesempurnaan pendidikan (QS. Ar-ra’d: 11).
7. Prinsip menjaga perbedaan-perbedaan individu. Prinsip yang memperhatikan perbedaan peserta didik, baik ciri-ciri, kebutuhan, kecerdasan, kebolehan, minat, sikap, tahap pematangan jasmani, akal, emosi, sosial, dan segala aspeknya. Prinsip ini berpijak pada asumsi bahwa semua individu ‘tidak sama’ dengan yang lain.
8. Prinsip dinamis dalam menerima perubahan dan perkembangan yang terjadi pelaku pendidikan serta lingkungan dimana pendidikan itu dilaksanakan.

Hilda Taba mengemukan prinsip-prinsip pokok dalam perumusan tujuan pendidikan sebagai berikut:
• Rumusan tujuan hendaknya meliputi aspek bentuk tingkah laku yang diharapkan (proses mental) dan bahan yang berkaitan dengannya (produk).
• Tujuan-tujuan yang kompleks harus ditata secara mapan, analitis dan spesifik, sehingga tampak jelas bentuk-bentuk tingkah laku yang diharapkan.
• Formulasi harus jelas untuk pembentukan tingkah laku yang diinginkan dengan kegiatan belajar tertentu.
• Tujan tersebut pada dasarnya bersifat developmental yang mencerminkan arah yang hendak dicapai.
• Formulasi harus realistis dan hendaknya memasukan terjemahan ke dalam kurikulum dan pengalaman belajar.
• Tujuan harus mencakup segala aspek perkembangan peserta didik yang menjadi tanggung jawab sekolah.

KOMPONEN-KOMPONEN TUJUAN PENDIDIKAN
Dalam proses pendidikan, tujuan akhir merupakan kristalisasi nilai-nilai yang ingin diwujudkan dalam pribadi peserta didik. Tujuan akhir harus lengkap (comprehensive) mencakup semua aspek, serta terintegrasi dalam pola kepribadian ideal yang bulat dan utuh. Tujuan akhir mengandung nilai-nilai islami dalam segala aspeknya, yaitu aspek normatif, aspek fungsional, dan aspek operasional. Hal tersebut menyebabkan pencapaian tujuan pendidikan tidak mudah, bahkan sangat kompleks dan mengandung resiko mental-spritual, lebih-lebih lagi menyangkut internalisasi nilai-nilai islami, yang didalamnya terdapat iman, Islam, ihsan, serta ilmu pengetahuan menjadi pilar-pilar utamanya.
Secarateoritis, tujuan akhir dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu:
1. Tujuan normatif. Tujuan yang ingin dicapai berdasarkan norma-norma yang mampu mengkristalisasikan nilai-nilai yang hendak diinternalisasi, misalnya:
• Tujuan formatif yang bersifat memberi persiapan dasar yang korektif.
• Tujuan selektif yang bersifat memberikan kemampuan untuk membedakan hal-hal yang benar dan yang salah.
• Tujuan determinatif yang bersifat memberi kemampuan untuk mengarahkan diri pada sasaran-sasaran yang sejajar dengan proses kependidikan.
• Tujuan integratif yang bersifat memberi kemampuan untuk memadukan fungsi psikis (pikiran, perasaan, kemauan, ingatan, dan nafsu) ke arah tujuan akhir.
• Tujan aplikatif yang bersifat memberikan kemampuan penerapan segala pengetahuan yang telah diperoleh dalam pengalaman pendidikan.
2. Tujuan fungsional. Tujuan yang sasarannya diarahkan pada kemampuan prserta didik untuk memfungsikan daya kognisi, afeksi, dan psikomotorik dari hasil pendidikan yang diperoleh, sesuai dengan yang ditetapkan. Tujuan ini meliputi:
• Tujuan individual, yang sasarannya pada pemberian kemampuan individual untuk mengamalkan nilai-nilai yang telah diinternalisasikan ke dalam pribadi berupa moral, intelektual dan skill.
• Tujuan sosial, yang sasarannya pada pemberian kemampuan pengamalan nilai-nilai ke dalam kehidupan sosial, interpersonal, dan interaksional dengan orang lain dalam masyarakat.
• Tujuan moral, yang sasarannya pada pemberian kemampuan untuk berperilaku sesuai dengan tuntutan moral atas dorongan motivasi yang bersumber pada agama (teogenetis), dorongan sosial (sosiogenetis), dorongan psikologis (psikogenetis), dan dorongan biologis (biogenetis).
• Tujuan profesional, yang sasarannya pada pemberian kemampuan untuk mengamalkan keahliannya, sesuai dengan kompetensi yang dimiliki.
3. Tujuan operasional. Tujuan yang mempunyai sasran teknis manajeria. Menurut Langeveld, tujuan ini dibagi menjadi enam macam, yaitu:
• Tujuan umum (tujuan total). Menurut Kohnstam dan Guning, tujuan ini mengupayakan bentuk manusia kamil, yaitu manusia yang dapat menunjukan keselarasan dan keharmonisan antara jasmani dan rohani, baik dalam segi kejiwaan, kehidupan individu , maupun untuk kehidupan bersama yang menjadikan integritas ketiga inti hakikat manusia.
• Tujuan khusus. Tujuan ini sebagai indikasi tercapainya tujuan umum, yaitu tujua pendidikan yang disesuaikan dengan keadaan tertentu, baik berkaitan dengan cita-cita pembangunan suatu bangsa, tugas dari suatu badan atau lembaga pendidikan, bakat kemampuan peserta didik, seperti memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada peserta didik untuk bekal hidupnya setelah ia tamat, dan sekaligus merupakan dasar persiapan untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan berikutnya.
• Tujuan tak lengkap. Tujuan ini berkaitan dengan kepribadian manusia dari satu aspek saja, yang berhubungan dengan nilai-nilai hidup tertentu, misalnya kesusilaan, keagamaan, kaindahan, kemsyarakatan, pengetahuan, dan sebagainya. Setiap aspek ini mendapat giliran penanganan (prioritas) dalan usaha pendidikan atau maju bersama-sama secara terpisah.
• Tujuan insidental (tujuan seketika). Tujuan ini timbul karena kebetulan, bersifat mendadak, dan bersifat sesaat, misalnya mengadakan shalat jenazah ketika ada orang yang meninggal.
• Tujuan sementara. Tujuan yang ingin dicapai pada fase-fase tertentu dari tujuan umum, seperti fase anak yang tujuannya belajar membaca dan menulis.
• Tujuan intermedier. Tujuan yang berkaitan dengan penguasaan suatu pengetahuan dan keterampilan demi tercapainya tujuan sementara, misalnya anak belajar membaca dan menulis, berhitung dan sebagainya.
Komponen-komponen tujuuan pendidikan di atas tidak hanya terfokus pada tujuan yang bersifat teoritis, tetapi juga bertujuan praktis yang sasrannya pada pemberian kemampuan praktis peserta didik. Hal ini dilakukan agar setelah menyelesaikan studinya, mereka dapat mengaplikasikan ilmunya dengan penuh kewibawaan dan professional mengingat kompetensi yang dimiliki telah memadai.

