Entri Populer

Senin, 24 Mei 2010

Tidak Ada yang Selesai di Republik Ini (II)

Oleh Ahmad Syafii Maarif

Presiden kedua Jenderal Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun (1966-1998), di akhir kariernya juga sarat dengan drama, dihujat selama beberapa tahun, persis seperti yang dialami Bung Karno. Bedanya, jika Bung Karno terutama dihujat karena masalah politik, Soeharto memikul beban lebih berat: politik dan ekonomi berupa kebijakan BLBI yang harus dipikul negara sebesar Rp 650 triliun bagi penalangan bank-bank yang bangkrut karena mematuhi resep maut dari Dana Moneter Internasional (IMF). Bagaimana sebenarnya status Pak Harto ini, tidak pernah selesai secara hukum sampai beliau wafat. Baik di akhir masa jabatan Bung Karno maupun di akhir masa kekuasaan Pak Harto, secara ekonomi dan politik Indonesia sama-sama tiarap, masyarakat pada umumnya sudah putus asa dengan kondisi bangsa dan negara yang sangat parah. Rakyat kecil menjerit, tetapi mereka tidak tahu lagi kepada siapa harus mengadu. Mereka pasrah dalam penderitaan yang selalu datang.

Selama beberapa tahun kekuasaan Soeharto, proses perbaikan kehidupan rakyat dengan bantuan utang luar negeri yang cukup besar, memang telah menjadi kenyataan. APBN dan pelita demi pelita telah berjalan secara teratur. Tetapi, karena sistem politiknya yang autoritarian dan tertutup, sisi-sisi hitam kekuasaan Soeharto tidak kunjung terkuak. Kabarnya kebocoran APBN sampai mencapai 30 persen, siapa yang tahu, bahkan ironisnya di era reformasi sejak 12 tahun yang lalu dengan sistem politik yang terbuka, kebobocoran ini tetap saja tak terbendung. Di sini muncul pertanyaan yang sangat menyakitkan: baik di bawah sistem tertutup maupun di bawah sistem terbuka, mengapa pendarahan APBN itu bahkan semakin parah?

KPK sudah dibentuk sejak tujuh/delapan tahun yang lalu untuk membantu kepolisian dan kejaksaan yang dinilai gagal dalam upaya mengusut dan memerangi gurita korupsi, tetapi ada kesan yang kuat dalam masyarakat bahwa pemerintah tidak serius dalam menangani masalah akut yang bagi bangsa ini sudah berada pada tahap to be or not to be. Dengan berbagai cara, KPK malah hendak dikebiri, jika perlu dibunuh sama sekali, agar bumi nusantara ini tetap menjadi surga bagi penjahat dan manusia tunamoral. Praktik kejahatan ini baru akan berhenti, jika yang tersisa di republik tercinta ini hanyalah ampas belaka di kemudian hari. Lalu anak cucu harus lari ke mana? Biar mereka menjadi budak di negara-negara lain, demi kelangsungan hidup mereka sebagai paria telantar tanpa martabat dan tanpa harga diri. Kekuatan neoliberalisme di Indonesia sama sekali tidak hirau dengan serba kemungkinan gelap bagi masa depan bangsa ini.

Ironisnya, sebagian kaum intelektual yang buta hati, juga berada di barisan neolib ini. Dalam masalah yang agak absrak, apakah neolib dan kapitalisme dibolehkan berkembang di bawah naungan Pancasila dan UUD yang prorakyat, itu pun tidak ada kejelasan. Semuanya dibiarkan abu-abu agar petualangan politik dan ekonomi yang antirakyat tidak perlu dibendung. Seakan-akan bangsa ini sudah mapan secara kultural, padahal jauh dari itu semua.

