Entri Populer

Rabu, 18 November 2009

"Persyaratan Masuk FLP"

“Aku FLP dan Dakwah Kepenulisan”

By: Afrinaldi

“......Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya yang terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Ku akan menghadang dan menerjang

Bisa dan racun kubawa berlari dan terus berlari
Hingga hilang pedih perih
Dan ku lebih takkan peduli
Ku ingin hidup seribu tahun lagi”
(Chairil Anwar, Angkatan ’45)

Kutipan puisi diatas adalah salah satu karya Chairil Anwar. Beliau adalah pelopor pujangga angkatan ’45. Mengapa saya memulai menulis essay ini dengan mengutip puisi Chairil Anwar di atas? Karena saya melihat dalam puisi itu terkandung suatu semangat yang berapi-api, semangat yang pantang menyerah. Walaupun dijauhi dan di kucilkan, akan tetapi tetap terus berjuang, berjuang dan berjuang.
Kalau kita hubungkan makna yang terkandung dalam puisi tersebut dengan berdirinya Forum Lingkar Pena (FLP). Maka akan kita dapatkan suatu kesamaan. Yaitu seperti yang pernah saya baca, dulu awalnya berdiri FLP ini adalah dikarenakan karya-karya dari Mbak Elvy tidak ada yang mau menerbitkan atau mempublikasikan. Sehingga munculah gagasan untuk mendirikan FLP. Walaupun ada halangan dan rintangan, namun Mbak Elvy tetap berjuang untuk berdakwah melalui tulisan dan karya-karyanya.
Tidak bisa kita pungkiri bahwa kontribusi FLP dalam dakwah kepenulisan di Indonesia sangat banyak sekali. Hingga sekarang FLP masih terus eksis berdakwah melalui tulis-menulis tersebut. Dan juga FLP banyak diminati para calon-calon pujangga muda. Karena FLP memberikan ruang dan kesempatan kepada para generasi muda untuk berproses di FLP. Mungkin dulu Mbak Evy tidak pernah membayangkan kalau FLP akan berkembang dan menjadi seperti saat sekarang ini. Kalau kita berandai-andai, seandainya karya-karya Mbak Elvy tersebut tidak ditolak oleh penerbit pada waktu itu, barangkali FLP tidak akan pernah ada. Tapi ternyata itulah hikmah dari semuanya itu. Walaupun kita mendapat halangan dan rintangan, pasti ada hikmah di sebalik itu. Dan Allah pasti akan memberi jalan jika kita mau terus berjuang.
Kalau kita lihat sekarang, betapa banyak sastrawan-sastrawan muda yang lahir dari rahim FLP. Itu semua tentu tidak lepas dari peran FLP itu sendiri, yang memberikan ruang kepada anggotanya untuk berkarya. Sehingga bakat dan hobi mereka terasah dan tersalurkan di FLP. Kita berharap semoga kedepan, akan lebih banyak lagi lahir mujahid-mujahid muda yang berjuang dan berdakwah melalui tulisan. FLP sebagai salah satu ruang bagi anak-anak muda untuk mengasah ketrampilan menulis, sudah tentu akan memberikan yang terbaik dalam membina kader-kadernya. Sehingga cita-cita FLP untuk berdakwah melalui tulisan akan terwujud lewat para kader-kader tersebut.
Seperti yang telah saya singgung di atas, yaitu bahwa halangan dan rintangan itu janganlah di jadikan momok untuk terus berjuang. Dalam berjuang dan berdakwah, halangan dan rintangan itu pasti ada. Akan tetapi yakinlah di setiap halangan dan rintangan itu pasti ada hikmah yang terkandung. Namun tidak semua orang bisa melewati halangan dan rintangan tersebut. Karena mereka terlalu cepat menyerah dan memandang halangan dan rintangan itu sebagai momok yang tidak bisa di lalui. Padahal bisa jadi halangan dan rintangan itu sebagai batu loncatan untuk meraih sukses di masa depan. Seperti apa yang telah dibuktikan oleh Mbak Elvy dengan FLP-nya. Semoga kita bisa mengikuti dan meneruskan jejak Mbak Elvy. Amin.
Saya yakin, keberhasilan FLP sekarang adalah karena dulu Mbak Elvy berani memulai dan menyelesaikan (komitmen) dengan apa yang telah ia mulai. Dan kita kedepan hendaknya juga komitmen dengan apa yang telah kita mulai saat ini. Saya telah memulai menulis essay ini untuk persyaratan mendaftar menjadi anggota FLP. Sekiranya saya diterima, semoga saya bisa komitmen dengan apa yang telah saya mulai saat ini. Saya akhiri tulisan ini dengan sebuah kata-kata mutiara, yaitu “Orang yang sukses adalah orang yang mampu menyelesaikan apa yang telah ia mulai. Sedangkan orang yang gagal adalah orang yang hanya bisa memulai, memulai dan memulai”.