FORMULASI TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM
Upaya dalam pencapain tujuan pendidikan harus dilaksanakan dengan semaksimal mungkin, walaupun pada kenyataannya manusia tidak mungkin menemukan kesempurnaan dalam berbagai hal. Athiyah al-Abrasyi menyairkan suatu syair: “Setiap sesuatu mempunyai tujuan yang diusahakan untuk dicapai, seseorang bebas menjadikan pencapaian tujuan pada taraf yang paling tinggi.”
Abd al-Rahman Shaleh Abd Allah dalam bukunya, Edcationl Theory, a Qur’anic Outlook, menyatakan tujuan pendidikan Islam dapat diklasifikasikan menjadi empat dimensi, yaitu:
1. Tujuan pendidikan jasmani (al-ahdaf al-jismiyah).
Mempersiapkan diri manusia sebagai pengemban tugas khalifah di Bumi, melalui ketrampilan-ketrampilan fisik. Ia berpijak pada pendapat Imam Nawawi yang menafsirkan “al-qawy” sebagi kekuatan iman yang ditopang oleh kekuatan fisik.
2. Tujuan pendidikan rohani (al-ahdaf al-ruhaniyah)
Meningkatkan jiwa dari kesetiaan yang hanya kepada Allah SWT, semata dan melaksanakan moralitas Islami yang diteladani oleh Nabi SAW. Dengan berdasarkan pada cita-cita ideal dalam al-Qur’an.
3. Tujuan pendidikan akal (al-ahdaf al-aqliyah)
Pengarahan intelegensi untuk menemukan kebenaran dan sebab-sebabnya dengan telaah tanda-tanda kekuasaan Allah dan menemukan pesan-pesan ayat-ayat Nya yang berimplikasi kepada peningkatan iman kepada Sang Pencipta.
4. Tujuan pendidikan social (al-ahdaf al-ajtimaiyah)
Tujuan pendidikan social adalah pembentukan kepribadian yang utuh yang menjadi bagian dari komunitas social. Identitas individu di sini tercermin sebagai “al-nas” yang hidup pada masyarakat yng plural (majemuk).
Ali Ashraf menawarkan tujuan pendidikan Islam dengan: “terwujudnya penyerahan mutlak kepada Allah SWT., pada tingkat individu, masyarakat, dan kemanusiaan pada umumnya”. Tujuan itu merupakan kristalisasi dari tujuan khusus pendidikan Islam, yang masih menurut Ashraf, tujuan khusus pendidikan Islam adalah:
• Mengembangkan wawasan spiritual yang semakin mendalam, serta mengembangkan pemahaman rasional mengenai Islam dalam konteks kehidupan modern.
• Membekali anak muda dengan berbagai pengetahuan dan kebajikan, baik pengetahuan praktis, kekuasaan, kesejahteraan, lingkungan social, dan pembangunan nasional.
• Mengembangkan kemampuan pada diri peserta didik untuk menghargai dan membenarkan superioritas komperatif kebudayaan dan peradaban Islami di atas semua kebudayaan lain.
• Memperbaiki dorongan emosi melalui pengalaman imajinatif, sehingga kemampuan kreatif dapat berkembang dan berfungsi mengetahui norma-norma Islam yang benar dan yang salah.
• Membantu peserta didik yang sedang tumbuh untuk belajar berpikir secara logis dan membimbing proses pemikirannya dengan berpijak pada hipotesis dan konsep-konsep tentang pengetahuan yang dituntut.
• Mengembangkan wawasan relasional dan lingkungan sebagaimana yang dicita-citakan dalam Islam, dengan melatih kebahagian yang baik.
• Mengembangkan, menghaluskan, dan memperdalam kemampuan berkomunikasi dalam bahasa tulis dan bahasa lisan.

.
BAB III
KESIMPULAN

Dari pembahasan tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah: Terbentuknya “insan kamil” (manusia paripurna) yang mempunyai wajah-wajah qur’ani, yaitu perilakunya tersebut sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an.Terciptanya insan kaffah yang memiliki dimensi religius, budaya dan ilmiah. Serta juga adanya penyadaran fungsi manusia sebagi hamba, khalifah Allah, serta sebagai pewaris Nabi (warasat al-anbiya) dan memberikan bekal yang memadai dalam rangka pelaksanaan fungsi tersebut.
Pendidikan Seharus bertujuan mencapai pertumbuhan yang seimbang dalam kepribadian manusia secara total melalui pelatihan spiritual, kecerdasan, rasio, perasaan, dan pancaindra. Oleh karena itu, pendidikan seharusnya pelayanan bagi pertumbuhan manusia dalam segala aspeknya yang meliputi aspek spiritual, intelektual, amajinasi, fisik, ilmiah, linguistik, baik secara individu, maupun secara kolektif, dan memotivasi semua aspek tersebut kearah kebaikan dan pencapai kesempurnaan. Tujuan utama pendidikan bertump pada terealisasinya ketundukan kepada Allah SWT. baik dalam level individu, komunitas, dan manusia secara luas.



BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan, (Bandung: al-Ma’arif, 1989)
Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan; Suatu Analisis Psikologi dan Pendidikan, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1989)
Omar Muhammad al-Tumi al-Syaiban, Falsafah Pendidikan Islam, terj. Hasan Langgulung (Jakarta: Bulan Bintang, 1997)
Muhaimin, Konsep Pendidikan Islam, Telaah Komponen Dasar Kurikulum, (Solo: Romadhoni, 1991)
Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, (Bandung: Remaja Karya, 1988)
Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan (Jakarta: Rineka Cipta, 1991)
Abd al-Rahman Shaleh Abd Allah, Teori-teori Pendidikan Berdasarkan al-Qur’an, judul asli: Edutional Theory, a Qur’anic Outlook,(Jakarta: Rineka Cipta, 1991)
Ali Ashraf, Horison Baru Pendidikan Islam, terj. Sayed Husen Nashr, (Jakarta: Firdaus, 1939)
“ RINDU “

Hanya Kau Untukku
Hatiku Gelisah
Kau Satu2nya Bagiku
Hatiku Pasrah

Perasaan Rindu Ini
Kuukir Dilembah Gelapnya Malam
Berteman Bintang

Kucoba Merayu Angin
Kututup Mata
Merasakan Dinginya Malam

Getar Lidah Tak Terasa
Hati Rindu Siapa Yang Tahu???

Jogja, 2008
“Surau Kami”

Disurau ini kawan, dulunya kami diajarkan mengaji
Alif Ba Ta Tsa Jim
Surau ini pula, dulunya bapak ibu kami diajarkan
Alif Ba Ta Tsa Jim

Surau ini pula tempat kami anak-anak bujang kembali ke peraduan malam
Setelah seharian bekerja membanting tulang

Kini…
Setelah Jauh Diperantauan
Surau itu kembali terkenang
Ingin rasanya terulang masa-masa mengaji & tidur di surau
Ketika kami masih bujang dulu

Tapi sayang
Kini Surau itu telah roboh
Dimakan bubuk zaman

Kini Surau itu telah ditinggalkan
Anak Muda Minang tidak mau lagi mengaji & tidur di Surau
Surau bukan lagi tempat pendidikan bagi orang Minang
Surau telah lama ditalak tiga oleh kebanyakan orang Minang

Kini…
Orang Minang lebih suka duduk di Lapau
Orang Minang lebih suka menonton film Holywod
Orang Minang lebih suka bermain judi

Mungkin besok, tak lama lagi
Surau di Minang hanya tinggal kenangan
Dan juga mungkin Minang hanya tinggal kabau.

Tak salah A.A Navis mengarang buku “Robohnya Surau Kami.”

Jogja, 10 Juni 2009
Pukul 01:33Wib.

"Sumpur Kudus"

“SUMPUR KUDUS”
Sumpur Kudus
Bumimu Banyak Menyimpan Sejarah
Mulai dari Raja Ibadat Hingga PDRI-nya
Tapi...Kau Terlupakan
Sekian Abad Lamanya

Sumpur Kudus
Dari Rahimmu Juga Banyak Dilahirkan
Putra-Putra Terbaik Bangsa Ini
Tapi Bumimu Selama Ini
Seolah Tak Terbaca Dalam Peta Bangsa Ini

Kenapa bangsa ini tak mau peduli lagi dengan sejarah bangsa sendiri?
Seolah semuanya telah terkena AMNESIA
Hingga tak bisa menghargai sejarah bangsa sendiri

Sumpur Kudus
Memang hanyalah sebuah sekrup kecil
Diantara sekian banyak tempa2t sejarah
Yang ada di negri Indonesia yang Tercinta Ini

Yang lainnya itu juga tidaklah lebih baik nasibnya dari Sumpur Kudus
Jika tidak bisa dibilang mungkin lebih menggenaskan
Seolah pemerintah tidak mau menghargai barang sedikit jua

Itulah potret bangsa ini
Tak harus kita sesali
Yang berlalu biarlah berlalu

Mari kita menatap jauh kedepan
Agar bangsa ini menjadi bangsa yang mau menghargai sejarah
Sekecil apapun itu
Sehingga menuju Indonesia yg bermartabat dimata Dunia

Yogyakarta, 25 April 2009

Kumpulan Sajak "Antara Rindu & Dendam"

DUHAI IBU

Jasamu Ibu
Kan Kukenang Selalu
Tanpamu
Ku tak ada apa-apanya

Kemanapun kaki ini melangkah
Kamanapun jalan hidup membawa
Jasamu
Tetapkanku kenang

Kuberjanji Ibu
Jika kuberhasil suatu saat nanti
InsyaAllah kan kupersembahkan untukmu semuanya
Sebagai tanda baktiku kepadamu

Duhai Ibu
Kuberharap do'a & keridhoanmu
Semoga Allah selalu memberi jalan kepadaku
Hingga datang waktu itu
Hingga waktu ku bertaemu lagi denganmu
Dalam isak tangis kerinduan, kepiluan & kebahagiaan.