Lalu, perkara apa lagi yang tak kunjung selesai? Masih sejibun. Tragedi Lapindo, Tragedi Marsinah, Udin, Semanggi, peracunan Munir, terorisme, konflik sesama polisi, sesama jaksa, sesama hakim, skandal Century, markus, dan 1001 masalah lain yang telah lama membebani bahu bangsa ini. Pemimpin di mana? Pemimpin sibuk membentuk berbagai badan, komisi, tim, sekber koalisi, dan kegiatan paranoid lainnya. Sekiranya memang benar-benar mau menyelamatkan bangsa dan negara ini dari tembakan maut korupsi, saya memohon agar pemerintah jangan bersikap pura-pura, sebab akar kankernya sudah menjalari seluruh tubuh Indonesia. Saya mengusulkan agar pimpinan KPK yang akan datang memenuhi kriteria berikut ini: (1) berani menghadang kematian, demi kelangsungan hidup bangsa dan negara ini; (2) patriot sejati beradasarkan peniliaan objektif dari berbagai sumber; (3) punya integritas moral yang prima dan rekam-jejak yang relatif bersih.

KPK ini hanyalah akan dapat bekerja dengan baik, manakala pemerintah dan masyarakat memberikan dukungan penuh kepada capaian misinya. Dan KPK sendiri harus membuka diri terhadap kritik, sehingga tudingan sikap tebang-pilih kepada kinerjanya dapat dihindari. Dengan demikian, pimpinan KPK yang akan datang harus sosok manusia yang benar-benar mencintai bangsa ini dengan sepenuh hati. Dengan dasar cinta sejati ini, mereka siap mati dalam menjalankan tugasnya berhadapan dengan kekuatan-kekuatan hitam dan jahat yang pasti selalu mengintai untuk membinasakannya.

Jika KPK dapat merampungkan tugasnya 50 persen saja, maka akan banyak sekali masalah dapat diselesaikan secara berangsur, karena sudah ada kepastian. Sisa yang 50 persen akan lebih mudah dikerjakan karena jalan ke sana sudah dibersihkan.
(-)

Jumat, 21 Mei 2010

Tidak Ada yang Selesai di Republik Iini (I)

Selasa, 18 Mei 2010 pukul 11:52:00
Tidak Ada yang Selesai di Republik Iini (I)

Oleh Ahmad Syafii Maarif


Beban sejarah yang akan diwarisi anak cucu semakin bertumpuk, sebab masalah-masalah besar yang dipikul oleh bahu bangsa ini banyak sekali tidak ada yang selesai, baik secara hukum maupun secara politik. Jika generasi yang akan datang lebih baik dan lebih peka daripada generasi yang telah berlalu dan sedang berjalan, beban sejarah itu pasti akan terus menghantui mereka untuk menjawab pertanyaan: mengapa bangsa ini tidak mampu menyelesaikan masalah-masalah besar yang muncul silih berganti? Apakah kultur kita memang lebih memilih menunda persoalan tinimbang menyelesaikannya? Jika terus saja ditunda, sama saja artinya dengan sikap tidak bertanggung jawab, bukan? Selama hampir 65 tahun merdeka, tumpukan masalah besar itu sudah semakin menggunung.

Kita catat sambil lalu saja era perang kemerdekaan yang berlangsung 1945-1949. Dalam situasi yang tidak normal, masalah-masalah politik kebangsaan sudah memanas yang tidak kurang dahsyatnya ketika itu. Sebagai bangsa yang baru saja merdeka, kita sudah memasuki ranah mewah yang sungguh menguras stamina dan energi, seperti konflik ideologis tentang dasar negara yang kemudian berlanjut sampai tahun 1950-an. Saya yang semula bersikap partisan dalam konflik ideologis itu, akhirnya sadar bahwa energi dan stamina yang dikeluarkan itu sebagian besar sia-sia belaka. Pusat perhatian yang semestinya ditujukan guna menguatkan masalah nation and character building yang masih rapuh sampai hari ini, justru terbengkalai, dikalahkan oleh pertarungan ideologi antara nasionalisme, Islamisme, dan marxisme/sosialisme.

Bung Karno sejak 1926 telah mencoba mendamaikan ketiga ideologi ini, tetapi berujung pada kegagalan, terutama antara Islamisme vs. marxisme. Sedangkan antara Islamisme dan nasionalsme sebenarnya tidak ada persoalan yang harus dipertentangkan, karena baik Islamisme maupun nasionalisme sama-sama menginginkan bangsa ini tegak di atas kekuatan sendiri, tidak bergantung pada belas kasihan bangsa dan negara lain. Di sinilah kesalahan fatal marxisme/komunisme yang bolak-balik antara pro-Uni Soviet dan kemudian pro-Beijing dengan mengorbankan kepentingan nasional, demi menyenangkan hati bos asingnya. Sekarang marxisme/komunisme telah ditinggalkan sejarah, tetapi korban manusia akibat petualangannya pada tataran global mencapai puluhan bahkan mungkin ratusan juta.