Jogjakarta 18 November 2009

Selasa, 10 November 2009

Selasa, 10 November 2009 pukul 10:55:00
Pengusaha Itu Bernama Anggodo

Oleh: Ahmad Syafii Maarif


Penguasaha (penguasa-pengusaha), sebuah istilah yang menggambarkan kultur kongkalingkong antara penguasa dan pengusaha (hitam).

Adalah Kwik Kian Gie yang pertama kali menggunakan sebutan pengusaha hitam itu. Di dalamnya, terkandung kompleksitas hubungan saling menguntungkan antara pengusaha dan penguasa/aparat penegak hukum. Tentu, dalam hal ini untuk menggerogoti aset bangsa dan negara yang jumlahnya sudah tidak bisa dikatakan lagi.

Sebagai bangsa yang rapuh dalam masalah moral, fenomena Anggodo Widjojo sebenarnya sudah berlangsung puluhan tahun. Karikatur sosok Anggodo dalam pakaian seragam kapolri yang beredar demikian luas di media cetak dan elektronik adalah sebuah sarkasme yang amat tajam tentang betapa sangat parahnya bangunan moral bangsa ini.

Semestinya, Anggodo dalam seragam kapolri-nya memasang bintang lima, bukan empat, sebab kekuasaannya sudah jauh melampaui aparat penegak hukum kita yang tertinggi sekalipun.

Pihak kejaksaan pun telah lama kehilangan wibawa dalam menjalankan tugasnya. Kemudian, Komisi III DPR yang memuji paparan kapolri tentang masalah Bibit-Chandra hanyalah bagian lain dari pertunjukan komedi murahan yang menggelikan. Bukankah munculnya KPK adalah upaya membantu kepolisian dan kejaksaan yang setengah gagal dalam mengemban fungsinya selama ini? Jika kepolisian dan kejaksaan sebagai lembaga penegak hukum dapat berfungsi dengan efektif, khususnya dalam memerangi korupsi, KPK sama sekali tidak diperlukan.

Memang, saya mendengar keluhan dari sementara pihak bahwa KPK kadang-kadang sudah overdosis dalam menjalankan tugasnya. Akibatnya, sebagian pejabat menjadi ragu menggunakan dana pembangunan sebab khawatir diincar KPK. Jika memang hal itu berlaku, jangan KPK yang dilumpuhkan, tetapi UU KPK yang harus direvisi sehingga tidak terkesan sebagai superbody yang menakutkan. Dalam situasi seperti sekarang ini, nurani rakyat banyak untuk melawan korupsi masih cukup kuat, sekalipun aparat penegak hukum seperti telah kehilangan kepekaan. Oleh sebab itu, menjadikan Bibit-Chandra sebagai tersangka oleh pihak kepolisian dengan bukti-bukti hukum yang semakin berguguran, termasuk testimoni Antasari, telah mengundang kemarahan publik dalam radius yang sangat luas. Seorang Jenderal (Purn) Polisi Farouk Muhammad mengatakan bahwa polisi itu profesional, tetapi tidak amanah, sebuah pernyataan yang patut benar direnungkan oleh kapolri dan jajarannya. Penampilan Anggodo di berbagai forum sungguh dahsyat. Polisi dan kejaksaan seperti telah menjadi tawanannya.