Yogya, 01 Januari '09 02:37WIB


PENCARIAN JATI DIRI

Telah Kuturuti
Kemauan Hati Ini
Melangkah
Dan terus melangkah

Tertatih-tatih
Tanpa Arah Yang Pasti
Sarat Luka Dan Derita
Diantara Sukma Luka Ternganga

Kukayuh Terus Bidukku
Tanpa Peduli
Disela Ombak Dan Batu Karang
Menaklukkan Luasnya Samudera

Menuju Dermaga Ilmu
Sebagai Bekal Hidup
Untuk Kembali Pulang
Melewati Ombak
Dan Batu Karang Kehidupan

Yogya, 14 January 2009 Pukul 17:55



''Dipersimpangan Jalan''

Kemana Akan Kulangkahkan
Kaki Ini
Sedang Jalan Licin
Dan Berduri

Terseok-seok Langkahku
Di Simpang Jalan
Ku Tersungkur
Ku Terkapar

Mengelepar

Mengharap Uluran Tangan
Orang Yang Lalu Lalang
Ilir Mudik
Sibuk Sendiri

Ribuan Orang
Telah Lalu-lalang
Ilir Mudik
Namun Kutetap Tersungkur

Disimpang Jalan Pengharapan
Ku Berdo'a Dan Berharap
Hingga Ku Pingsan
Dan Tak Sadarkan Diri
Bulak Sumur, 20 January 2009. 11:38WIB

PALESTINA: Mengapa Tak Kunjung Damai?

Palestina…
Kini Bumimu Porak Poranda
Mayat Bergelimpangan Dimana-Mana
Bau Amis Darah Dan Mesiu
Bercampur Aduk Menyengat

Palestina…
Sudah Sekian Tahun Lamanya
Perang Di Negerimu Berkecamuk
Tak Kunjung Usai
Tak Kunjung Damai

Palestina…
Entah Sudah Berapa Banyak Melayang
Jiwa-jiwa Yang Tak Berdosa
Entah Berapa Banyak
Anak Kehilangan Ayah
Dan Entah Sudah Berapa Banyak
Istri Kehilangan Suaminya

Palestina…
Umat Islam Menangis Tanpa Air Mata
Karena Sudah Kering
Dunia berduka dan Terluka, Perih Sekali!
Kecuali Si Yahudi Israel Dan Sekutu-sekutunya
Sebuah Pertanyaan
Tetap saja tak terjawab:
Mengapa Perang Di Palestina Tak Pernah Usai
Tak Pernah Damai???

Palestina…
Darah Para Pemuda Islam
Menggelegak Bagai Singa-singa Kelaparan
Terpanggil Berjihad
Mendengar Tubuhmu Luka
Mengikuti Jejak-jejak Salahudin Al-Ayyubi
Sekian Abad Silam

Palestina…
Terbalut luka
Pedih
Perih
Bersimbah Darah dan Air Mata
Tanganya Melambai Kini Kepada Dunia
Di Tengah Desing Peluru Dan Puing-puing
Reruntuhan Tembok-tembok Masjid Dan Rumah
Jeritnya Telah Sampai Menembus Lazuardi

Jogja, 22 January 2009 Pukul 23:00Wib

Kumpulan Sajak "Antara Rindu & Dendam"

Rabu, 03 Juni 2009

Selamat ULTAH yg ke 74 Buya

Ku Tulis Puisi Ini Untuk Buya Ahmad Syafi’i Ma’arif

“Antara Sumpur Kudus dan Jogja”

Lima Puluh Enam Tahun Yang Lalu
Kau Tinggalkan Kampung Ini, BUYA
Mengikuti Retak Tanganmu
Ke Yogyakarta

Melewati Berbagai Garis-garis Nasib
Yang Tak Kau Kuasai
Higga Ombak Mendamparkanmu
Ke Tepi

Hari Ini
Aku Datang, di Kota Ini
Disini Jogja, Kota Budaya
Menelusuri Jejak-Jejak Langkahmu
Berharap Ombak Juga Mendamparkanku
Ke Tepi

Yogyakarta, 18 Mai 2009

Selasa, 28 April 2009



26 April 09

“PENGALAMANKU DI RIMBA LISUN”

Pada sekitaran tahun 2004, ketika itu saya baru selesai UNAS tingkat SLTP.Tibalah saatnya liburan, menunggu pengumuman kelulusan.Maka untuk mengisi liburan diajaklah aku oleh kakek untuk mencari ikan kesungai di rimba Lisun. Kakek adalah seorang pensiunan kepala SD. Yang sebelumnya kakek juga sudah sangat sering kesana, ketika dia juga libur dari pekerjaannya.
Rimba Lisun terletak antara perbatasan SUMBAR dengan RIAU. Sebuah rimba yang cukup luas dan juga banyak memiliki potensi alam. Seperti kayu, rotan, dan hasil-hasil hutan lainnya. Rimba ini bisa dibilang masih sangat perawan. Karena sangat jarang sekali dijamah oleh tangan manusia. Selain terletak diperbatasan, dan juga perjalan kesana yang sangat sulit sekali. Kita harus melewati lembah dan bukit bebatuan yang sangat terjal.
Kalau tidak salah, kami pergi kesana jumlahnya tujuh orang. Yaitu aku, kakek, ayahku, dua orang pamanku dan ditambah lagi dua orang yang namanya aku lupa-lupa ingat. Perjalanan kesana menghabiskan 10 jam dengan jalan kaki, melewati lembah dan perbukitan yang terjal. Tapi rasa lelahku terobati, selain pemandangan yang sngat indah disepanjang perjalanan. Dan juga perpaduan antara kicauan burung dan suara-suara fauna lainnya, yang seolah membikin simfoni dan melodi yang unik.
Sebenarnya banyak juga orang kampungku yang pergi kesena untuk mengambil hasil alamnya. Yaitu untuk memenuhi kebutuhan hidup, ketika penghidupan lagi susah. Biasanya mereka pergi ketika selesai bercocok tanam atau selesai panen. Dan juga ketika buah-buahan di hutan lagi musim. Seperti musim durian, nangka hutan, petai dan lain sebagainya. Serta juga hasil hutan lainnya, seperti rotan dan kina.
Tapi sebagian besar umumnya orang kampungku pergi kesana untuk mencari ikan. Dan ikan tersebut dibikin menjadi ikan kering(Ikan Salai Dalam Bahasa Minang). Tradisi ini sudah berjalan turun temurun di kampungku, entah sudah berapa lama. Angku Nalam1 seorang guru pada masa penjajahan belanda. Sudah sangat sering sekali pergi ke rimba ini, untuk mencari ikan dan hasil hutan lainnya. Karena gaji pada waktu itu, tidaklah cukup untuk menutupi kebutuhan hidup keluarganya. Sehingga dia harus mencari tambahan diluar pekerjaannya sebagai seorang guru pada masa itu.
Jadi rimba Lisun bisa dibilang juga tempat mengantungkan hidup bagi sebagian masyarkat, ketika hasil pertanian di dalam kampung tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Demikianlah kerja sebagian orang kampungku, agar dapur rumah mereka bisa terus berasap.
Kalau tidak salah, pernah juga investor dari Malaysia ingin menanamkan modalnya untuk mengelolah rimba Lisun menjadi perkebunan sawit. Tapi kerjasama tersebut tidaklah berlanjut, mungkin dikarenakan satu dua hal. Dan juga kabarnya orang kampungku Sumpur Kudus tidaklah setuju dengan rencana tersebut. Karena mereka tidak dibawa seiya sekata dalam rencana tersebut.
Dan juga kabarnya rimba Lisun adalah rimba yang terluas rimba yang masih alami yang ada di SUMBAR. Dan akhir-akhir ini rimba Lisun juga sudah dicap sebagai salah satu paru-paru Dunia. Kembali kepada cerita saya sebelumnya, selama lima hari disana sungguh banyak pengalaman yang tidak bisa saya lupakan. Salah satunya yaitu memancing.
Tapi yang sangat saya sesalkan yaitu, untuk menangkap ikannya kami menggunakan bahan kimia, sejenis akodan. Sehingga membunuh semua habitat yang ada didalam air, termasuk juga telur-telur ikan. Waktu itu, tidaklah terkumpulkan oleh kami ikan-ikan yang mati oleh zat kimia tersebut. Sehingga ketika kami pulang melewati jalur kehilir sungai tersebut, sungguh banyak ikan yang telah busuk hanyut dibawa arus.
Tentu cara menagkap ikan kami dengan masanya Angku Nalam sungguh sangat jauh berbeda. Pada masanya mungkin masih memakai alat-alat penagkap ikan yang sederhana. Seperti, jala, pancing, bubu dan lain sebagainya. Tentu saja alat-alat penangkap ikan seperti jala tersebut, sangat ramah terhadap lingkungan.
Jadi saya berharap kepada siapapun orang kampungku yang ingin mengambil hasil hutan rimba Lisun. Ambillah dengan cara yang baik dan jangan sampai merusak ekosistem hutan. Kerana yang akan rugi kita juga.
Selain hasil-hasil alam yang saya sebutkan diatas. Ada satu jenis hasil hutan lagi yang membuat saya sangat sedih. Yaitu burung. Yang paling saya sayangkan adalah jenis Murai Batu. Entah sudah berapa ribu ekor burung tersebut ditangkap dari rimba Lisun. Dan dihargai rendah sekali oleh para pembeli yang datang langsung kekampung saya. Akan tetapi sesampai di kota, mereka menjual dengan harga sangat mahal sekali.
Akhir-akhir ini kabarnya burung Murai Batu tersebut sudah sangat jarang dijumpai di rimba Lisun. Bahkan diperkirakan hanya tinggal beberapa puluh ekor saja. Mungkin karena memang perkembangbiakannya yang sangat susah. Lain halnya dengan ikan, karena ikan bisa berkembang biak dengan cepat. Saya khawatir mungkin 10 hingga 20 tahun kedepan burung ini tidak akan bisa lagi kita jumpai.
Dan juga sisi lainnya, menurut cerita yang pernah saya dengar di masyarakat. Rimba ini dulunya pernah juga dihuni oleh manusia. Yaitu dihuni oleh para pelarian perang. Saya tidak tahu persis pada zaman siapa. Itu terbukti banyak orang yang pernah pergi kesana menemukan peninggalan-peninggalan peralatan rumah tangga. Seperti pecahan-pecahan piring dan benda-benda lainnya.
Dan juga disana banyak ditemukan pohon kopi, durian, nenas dan tumbuhan lainnya. Yang diduga adalah bekas kebun orang-orang yang pernah tinggal disana. Tapi kabarnya mereka tidak bertahan lama tinggal disana. Karena ada sejenis makhluk yang mengalahkan mereka. Sehingga mereka pindah mencari tempat penghidupan yang baru.
Yang tak kalah menarik juga adalah dimuara batang Lisun tersebut terdapat tiang-tiang tembok. Bekas penyanggah jembatan kereta api pada masa romusha. Jadi sebenarnya daerah itu dulunya, sudah pernah dijamah oleh manusia.