Kembali kepada masalah-masalah besar yang tak kunjung dapat diselesaikan oleh elite bangsa selama puluhan tahun. Kita mulai dari Peristiwa 17 Oktober 1952 berupa kegusaran AD (Angkatan Darat) terhadap perpolitikan Indonesia dan ingin "memaksa" Bung Karno agar membubarkan DPRS. Tokoh di balik peristiwa ini adalah Kol A.H. Nasution, Mayor Jenderal T.B. Simatupang, dan sederetan perwira lainnya. Tidak ada penyelesaian tuntas secara hukum atas kejadian ini, kecuali Nasution dan kawan-kawan diberhentikan, tanpa proses hukum.

Tetapi pada 1956, Bung Karno dan A.H. Nasution bermesraan kembali, karena terdapat titik-temu sementara antara keduanya: sama-sama kecewa berat oleh kelakuan partai politik yang dinilai tidak memikirkan kepentingan bangsa dan negara. Jika perlu partai-partai itu dibubarkan. Demikianlah, ketika Majelis Konstituante tidak berhasil menyelesaikan masalah dasas negara pada 1959, AD plus partai-partai tententu mendorong Bung Karno untuk membubarkan majelis itu dengan menetapkan secara dekrit agar Pancasila dan UUD 1945 menjadi dasar dan UUD negara. Muncul masalah di sini, apakah di bawah UUDS yang berlaku ketika itu Bung Karno sebagai presiden berhak bertindak sejauh itu? Masalah inipun tidak ada penyelesaian yang memuaskan, sekalipun didukung oleh mayoritas suara dalam parlemen.

Akibat Tragedi G30S/PKI yang gagal, nama Bung Karno dikait-kaitkan dengan peristiwa itu. Tetapi, apa sebenarnya yang berlaku, tidak ada kejelasan dan penyelesaian sampai sekarang, sementara Bung Karno sendiri telah menjadi hujatan massa yang antikomunisme selama bertahun-tahun. Bahkan kabarnya, saat Bung Karno sakit, negara sudah tidak peduli kepadanya, dibiarkan begitu saja sampai wafat pada Juni 1970 dalam keadaan yang tidak pantas.
(-)
Index Koran

Jalan Berliku dari Sumpur Kudus

Sumpur Kudus, sebuah nagari di pedalaman Sumatera Barat, hingga lima tahun lalu belum terjamah listrik. Seorang perantau kelahiran desa itu menjadi pemicu perubahan.

Jejak-jejak ketertinggalan dan keterisolasian masih terlihat di Sumpur Kudus. Jalan-jalan terjal dan berliku dengan ancaman longsor pada musim hujan. Penduduknya pun masih menggantungkan hidup dari hasil menyadap karet alam di kebun dan bagian hutan yang landai. Hasil pertanian padi dari sawah yang terhampar indah di pinggir nagari (unit administrasi setingkat desa) hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan makan mereka sehari-hari.

Dengan kondisi jalan sudah beraspal mulus dan bisa dilalui mobil-mobil terbaru, perjalanan menuju kota kecamatan terdekat masih membutuhkan waktu sekitar satu jam. Untuk ke ibu kota kabupaten di Muaro Sijunjung, paling tidak diperlukan dua jam perjalanan.

Padahal, Sumpur Kudus bukan sekadar desa terpencil yang tak punya arti dalam sejarah. Hampir semua orang Minangkabau pasti tahu bahwa nagari itu adalah salah satu dari tiga tempat bersemayamnya Rajo Nan Tigo Selo, semacam ”triumvirat” yang menguasai Sumatera Barat pada abad ke-16 dan 17. Rajo Alam di Pagaruyung, Rajo Adat di Buo, dan Rajo Ibadat di Sumpur Kudus. Nagari ini bahkan mendapat julukan ”Makkah Darek” atau Mekkah Daratan karena menjadi salah satu pusat penyebaran agama Islam di wilayah Sumatera Barat.