Namun, kita tidak boleh hanya marah kepada Anggodo, apalagi dikaitkan dengan etnisitas yang sama sekali tidak relevan. Sebab, munculnya Anggodo dalam tampilan penuh percaya diri itu tidak lain disebabkan sebagian aparat penegak hukum kita sedang berada di bawah ketiaknya. Cerita tentang ini telah kita dengar sejak lama, tidak terkecuali di kalangan tentara. Situasinya malah semakin parah dari waktu ke waktu. Kenyataan inilah yang sangat merisaukan kita semua yang kemudian mendorong mencuatnya pertanyaan sentral ini, ''Siapa sebenarnya yang berdaulat di negeri ini?''

Jawaban terhadap pertanyaan ini akan menentukan masa depan Indonesia, apakah masih layak disebut sebagai negara berdaulat atau kedaulatannya telah diperjualbelikan dengan harga yang sangat murah demi sesuap nasi dan segenggam kekuasaan yang membunuh nurani dan akal sehat? Di depan berbagai forum, saya mengatakan bahwa bangsa dan negara ini hanya bisa diselamatkan jika dipimpin oleh manusia
merdeka, bukan oleh manusia setengah budak yang tidak punya martabat!

Akhirnya, sekiranya seluruh tuduhan polisi terhadap Bibit-Chandra adalah palsu belaka, ke mana nanti wajah DPR harus disurukkan? DPR ini baru saja dilantik bulan Oktober 2009, tetapi mengapa telah terseret dalam blunder politik yang sangat memalukan? Karena, rakyat yang siuman semakin kehilangan kepercayaan terhadap lembaga-lembaga formal negara. Berkat teknologi komunikasi, mereka dengan sigap memanfaatkan dunia maya dalam format facebook untuk mengatakan jeritan hati nuraninya secara jujur, terbuka, dan sarat dengan kegelisahan tentang nasib penegakan hukum di negeri ini. Gejala Anggodo sebagai penguasaha hanyalah salah satu puncak dari gunung es tentang betapa bobroknya sistem peradilan kita. Sementara itu, Komisi III DPR terpukau oleh paparan kapolri yang terlihat memerinci, tetapi ditegakkan di atas bukti hukum yang sangat meragukan. "Sebuah sarang yang dibangun di atas dahan yang rapuh tidak akan tahan lama," tulis Iqbal dalam sebuah puisinya.

Rabu, 04 November 2009




"Mencari Makna Hidup di Hiruk Pikuknya Dunia. Menyelami makna2 kehidupan, menyusuri sampai ke dalam jiwa. Namun tak kutemukan arti kehidupan. Membelah hati, menyisakan sunyi, Rindu yang tak terperih"

Senin, 02 November 2009




"Minangkabau Tercinta"




"Resonansi Buya Syafi'i"

Selasa, 03 November 2009 pukul 01:55:00
Ayam Sipuah

Oleh: Ahmad Syafii Maarif



Nagari Sumpur Kudus yang udik adalah bagian dari Ranah Minang yang dikenal sebagai salah satu pusat ceme'eh di muka bumi. Jarak nagari itu dari BIM (Bandara Internasional Minangkabau) sekitar 140 km ke arah perbatasan Riau Daratan. Sejak masa kecil di kawasan udik itu, saya telah mendengar cerita tentang Ayam Sipuah yang bagak (berani) di kandang.

Jika diadu di tempat lain, bulu kuduknya berdiri sebagai tanda tidak siap tempur. Tetapi, sebenarnya cerita Ayam Sipuah ini tidak lain dari sebuah mitos sebagai wujud dari ceme'eh -nya orang Nagari Sumpur Kudus terhadap manusia yang hanya berani di kampungnya sendiri. Di luar kampung, bulu kuduknya juga merinding dan keringat dinginnya mengalir sebagai pertanda dari nyali kecil.

Tentu, ingin pula tahu di mana lokasi Lorong Sipuah itu agar ceritanya lebih mengalir. Sipuah terbagi dua: Atas dan Bawah. Bagian atas berinduk ke Nagari Sumpur Kudus, yang bagian bawah ke Nagari Tamparungo dalam Kecamatan Sumpur Kudus, Kabupaten Sijunjung, Sumatra Barat. Jumlah penduduknya sedikit, umumnya sebagai petani, sejumlah kecil sebagai saudagar hasil hutan dan barang kelontong. Jaraknya dari Nagari Sumpur Kudus sekitar 10 km melalui pendakian Lantiak Kuniang yang terkenal cantik dan legendaris itu.