"Sumpur Kudus"

“SUMPUR KUDUS”
Sumpur Kudus
Bumimu Banyak Menyimpan Sejarah
Mulai dari Raja Ibadat Hingga PDRI-nya
Tapi...Kau Terlupakan
Sekian Abad Lamanya

Sumpur Kudus
Dari Rahimmu Juga Banyak Dilahirkan
Putra-Putra Terbaik Bangsa Ini
Tapi Bumimu Selama Ini
Seolah Tak Terbaca Dalam Peta Bangsa Ini

Kenapa bangsa ini tak mau peduli lagi dengan sejarah bangsa sendiri?
Seolah semuanya telah terkena AMNESIA
Hingga tak bisa menghargai sejarah bangsa sendiri

Sumpur Kudus
Memang hanyalah sebuah sekrup kecil
Diantara sekian banyak tempa2t sejarah
Yang ada di negri Indonesia yang Tercinta Ini

Yang lainnya itu juga tidaklah lebih baik nasibnya dari Sumpur Kudus
Jika tidak bisa dibilang mungkin lebih menggenaskan
Seolah pemerintah tidak mau menghargai barang sedikit jua

Itulah potret bangsa ini
Tak harus kita sesali
Yang berlalu biarlah berlalu

Mari kita menatap jauh kedepan
Agar bangsa ini menjadi bangsa yang mau menghargai sejarah
Sekecil apapun itu
Sehingga menuju Indonesia yg bermartabat dimata Dunia

Yogyakarta, 25 April 2009

Jumat, 17 April 2009

Resume Buku Transpolitika

RESUME BUKU TRANSPOLITIKA
(Dinamika Politik Dalam Dunia Virtualitas)



`

















Nama : AFRINALDI
NIM : 08410261 NPK : 33
Jurusan/Prodi : PAI/F









JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2008





Tanggal / No. Pendaftaran : 02 Desember 2008 / 01
Resume Buku

Tugas Sukarela Mata Kuliah : Pendiddikan Kewarganegaraan
1. Judul Buku : TRANSPOLITIKA Dinamika Politik di dalam Virtualisasi
2. Tahun : 2006
3. Penulis : YASRAF A. PILIANG
4. Penerbit : JALASUTRA
5. Alamat Penerbit : Jl. Mangunnegaran Kidul No.25
6. E-Mail : redaksi@jalasutra.com
7. Jumlah Halaman : 476 halaman, 3 bab.
8. Cetakan : Ke II
9. Cetakan I Tahun : 2005
10. No. ISBN : 979-3684-06-2














PENGANTAR

Politik selalu memperlihatkan wajahnya yang ganda; wajah arif bijaksana sekaligus licik; wajah luhur sekaligus busuk; wajah jujur,sekaligus penuhpu daya; wajah humanis sekaligus antihumanis; wajah moralis sekaligus amoralis.Politik kerap tampil dengan wajah sangat kelam, ketika ia dibangun oleh aktor-aktor politik yang penuh akal busuk, pikiran kotor, rencana jahat,, skenario menakutkan, sifat rakus, dan hasrat tak terbendung-inilah politicum horrobilis.Akan tetapi politik juga bisa tampil dengan wajah mencerahkan, ketika ia dibangun oleh aktor-aktor yang penuh pengabdian, keluhuran cita, kesucian cita, kerendahan hati, dan kesederhanaan hidup-inilah politicum hcrois.
Jadi dalam buku ini kita akan menemukan lukisan politik didalam sebuah dunia yang kehilangan batas-batasnya, yang disebut didalam buku ini sebagai dunia transpolitika ( transpolitics). Selain itu, meskipun banyak berbicara tentang berbagai fenomena politik, buku ini sesungguhnya bukanlah buku tentang ilmu politik, yang tentunya merupakan disiplin dengan epistemologi dan metode yang khusus. Buku ini lebih merupakan upaya untuk menafsirkan fenomena-fenomena budaya politik—terutama aktor-aktor politik—dengan menggunakan pendekatan cultur studies, dan untuk bagian-bagian tertentu menggunakan metode semiotika dan fenomenologi-hermeneutik.













BAB I
( Halaman 73 s/d 148 )

PARANOIA POLITIK
A. Horror-culture:
Politik, Kebudayaan dan Kekerasan
“ Kegilaan telah memenjarakan manusia dalam sifat kebinatangan
…mengembara melampaui setiap fantasi; kekerasan, bercak
darah, kematian.”
Julia Kristeva
SEJARAH DUNIA adalah sejarah yang dipenuhi oleh berbagai tontonan kekerasan, kebrutalan, penjarahan, tawuran, penyiksaan, kekejaman, mutilasi, sadisme, genocide, homicide, penculikan, penghilangan paksa, yang telah menciptakan iklim ketakutan, horor, dan trauma pada tingkat psikis, derita sosial, dan rasa tidak aman pada tingkat sosial dan ketidakamanan ontologis pada tingkat eksistensial.
Ontologi Horor dan Ketidakamanan Ontologis
Kekerasan dan horor, selain dari persoalan sosial-politik, adalah juga persoalan eksistensial atau keber-ada-an.
Horor Kematian dan Kegilaan
Citra kejayaan, keadidayaan, superioritas suku, agama, ras menuntut adanya mekanisme kekerasan. Horor adalah lukisan dan citra dunia, yang didalamnya manusia menerima eksistensinya sebagai suatu perjalanan didalam berbagai ancaman kekerasan menuju kematian.
Horosofi dan Simulasi Kekerasan
Kekerasan dan horor yang beroperasi diatas tubuh bangsa ini tidak dapat dilepaskan dari peran para parancang kekerasan yang bisa berupa individu, kelompok, atau negara. Simulakrum kekerasan adalah kekerasan yang dikontruksi secara sosial sebagai drama, yang didalamnya para pelaku kekerasan adalah aktor-aktor yang tindak kekerasan berdasarkan peran mareka masing-masing berdasarkan sebuah narasi, tema, dan skenario tertentu.
Kekerasan Simbol dan Creative Destruction
Kekerasan pada hakikatnya adalah sebuah ironi, sebuah absurditas. Di satu pihak, berbagai peristiwa kejahatan dikatakan sebagai kejahatan dan kekerasan, disebabkan didalamnya terdapat unsur pemaksaan terhadap orang lain; atau pelanggaran atas hak azasi manusia lain. Akan tetapi, di pihak lain, berbagai peristiwa kekerasan itu pada kenyataanya bersifat kreatif, disebabkan di dalamnya diperlukan kebaruan, inovasi, kelihaian, informasi, pengetahuan, kecerdikan, dan kecerdasan. Akan tetapi, kreativitas itu ditunjukan untuk kejahatan dan penghancuran—destructive creativiti.
Horosofi dan Masa Depan Budaya Bangsa
Potret bangsa kita masa kini (world picture),adalah sebuah potret bangsa yang dipenuhi oleh citra-citra kekerasan, baik pada tingkat realitas, maupun pada tingkat ontologi citraan (media).

