Entri Populer

Rabu, 15 September 2010

Selasa, 14 September 2010 pukul 08:06:00
Selepas Lebaran

Oleh Ahmad Syafii Maarif

1 Syawal 1431 baru saja kita tinggalkan, suasana hari raya masih sangat dirasakan. Pemudik sedang bergerak secara bergelombang, kita tidak tahu berapa orang lagi yang sedang dan akan berhadapan dengan maut.

Apa yang disebut arus mudik boleh jadi hanya terdapat di Indonesia, sebuah gejala sosiologis yang pasti menyita perhatian publik saban tahun. Bagi kampung-kampung yang didatangi situasi akan menjadi sangat meriah, sekalipun hanya berlangsung sebentar, untuk kemudian para pemudik itu menghilang lagi. Ada yang menyewa kendaraan roda dua, roda empat yang serbabaru selama beberapa hari. Bahkan, ada yang melakukan transaksi kredit kendaraan baru, jika tak terbayar, dipulangkan kepada dealer, uang muka dianggap sebagai sewa.

Saking membanjirnya kendaraan impor ke Indonesia, dengan hanya berbekal sedikit modal, pemudik datang dengan kendaraan serbamulus akan menjadi "raja" selama beberapa hari di kampung, hilir mudik sepanjang jalan. Bersiul sambil melambaikan tangan. Di antara mereka ada yang benar-benar untuk melepas rindu pada teman-teman yang tidak merantau, tetapi tidak jarang pula untuk pamer kepada kampung sebagai orang yang berhasil di rantau, jauh atau dekat. Media massa sangat sibuk mewartakan arus bolak-balik ini sepanjang hari, sepanjang malam, hampir tanpa henti, karena mengasyikkan untuk diikuti.

Inilah Indonesia tercinta yang menyuguhkan saban tahun kepada dunia sebuah kultur mudik yang spektakuler. Jalan-jalan raya penuh sesak oleh manusia, jarak yang biasa ditempuh satu jam dapat berubah menjadi tiga sampai empat jam. Merayap di jalan raya adalah panorama yang sangat umum selama hari-hari Lebaran. Tidak hanya sampai di situ. Angkutan udara pun penuh sesak, bandara-bandara telah berubah menjadi seperti pasar malam, sarat oleh manusia pemudik dengan wajah yang serbasibuk.

Berdesak-desakan, seperti akan kehabisan tempat duduk, padahal tiket sudah di tangan. Disiplin sosial bangsa ini sangatlah rendah, kultur antre secara teratur masih belum menjadi pola prilaku umum. Egoisme sering sangat menonjol, sekalipun para juru dakwah selama Ramadhan sering berucap bahwa orang berpuasa secara tulus telah terbebas dari dosa-dosa terdahulu. Maka alangkah baiknya, jika kita semua mau dan pandai belajar untuk menegakkan disiplin, pribadi dan sosial, sebagaimana puasa telah melatih kita untuk itu.

Pada skala yang lebih besar, tengok pulalah kondisi bangsa ini. Bung Taufiq Ismail dalam sebuah tayangan tv baru-baru ini dengan mimik wajah yang sangat prihatin berucap yang intinya adalah: "Keterpurukan kita telah menjangkau semua arena kehidupan. Tidak ada yang selesai!" Lautan kemiskinan masih "setia" bersama kita. Jika parameter pendapatan dua dolar per hari per kepala yang digunakan, maka lebih dari 100 juta anak bangsa ini berada dalam kategori miskin. Angkanya menjadi sekitar 110 juta dari 236 juta penduduk Indonesia.

Yang agak aneh adalah fakta ini. Seorang yang naik sepeda motor belum tentu orang yang berpunya, sebab dengan uang muka sebesar Rp 300.000 saja, Anda akan mudah bawa sebuah sepeda motor pulang ke rumah. Demikian gampangnya berutang sekarang ini. Perkara nanti tidak bisa mengangsur saban bulan, penyelesaiannya juga mudah sekali: kendaraan Anda diambil pemilik. Titik! Keadaan semacam ini tak pernah terbayangkan sebelum abad ke-21. Luar biasa. Maka, tidaklah perlu heran orang yang berhak mendapatkan jatah zakat fitrah sekarang datang dengan sepeda motor baru untuk mengambilnya. Sungguh masyarakat telah berubah dengan sangat cepat. Jika sebelum itu, orang yang bersepeda motor adalah pembayar zakat fitrah, sekarang situasinya sudah terbalik sama sekali. Inilah Indonesia kita yang sarat dengan serbaparadoks.

Adapun rekening gendut polisi yang beberapa waktu banyak dibicarakan, kini telah menyingkir ke alam sunyi. Dengan demikian, yang gendut akan nyenyak tidur dengan kegendutannya, jika tidak terserang stroke. Yang terkapar masih akan tetap terkapar, entah untuk berapa lama lagi. Siapa sih yang masih hirau dengan kesenjangan sosial yang belum terjembatani ini? Pemerintah, DPR, birokrat, para kiai, intelektual, para dukun, atau justru sesama rakyat kecil? Jawabannya adalah: antahlah yuang! Tetapi siapa tahu selepas Leberan ini ada di antara kita yang benar-benar menjadi manusia baru sama sekali, dalam makna yang sangat positif. Itulah harapan kita semua. Semoga.
(-)
Index Koran