Selama puluhan tahun, mungkin malah dalam bilangan abad, di era kuda beban (kuda sebagai alat angkut barang), saat kendaraan bermesin belum memasuki kawasan itu, di Sipuah banyak warung makan untuk melayani pejalan kaki dan pengiring kuda beban menuju Kumanis, pasar terbesar di Kecamatan Sumpur Kudus. Makan siang di warung-warung pinggir jalan ini sungguh nikmat, sebuah kenangan masa kecil yang tak mungkin terlupakan.

Semuanya kini telah menguap ditelan proses modernisasi transportasi. Sejak mesinisasi alat angkut, warung makan Sipuah yang terkenal dengan gulai umbutnya sudah menghilang bersamaan dengan menghilangnya alat angkut tenaga kuda. Bahkan, seekor kuda pun tidak lagi terlihat di kecamatan itu. Anak-anak yang lahir pasca era kuda beban, hanyalah mengenal kuda di TV atau di tempat lain yang masih memeliharanya. Sebuah perubahan sosial-ekonomi dan gaya hidup yang dramatis.

Sekarang mitos Ayam Sipuah saya bawa ke ranah kultur politik bangsa. Apa pula sangkut pautnya? Anda ikuti seterusnya di bawah ini. Dalam pengamatan saya sejak beberapa tahun terakhir, jumlah Ayam Sipuah semakin berjibun saja, termasuk mereka yang semula galak di kampus.

Sekali merapat ke pinggir kekuasaan, kelakuannya berubah secara tragis: membela kekuasaan itu setengah mati. Idealisme sebagai kekuatan antikorupsi, misalnya, telah menguap seperti menguapnya gambaran kuda beban digusur mesin di Kecamatan Sumpur Kudus. Inilah yang sering saya istilahkan dengan idealisme musiman, tak tahan banting dan godaan. Saya punya daftar panjang tentang sosok Ayam Sipuah ini di panggung perpolitikan kita, dari tingkat bawah sampai ke tingkat puncak, tetapi sangatlah tidak etis bila disebutkan di sini.

Ciri utamanya adalah: kelakuannya berubah, tetapi terlihat lucu, aneh, dan kaku, sekali menginjak kawasan pinggir kekuasaan yang mungkin telah memberinya sesuatu. Menemui manusia dalam kategori ini, Anda akan sia-sia belaka jika berharap dapat berbicara dari hati ke hati dengan mereka. Tetapi, Anda jangan membuat generalisasi, sebab masih cukup tersedia di antara anak bangsa ini, sekalipun sudah turut berkuasa, hati nuraninya belum lumpuh. Jika terkesan sebagai Ayam Sipuah, itu hanyalah sebagai siasat yang tidak sampai membinasakan integritas pribadinya.

Idealismenya masih bertahan, sekalipun harus dikemas secara berhati-hati agar 'kepala simbung' (semacam kura-kura yang hidup di air) bosnya tidak tersinggung. Manusia tipe ini masih dapat diajak berbicara secara serius, tetapi tentunya tidak di muka publik, demi menjaga hubungannya dengan kekuasaan.

Sebuah demokrasi yang sehat dan kuat harus dibebaskan dari kultur Ayam Sipuah. Politisi sebagai pemain utama di panggung demokrasi semestinya adalah manusia-manusia merdeka dengan wawasan jauh ke depan, tetapi santun dalam berperilaku. Jika berdemonstrasi, pasti dilakukan dengan damai, pantangan baginya merusak lingkungan.

Model demonstrasi brutal sama saja dengan menggali makam demokrasi, sesuatu yang selalu dirindukan oleh setiap kecenderungan kekuasaan otoritarian-feodalistik yang biasa tampak dalam sistem kerajaan absolut. Kekuatan demokrasi Indonesia harus awas terhadap segala kemungkinan buruk di masa depan. Akhirnya, di ring tinju Polri vs KPK sekarang ini, jangan sampai muncul mental Ayam Sipuah di lingkungan KPK, sebab pasti akan semakin menderai demokrasi kita yang masih oleng ini.