B. Politicum Horribilis:
Politik Horor dan Kekerasan Massa
“ Setiap orang menemukan dirinya dalam kesendirian menjelang
kematian, disebabkan kematian kini tak lebih dari…nilai tukar.”
Jean Baudrillard
TATANAN MORAL bangsa akhir-akhir ini tengah diuji oleh berbagai gelombang peristiwa kejahatan, kekerasan, dan sebagainya yang seakan-akan tiada akhirnya. Pemahaman tentang makna kekerasan tentunya memerlukan upaya intertprestasi yang lebih guna membentangkan hakikat dan makna yang dalam. Begitu masif dan luas tindak kekerasan yang terjadi, memerlukan kajian empiris dan objektif. Meskipun demikian, berbagai peristiwa kekerasan tersebut dapat pula dipahami dengan membentangkan berbagai kemungkinan interprestasi terhadap kekerasan itu sendiri.
Kekuatan-kekuatan Horor
Ekstasi Kekerasan
Kekerasann dan Kegilaan
Kekerasan dan Hipermoralitas
Sebuah Teater Hiperkriminalitas
Paul Hare, didalam Social Interaction as Drama, melihat interaksi sosial—termsuk tindak kejahatan didalamnya—sebagai sebuah pertunjukan drama.
Kekerasan dan Masa Depan Bangsa

C. Kekuasaan Dan Kekerasan:
Politik dan Kekuatan Horor
“ Permainan tanda menentukan tempat berlabuhnya kekuasaan.”
Michel Foucault
BILA KEKUASAAN secara sederhana didefinisikan sebagai kepemilikan kontrol atau kemampuan mengontrol. Kekuasaan memang sebuah istilah yang mempunyai pengertian yang jamak, digunakan oleh berbagai cabang pengetahuan (kekuasaan politik, ekonomi, media, dan sebagainya) serta dibicarakan dari berbagi sudut pandang. Meskipun berbeda pengertian, disiplin, serta sudut pandang dalam melihat kekuasaan, suatu prinsip umum yang terdapat dalam kekuasaan adalah bahwa kekuasaan cendrung untuk dipertahankan oleh orang yang memilikinya.

Kekuasaan Menciptakan Subjek
Kekuasaan dan Posmodernisme
Apa yang ditawarkan posmodernisme sebaliknya adalah pluralisme dan heterogenitas kekuasaan.
Kekuasaan dan Kekerasan
Masih Hidupkah Kekuasaan Feodalistik?
Sebagai suatu ideologi, feodalisme telah hidup dalam waktu yang cukup lama. Akan tetapi, didalam perkembangannya di beberapa kurun waktu, tempat, dan kebudayaan yang berbeda, ia mendapatkan nuansa-nuansa yang juga berbeda.
Bisa Hidupkah Masyarakat Madani


D. Symbolicum Horribilis:
Bahasa, Politik, dan Kekerasan
KRISIS MULTIDIMENSI yang melanda tubuh bangsa ini sejak 1997 hingga kini, tidak saja telah menimbulkan berbagai kehancuran pada sistem fisik (infrastruktur ekonomi, industri, sosial politik), akan tetapi juga pada sistem simbolik. Horrography (horor = menakutkan + graphia = ilmu), yaitu ilmu atau strategi dalam memproduksi citra-citra horor, sehingga menimbulkan efek-efek ketakutan didalam masyarakat, khususnya tentang keindonesiaan atau keislaman pada umumnya.

Kekuatan Horor dan kekutaan Simbolik
Luka-luka Simbolik
Symbolicum Horribilis
Ketakutan, kehancuran, dan kematian—yang dipertontonkan lewat aksi terorisme—kini menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari proses pertukaran politik, yang di dalamnya tubuh-tubuh yang luka, hancur, terbakar, tercabik, tak berbentuk, dan tak bernyawa; jiwa-jiwa yang ketakutan, histeris, dan trauma ditukarkan dengan keuntungan politik, hasrat politik, atau kehendak berkuasa yang diperoleh oleh pihak-pihak tertentu.
Politik Imagologi
Bila berbagai tragedi teror dimanfaatkan oleh Amerika Serikat dalam kerangka geopolitik dan politik informasinya, maka tampaknya serjarah dunia akan berulang kembali, yaitu sejarah penggunaan politik imagologi berupa rekayasa citra global dalam rangka menciptakan lukisan terorisme global yang sesuai dengan kepentingannya, yang di dalamnya berlangsung penggunaan tanda palsu, tanda menipu, dan tanda artifisial.

E. Kreativitas Destruktif:
Anak Bangsa Dalam Politik Kekerasan
“ Kepedihan menggiring kita pada sebuah alam rasa yang enigmatik:
duka, takut, atau riang gembira”.
Julia Kristev
BUDAYA BANGSA kita—khususnya dunia budaya anak-anak—akhir –akhir ini disarati oleh hutan rimba penghancuran diri sendiri. Anak-anak kalau tidak menjadi bagian dari proses penghancuran diri itu sendiri itu setidak-tidaknya menjadi penonton yang tak berdosa dari teater horor yang menggerikan. Anak-anak kita hidup didalam sebuah dunia yang dikelilingi oleh berbagai bentuk suguhsn tontonan realitas kekerasan (kerusuhan, pembantaian, penculikan, pembakaran,dan sebagainya) serta citra-citra kekerasan (televisi, video, video game, komik, majalah, mainan) yang sarat dengan muatan-muatan kreativitas yang destruktif.
Konstruksi Sosial Realitas dan Dunia Anak-anak
Anak Bangsa di Atas Panggung Horor
Kekerasan Simbol Dalam Dunia Anak-anak
Anak Bangsa Dikekerasan Digital
Dialogisme dan Masa Depan Kreativitas Anak Bangsa



BAB II
( Halaman 155 s/d 243)
IMORALITAS POLITIK
1.Nomadisme Politik dan Imoralitas Politik:
Dari Absurditas Hingga Skizofrenia
Nomad…berpindah dari satu titik ke titik lainnya…. Hidup nomad adalah
di dunia antara.
Gilles Deleuze & Felix Guattari
MENJELANG PEMILIHAN umum, berbagai partai politik dan aktor politiknya telah mulai menggelar berbagai langkah, manuver, dan strategiu politik dalam rangka meraih kemenangan politik. Akan tetapi, berbagai langkah, manuver, dan strategi politik itu—disebabkan kelemahan stuktural masyarakat politik kita—telah menciptakan berbagai ekses demokratisasi sebagai akibat dari penerapaan demokrasi diatas kekaburan fondasi dan ketidaktahuan tentang makna demokrasi itu sendiri.
Nomadsisme Politik
Nomadisme politik adalah sebuah kecendrungan perpindahan
terus-menerus di dalam politik, baik pada tingkat individu, kelompok, dan masyarakat; baik pada tingkat diri, personalitas, identitas, subjek, keyakinan, dan ideologis.
Nomadisme dan Skizofrenia politik
Nomadisme pada tingkat sosial-politik tidak dapat dipisahkan dari apa yang disebut sebagai skizofrenia pada tingkat psikis yang selama ini cendrung dilihat sebagai kelainan, abnormalitas, dan penyakit psikis. Skizofrenia, dalam hal ini, adalah pondasi psikis dari nomadisme, semacam mesin penggerak nomadisme pada tingkat kesadaran dan bawah sadar, khusussnya mesin penggerak hasrat didalam politik.
Geopolitik dan Kronopolitik
Nomadisme politik adalah kecendrungan politik ruang ketimbang politik waktu. Paul Virilio di dalam Lost Dimension membedakan antara prinsip geopolitik dan kronopolitik, yaitu antara poitik pergantian ruang dan politik merebut waktu.
Nomadisme dan Ironi Politik
Ironi politik sebagai suatu kondisi ketika didalam ruang-ruang politik hadir berbagai bentuk kontradiksi, pertentangan, disparitas, inkonsistensi, inkompatibilitas, dan paradoks—yang meskipun demikian diterima sebagai bagian politik –yang menciptakan berbagai bentuk absurditas politik.
Politik di Dalam Era Posmetafisika
Politik posmetafisika yaitu wacana politik yang telah kehilangan fondasi transendentalnya dan menjelma menjadi wajah politik yang bersifat imanen, yang diatasnya setiap aktor politik melakukan berbagai bentuk permainan politik yang bersifat permukaan, dangkal, absurd, dan ironis.