Namun, nagari itu seperti dilupakan. Berpuluh tahun kemudian, desa itu tetap terisolasi, tersuruk di tengah belantara hutan dan perbukitan Bukit Barisan. ”Hingga tahun 1980-an, masyarakat di sini masih memakai kuda untuk pergi ke kota terdekat karena kondisi jalan masih jelek,” tutur Wali Nagari Sumpur Kudus Nasirwan.

Sampai suatu ketika, seorang perantau dari nagari itu meraih sukses dan posisi penting di pusat pemerintahan negara di Jakarta. Perantau itu bernama Ahmad Syafii Maarif (74) Ketua PP Muhammadiyah periode 1998-2005 yang juga seorang tokoh masyarakat, keagamaan, dan pluralisme yang disegani. Melalui jaringan pertemanannya di pemerintahan, Syafii meminta agar pemerintah menaruh perhatian dan sentuhan pembangunan di kampung halamannya yang terisolasi. Desa itu dulu menjadi pusat perdagangan emas pada masa Minangkabau kuno itu.

Berkat lobinya, akhirnya masyarakat Sumpur Kudus bisa menikmati jalan beraspal dan listrik. Listrik masuk ke desa tersebut tahun 2005, aspal menyusul dua tahun kemudian. Menara BTS untuk memancarkan sinyal telepon seluler baru dibangun 2007.

Enam puluh tahun setelah republik ini merdeka, nagari itu akhirnya tersentuh peradaban modern. Penduduk pun tak perlu lagi menunggang kuda beban selama dua hari untuk berbelanja barang-barang kebutuhan sehari-hari ke kota terdekat.

Menurut Damhoeri, Syafii juga turut membantu pembangunan panti asuhan anak yatim terbesar di Sumpur Kudus yang ada saat ini. ”Walaupun sudah lebih setengah abad waktunya habis di perantauan, cinta pada kampung halaman tak pernah pudar,” tutur Damhoeri tentang bekas adik kelasnya saat bersekolah di Madrasah Muallimin Muhammadiyah di Lintau, awal 1950-an itu.

Didorong adat

Inilah puncak perjalanan seorang perantau dari Minangkabau. Merantau (terutama bagi laki-laki) di kalangan masyarakat Minangkabau, yang menganut sistem matrilineal, adalah aktivitas yang didorong oleh adat.

Semua orang Minang pasti hafal dengan pantun berikut ini: Karatau madang di ulu/Babuah babungo balun/Marantau bujang dahulu/di rumah paguno balun. Kira-kira, merantaulah semasa muda sebelum bisa menjadi orang berguna di rumah.

Merantau dalam konteks adat tradisi Minangkabau adalah sebuah proses, bukan sebuah migrasi permanen. Menurut pemikir kebudayaan asal Minang, Yasraf Amir Piliang, merantau adalah sebuah ruang sementara pembentukan diri seorang Minang sehingga kelak saat ia sudah sukses, ia akan kembali ke tanah asalnya.

Banyak perantau dari Minang ini yang tidak pulang ke kampungnya lagi setelah sukses. Ada pula yang pulang tidak dalam ujud fisik, tetapi cukup dengan mengirim uang secara rutin kepada keluarga di kampung.

Namun, apa yang dilakukan Syafii lebih dari semua itu. Betul, bahwa Syafii dan keluarganya masih memilih tinggal di Yogyakarta. Namun, ia masih rutin pulang ke Sumpur Kudus, menginap di rumah kerabatnya. ”Kalau pulang, Buya masih suka jalan kaki ke kedai kopi untuk ngobrol dengan orang-orang kampung. Semua ia yang traktir,” tutur Asril Maruf, saudara sepupu Syafii.

Inilah gambaran perantau yang dikehendaki adat tradisi Minang. Namun, seperti juga semua tradisi di segenap belahan dunia yang sedang menghadapi globalisasi, adat istiadat Minang pun sedang dalam proses pergeseran dan perubahan....(Kompas Minggu, 16 Mei 2010 | 02:51 WIB)