2. Parodi Politik:
Ada sebuah Negeri, Hobi Warganya Kolusi

Ada seorang raja,
Hobinya jadi presiden
Acep Zamzam Noor
ADA MASA ketika kenyataan hidup—tragedi, komedi, eufria, kepalsuan, kebusukan, kekerasan—tidak bisa lagi ditanggungkan oleh seorang penyair. Ada masanya ketika penyair dituntut untuk berkomunikasi dan berdialog dengan masyarakat di dalam sebuah wacana saling pemahaman. Penyair tidak dapat lagi melakukan monolog, yaitu bergumam untuk dirinya senduri tanpa peduli dengan pemahan masyarakat, tanpa berempati dengan masyarakat , tanpa verstehen.

3. Kekuasaan Simbol:
Bahasa, Politik, Nasionalisme
“Ideologi mempresentasikan relasi imajiner individu-individu dengann
kondisi eksistensinya yang nyata”.
Lois Althusser
PERBINCANGAN MENGENNAI bahasa tidak dapat dipisahkan dari kesalingberkaitannya dengan pengetahuan yang melandasi serta bentuk-bentuk kekusaan yang beroperasi dibaliknya. Artinya, perbincangan mengenai bahasa tidak dapat dipisahkan dari ideologi yang beroperasi dibaliknya, yang mempengaruhi wilayah penggunaan, teritorial, gaya, ungkapan, pilihan kata, dan kosa kata yang digunakan serta pengetahuan (kebenaran, realitas) yang diungkapkan atau disembunyikan oleh bahasa tersebut.
Bahasa dan Hegemoni
Bahasa pada kenyataanya tidak dapat dipisahkan dari ajang perebutan hegemoni. Istilah hegemoni (Yunani egemonia) dalam pengertian tradisional diartikan sebagai sistem kekuasaan atau dominasi politik.
Bahasa dan Kekerasan Simbol
Istelah kekerasan simbol dipopulerkan pertama kali oleh Pierre Bourdieu didalam beberapa karyanya. Kekerasan simbol, menurut Bourdieu, adalah sebuah bentuk kekerasan yang halus dan tak nampak yang menyembunyikan dibaliknya pemaksaan dominasi.
Bahasa, Hegemoni, dan Nasionalisme
Persoalan muncul ketika apa yang disampaikan (dunia representasi) dikaitkan dikaitkan dengan kenyataan sosial (dunia nyata). Ada berbagai mekanisme perumusan realitas dalam bahasa:
Pertama, mekanisme oposisi biner, yaiyu dimana kelompok sosial tertentu mengidentifikasikan dirinya sebagai kelompok simbolik kelas pertama (baik, benar, unggul), dan kelompok lawan pada kategori kedua (buruk, salah, jahat). Mekanisme oposisi biner biasanya digunakan oleh sebuah sistem kekuasaan dalam rangka mempertahankan kekuasaan, seperti pada sistem oposisi biner Orde Baru berikut:
Rezim Penguasa : General Others
Pancasila : Anti Pancasila
Pembangunan : Anti Pembangunan
Nasionalisme : Anti Nasionalisme
Persatuan : Anti Persatuan
Demokrasi : Sisa Komunisme
Komponen Bangsa : Organisasi Tanpa Bentuk
Pembela Bansa : Kelompok Subversif
Modern : Islam Fundamentalis
Penjaga Keamanan : Pengacau Keamanan
Kedua, mekanisme sentralisasi bahasa.
Ketiga, monologi bahasa.
Keempat, penyagaraman bahasa.
Kelima, tafsiran monosemi.

Bahasa, Otonomi, dan Pluralisme Budaya
Kesimpulan
Mempelajari secara komprehensif muatan ideologis dibalik bahasa, tidak dapat dilakukan lewat analisis wacana pada bahasa itu. Muatan ideologis pada bahasa sebaliknya, harus diungkapkan di dalam konteks wacana pertentangan ideologis yang lebih luas diantara berbagai kelompok ideologi yang berlangsung lewat berbagai mekanisme, khususnya mekanisme hegemoni.
4. Media dan Depolitisasi
Kebenaran dalam Kegalauan Informasi
“ Kebenaran tidak ditemukan, akan tetapi dibuat di pabrik”.
Dennis McCallum
MEDIA TIDAK bisa dipisahkan dari kepentingan yang ada dibalik media tersebu, khususnya kepentingan terhadap informasiyang disampaikannya. Di dalam perkembangan media mutakhir, setidak-tidaknya ada kepentinganutama dibalik media, yaitu kepentingan ekonomi dan kepentingan kekuasaan , yang membentuk isi media, informasi yang disajikan, dan makna yang ditawarkannya. Diantara dua kepentingan utama tersebut, ada kepentingan lebih mendasar justru terabaikan, yaitu kepentingan publik. Media yang seharusnya berperan sebagai ruang publik, disebabkan oleh kepentingan-kepentingan di atas, justru mengabaikan kepentingan publik itu sendiri.
Hegemoni politik atau media
Istilah hegewmoni berasal dari bahasa Yunani egemonia yang berarti penguasa atau pemimpin.
Media dan politik informasi
Persoalan ideologis pada media muncul ketika apa yang disampaikan media (dunia representasi), tatkala dikaitkan dengan kenyataan sosial (dunia nyata).
Hiperealitas media dan komunikasi
Istilah hiperealitas media digunakan oleh Jean Baudrillard untuk menjelaskan perekayasaan 9dalam pengertian distorsi) makna didalam media.
Konsekuensi Kultural Hiperealitas Media
Hiperealitas dan dehiperealitas media
Ideologis media, kekerasan simbolik, dan hiperealitas media yang mewarnai perkembangan media kontemporer, telah menciptakan berbagai problematika sosio-kultural menyangkut objektivitas media, fungsi komunikasi, kredebilitas informasi, dan kepastian makna.
Kekuasaan dan Media:
Politik dan Kekerasan Simbolik
“ kekuatan simbol tak lain dari kekuatan dalam mengontruksi realitas.”
Pierre Bourdieu
MEDIA ADALAH sebuah discourse, yang didalamnya terdapar relasi-relasi yang tidak dapat dipisahkan antara bahasa yang digunakan, pengetahuan yang melandasi, serta bentuk-bentuk kekuasaan yang beroperasi dibaliknya. Media adalah semacam rumah ideologi, yang didalamnya beroperasi ideologi tertentu yang membentuk dan menentukan arahn perekembangan media itu sendiri, menentukan bahasa (gaya, ungkapan, kosakata) yang digunakan, serta pengetahuan (kebenaran, realitas) yang diproduksinya.
Media dan kekerasan simbol
Kekerasan simbol menurut Bordieu, adalah”…bentuk kekerasan yang halus dan tak tampak yang menyembunyikan dibaliknya pemaksaan dominasi.
Media dan kekerasan semiotik
Mekanisme kekerasan media
Masa depan kekerasan media

BAB III
(Halaman 247 s/d 379)
GENEALOGI POLITIK
Minimalisme Ruang Public:
Budaya Publik di dalam Abad Informasi
“Diri minimal…adalah diri yang berada dalam ketidakpastian garis hidup,
apakah akan melukis dunia dengan citra dirinya sendiri atau larut ke dalam lingkungannya dengan penuh bahagia.”
Cristopher Lasch
BILA RUANG publik dijelaskan melalui metafora wadah, maka wadah tersebut dapat dikatakan mempunyai kualitas kepublikan sejauh ia dapat menampung di dalamn dirinya berbagai entitas (kelompok, komunitas, persatuan, kumpulan) dengan aneka ragam kepentingannya. Ruang publik, dalam hal ini, mempunyai tingkatan-tingkatan kepublikan , yang sangat ditentukan oleh besaran daya tampungnya terhadap aneka ragam bentuk dan kepentingan publik tersebut. Semakin besar daya serapnya dan semakin seragam yang diserapnya, semakin buruk kualitas kepublikan ruang tersebut.
1. Kekuasaan dan Ruang Publik
2. Ruang Publik dan Budaya Publik
3. Minimalisme Ruang Publik
4. Masa Depan Ruang Publik

B. Politik dan Pengetahuan:
Pendidikan di dalam Era Kapitalisme Global
“Adalah hasrat kekayaan, bukan hasrat pengetahuan, yang mendorong kebutuhan peningkatan kekampuan teknologi dan realisasi produknya.”
Jean Francois Lyotard

SEJARAH PENDIDDIKAN tinggi nasional, sejak era Orde Baru—dan mungkin hingga kini—tidak terlepas dari kondisi bertautnya relasi pendidikan dengan realisasi kekuasaan. Pendidikan tinggi dijadikan sebagai sebuah sarana untuk mencari, merebut, mempertahankan kekuasaan. Pendidikan tinggi manjadi sebuah alat kekuasaan. Di dalam kondisi yang demikian, pendiddikan yang sebetulnya bersifat netral, tidak memihak, dilandasi oleh prinsip objektivitas yang tinggi, kini dimuati dengan muatan-muatan ideologis yang bersifat memihak serta dilandasi oleh prinsip subjektivitas. Objektivitas yang merupakan nilai dasar dari sebuah sistem pendidikan tinggi, kini diambil alih oleh nilai-nilai subjektivitas sebagai manisfetasi keberpihakan pada sistem kekuasaan. Pendidikan tinggi sebagai sebuah wacana mencari kebenaran, kini dijadikan sebagai wacana pembenaran sebuah sistem kekuasaan.
Pendidikan Tinggi dan Industrialisasi Pikiran
Pendididkan Tinggi Sebagai Institusi Total
Pendidikan Tinggi Sebagai Panopticon
Pendidikan Tunggi dan Kekerasan Simbol
Sistem Pendidikan Nasional
Pendididkan Tinggi di Masa Depan

C. Genealogi dan Politik:
Masa Depan Imajinasi Bangsa
“Setiap masyarakat…memiliki politik kebenaran sendiri, yaitu semacam wacana yang diterima dan difungsikan sebagai yang benar.”
Michel Foucault
KRISIS MULTIDIMENSI, berbagai konflik dan bencana (alam, manusia) yang melanda bangsa secara berkepanjangan, ternyata tidak mampu menggerakan mesin-mesin perubahan diatas tubuh bangsa ini menuju pada kondisi yang lebih baik. Kesadaran dan energi bangsa justru habis terkuras untuk berbagai aktifitas politik harian yang melelahkan sebagai efek dari krisis, konflik, dan bencana, sehinga tidak punya lagi energi untuk menyusun masa depan bangsa, berupa sebuah masyarakat yang diimajinasikan di masa depan..
Genealogi dan Politik
Menyingkap Kamar Gelap Epistemologi
Indonesia dalam Imajinasi Orientalis
Genealogi Politik Indonesia
Kritik Genealogis Atas Genealogi
Horizon Genealogi Politik

D. Dialog Multikultural:
Otonomi dan Komunikasi Antarbudaya
“Hidup itu bersifat dialogis. Menjalani hidup berarti terlibat di dalam dialog,
bertanya mendengar, menjawab, menyetujui….”
Mikhail Bakhtin
BERBAGAI KONFLIK horizontal yang mewarnai kehidupan sosial-politik di Indonesia pada dekade terakhir ini, telah menimbulkan korban yang banyak dan kerusakan yang besar. Ada berbagai faktor penyebab konflik sosial tersebut, antara lain faktor ekonomi, kesenjangan sosial, politik, budaya, dan komunikasi, yang secara bersama-sama menutup pintu bagi penyelesaiannya. Faktor komunikasi, khususnya komunikasiantar budaya, adalah salah satu faktor penting yang menyebabkan berkelanjutannya sebagai konflik diantara pihak-pihak yang bertikai. Berdasarkan teori komunikasi antarbudaya, berbagai konflik sosial yang berkepanjangan dapat dilihat sebagai akibat dari tidak berjalannya dengan baik komunikasi antar berbagai budaya yang plural di Indonesia, sehingga sering menimbulkan berbagai bentuk kesalahpengertian, kesalahpengliatan, dan kesalahpenilaian.
Kesalahpahaman Antarbudaya
Pentingnya Dialog Kultural
Dialogisme dan Komunikasi Antarbudaya
Otonomi dan Komunikasi Antarbudaya
Komunikasi dan Heteromoni
Otonomi Dialogis

E. Demokrasi Dialogis:
Komunikasi Politik di dalam Era Informasi
“Tanpa kehadiran sang lain diri kita hanya tak terlihat oleh kita tetapi juga tak dapat dipahami dan dimanfaatkan.”
Mikhail Bakhtin
PERBINCANGAN MENGENAI masa depan dalam konteks sosial, politik, dan kebudayaan bukanlah perbincangan mengenai sebuah kepasatian, akan tetapi sebuah pilihan; bukan sebuah peramalan, melainkan sebuah penyusunan skenario; bukan sebuah perkembangaan yang linier, melainkan perkembangan sirkuler atau spiral; bukan sesuatu yang berdiri sendiri pada masanya (partial), melainkan sebuah jaringan kompleks hubungan total dengan masa lalu dan masa kini. Dengan perkataan lain, ada kompleksitas tertentu dalam upaya melihat masa depan sosial, politik, dan kebudayaan.
Wacana Komunikasi yang Demokratis
Fase Dekonstruksi Struktur Komunikasi Otoriter
Fase Turbulensi dan Chaos Komunikasi
Fase Terobosan Paradigma Komunikasi

F. Politik Neopluralisme:
Belajar Dari Pluralitas Kecil
“Umat manusia tidak lagi menjadi hamba dari Nalar…tetapi sebagai pencipta Dirinya sendiri”
Alain Touraine
BADAI KRISIS multidimensi, konflik, dan bencana yang melanda tubuh bangsa ini sejak satu dekade terakhir hingga kini belum juga mereda. Berbagai persoalan bangsa justru semakin menumpuk, sementara upaya-upaya penyelesaiannya belum menampakan hasil. Ketika berbagai persoalan konflik, korupsi, terorisme, ekonomi belum dapat dicarikan penyelesaiaanya, berbagai persoalan baru muncul, seperti persoalan sistem pendidikan nasional, penyelundupan barang dan manusia, pencurian hasil laut dan hutan, berbagai bencana alam termasuk bencana gempa bumi dan tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) yang merenggut lebih dari seratus ribu nyawa dan kerugian harta benda yang luar biasa.
Kepak sayap kupu-kupu Lokal
Pluralitas kecil adalah sebuah pengertian yang merujuk pada segmentasi geografi atau teritorialitas, yang didalamnya ada spektrum teritorial, dari yang paling kecil sampai yang paling besar.
Pluralitas dan Pseudo-pluralism
Meskipun pluralitas sudah menjadi realitas historis masyarakat-bangsa ini, akan tetapi konsep pluralisme itu sendiri masih tampak samar-samar dan sering kali disamakan (disalah artikan) dengan konsep-konsep lain, khususnya dengan konsep relativisme, yang meskipun saling berkaitan akan tetapi berbeda secara esensial.
“Neo-pluralism” dalam Pluralitas Kecil Kita
Ketika bangsa ini masih berkutat dalam menyelesaikan apa yang dapat disebut pluralitas konvensional, berbagai pluralitas baru telah hadir dan menjadi bagian dari problematika keseharian masyarakat bangsa kita, yang semakit meningkatkan kompleksitas persoalan yang dihadapi bangsa ini.
Menumbuhkan Sikap Pluralisme Baru

G. Politik Heteronomi:
Pemikiran Ulang Tentang Konsep Otonomi
“Sang asing itu ada di dalam diriku, karenanya kita semua adalah sang asing itu”
Julia Kristeva
PEMBERLAKUAN UNDANG-undang (UU) No. 22/1999 tentang otonomi daerah, telah membuka jalan bagi daerah-daerah untuk mengatur dirinya sendiri dalam bidang-bidang tertentu, seperti sosial, ekonomi, kebudayaan, yang selama ini diatur oleh pusat. Selain itu, semangat otonomi telah menguatkan pula sentimen-sentimen kedaerahan, kesukuan, atau etnisitas, yang diantaranya terlihat dari pembentukan propinsi-propinsi baru, seperti Propinsi Banten, Bangka Belitung, Gorontolo, dll.
Otonomi dan Diskontinutas Kultural
Anatomi dan Ekses-ekses Otonomi
Cara Berpikir Heteronomi

H. Politik Perubahan:
Undang-undang dan Perubahan Budaya
“Setiap bidang kebudayaan merupakan bagian dari upaya yang sama untuk menjadikan hidup lebih baik.”
Richard Rorty
DALAM KAITANNYA dengan perubahan yang berlangsung pada sebuah masyarakat, kebudayaan tidak saja dapat dipandang sebagai aspek perubahan, akan tetapi ia juga dapat dilihat sebagai sebuah pendekatan di dalam proses perubahan itu sendiri. Dalam hal ini, perubahan dapat dikaji melalui perspektif pendekatan budaya. Pendekatan budaya adalah sebuah pendekatan yang bersifat holistik dan integral, yang melihat manusia, masyarakat, objek ciptaan, pengetahuan, dan lingkungannya sebagai sebuah totalitas yang tidak dapat dilepaskan dari sistem dan tata nilai budaya yang mengikatnya. Sebagai sebuah totalitas, kebudayaan melingkupi berbagai sistem nilai didalam kehidupan sosial, ekonomi, politik, hukum; berbagai sistem ideologi, kepercayaan, religi, pengetahuan, bahasa, dan kesenian.
Relasi dan Komunikasi Antarbudaya
Demokrasi Dialogisme
Tantangan Demokrasi dan Dialogisme
Hukum dan Ekspresi Budaya
Demokrasi dan Otoritas Budaya
Relasi, Ekspresi, dan Otoritas Budaya
Pengaturan Relasi Antarbudaya
Pengaturan Ekspresi Budaya
Pengaturan Otoritas Budaya
Undang-undang Pendekatan Budaya


Epilog
Minimalisme Politik: Humanisasi Politik di dalam Era Virtualitas
DUNIA POLITIK menampilkan dirinya dalam berbagai wujud penampakan: kebenaran, kepalsuan, kedalaman; kejujuran, absurditas, esensi, ironi. Diperlukan Metafora untuk memahami makna berbagai penampakan politik yang saling bertentangan itu secara mendalam. Dalam hal ini, kita dapat membentangkan makna politik itu melalui metafora cahaya. Cahaya adalah sesuatu yang memberikan penerangan , semacam pelita yang melaluinya manusia mendapatkan pencerahan. Cahaya adalah sumber penerangan dalam kegelapan, meskipun efek penerangan itu sangat bergantung pada intensitasnya. Cahaya dengan intensitas rendah membuat orang tidak bisa melihat (visionless), akan tetapi cahaya dengan intensitas terlalu tinggi dapat membuat orang menjadi buta. Iluminasi atau pencerahan (insight) hanya dapat diperoleh dalam intensitas cahaya yang tepat, dan sebaliknya kebutaan (politik) dapat diakibatkan oleh kelebihan intensitas cahaya.
Imagologi Politik
Dunia politik tidak hanya dihuni oleh para pencinta kebenaran, akan tetapi juga oleh para pencinta kepalsuan dan penampakan luar.
Politik Abad Cahaya
Teknologi informasi dimasa depan akan mengalami perkembangan yang sangat pesat, yang didalam nya peran cahaya sangat penting sebagai pembentuk informasi.
Wacana Seduksi Politik
Di dalam era virtualitas, yang di dalamnya teknologi pencitraan membuka luas berbagai kemungkinan manipulasi dan permainan citra, rayuan, bujukan, godaan, janji, iming-iming, permainan penampakan (seduction) menjadi pilihan utama strategi komunikasi politik di dalam kondisi ketidakmungkinan untuk membangun sebuah situasi komunikasi yang rasional, sebagaimana yang dibayangkan oleh Habermas.
Politik Tanpa Subjek
Perbincangan politik, disebabkan melibatkan secara esensial berbagai aktor di dalamnya, tidak dapat dipisahkan dari perbincangan tentang manusia politik sebagai subjek, sebuah konsep abstrak tentang relasi psikis-linguistik diri manusia (politik) dengan dunianya.
Politik Tanpa Identitas?
Politik identitas adalah persoalan yang sangat problematik dalam konteks perkembangan politik kontemporer, yaitu ketika kita berbicara mengenai identitas politik.
Politik yang Menipu: Fatamorgana
Bila dunia politik di Abad cahaya telah terperangkap di dalam dunia penampakan layar (screen world), maka dalamnya pencerahan politik diambil alih oleh pencerahan palsu dan wujud citra.
Politik yang Menakutkan: Demonologi
Ada sebuah ironi genealogis tentang iblis dan cahaya. Iblis yang mengklaim dirinya berasal dari cahaya, karena sifat takaburnya, justru kehilangan kekuatan cahaya itu sendiri, yaitu kekuatan dalam mencerahkan, menerangkan, dan memberi iluminasi.
Politik yang Berpindah-pindah: Nomadologi
Persoalan lain politik kontemporer adalah persoalan konsistensi, yang diperlukan oleh aktor-aktor mauppun institusi politik sebagai mekanisme untuk menjaga agar ideologi dapat direproduksi di dalam kehidupan politik harian.
Politik yang Tumpang-tindih: Mutanologi
Politik kontemporer juga dibangun oleh kecenderungan ke arah apa yang disebut mutan dan mutanologi. Dalam terminologi biologi, mutan adalah organisme yang mengalami mutasi gen, yaitu perubahan pada struktur dan jumlah kromosom, sehingga menghasilkan wujud biologis baru.
Politik yang Berlari Kencang: Dromologi
Salah satu karakter utama abad informasi adalah perubahan irama dan tempo kehidupan (informasi, sosial, politik, dan kultural) kearah yang semakin cepat.
Pencerahan atau Iluminasi Politik?
Masih adakah cahaya terang dan pencerahan politik di masa depan, di dalam dunia yang semakin disarati oleh berbagai bentuk fatamorgana, nomad, demon, mutan, dan hantu kecepatan; berbagai manipulasi, rekayasa, dan simulasi realitas; berbagai pendangkalan, komodifikasi, dan banalitas; berbagai virtualisasi, manipulasi, dan simulasi; dan berbagai mitologisasi dan mistifikasi? Bagaimana mungkin menciptakan ruang publik demokratis, yang terbuka dan dilandasi oleh kejujuran, kepercayaan, dan kebenaran, di dalam masyarakat yang dibangun oleh berbagai teknologi pemalsuan, perekayasaan, dan pendistorian dewasa ini.


PENUTUP
Buku ini menjelaskan (mengibaratkan) sebuah politik dibawa kedalam dunia seni era virtualitas (khayalan), dimana kita diajak menyusuri (membayangkan) sebuah politik tanpa ruang, melainkan ruang digital politik. Menurut saya buku ini juga menjelaskan era politik pada zaman sekarang yang hanya merupakan sebagai simbol, dimana politik hanya dijadikan sebagai sebuah ajang atau permainan, layaknya seperti permainan di dunia maya.
Dimana para pelaku politik bagai dua mata sisi uang, pada suatu saat bisa menjadi baik dan dipuja, dan pada suatu ketika bisa menjadi sebaliknya, menjadi jahat dan dicela. Itulah dunia politik, yang sebagian orang mengatakan kalau politik itu kejam. Dan juga di dalam buku ini penulisnya Yasraf A. Piliang mencoba menyajikan kepada pembaca, bagaimana politik itu dibawa kedalam dunia seni, yang lebih spesifiknya kedalam era virtualitas, dimana politik dipandang didalam dunia yang tanpa sekat dan di dalam era transparansi, yang diciptakan oleh abad informasi dan globalisasi, sesuai dengan disiplin ilmu yang dimilikinya.